Untuk anak balita, waktu makan tampaknya menjadi waktu bermain. Rasanya
baru 5 menit Anda menempatkannya di kursi tinggi dan memberikan sepiring
makanan. Lalu, dalam sekejap makanannya sudah berpindah ke wajah,
meja, dan bajunya. Si kecil pun tampak seperti lukisan abstrak!
Ini
memang mengesalkan dan menguji kesabaran, apalagi saat ia tak sengaja
melemparkan makanan ke wajah Anda. Jangan dulu marah atau langsung
menyuapinya agar si kecil cepat menghabiskan makanan dan meja tidak
kotor.
Menurut sebuah studi yang dilakukan di University of Iowa,
semakin sering anak Anda melakukan hal ini (makan berantakan), semakin
banyak ia belajar.
Penelitian ini dilakukan terhadap 74 balita
berusia 16 bulan. Mereka diharuskan mengonsumsi 14 makanan non-padat,
seperti saus apel, puding, jus, dan sup. Beberapa anak didudukkan di
sebuah kursi tinggi dan beberapa balita lainnya tidak. Balita-balita ini
kemudian dikenalkan dengan kata-kata seperti "dax" dan "kiv". Semenit
kemudian, balita diminta mengindentifikasi makanan yang sama dalam
berbagai ukuran dan bentuk.
Penelitian ini membuktikan bahwa anak yang berani kotor, sering duduk di kursi tinggi (baby chair),
dan belajar makan sendiri meski berantakan akan belajar lebih banyak
kata-kata dibanding yang tidak. Mereka disinyalir juga menjadi anak yang
lebih cepat belajar dalam jangka panjang.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Developmental Science menyimpulkan, balita yang bermain dengan makanan mereka, terutama yang lengket, lembek, dan sedikit cair, akan lebih pintar.
Para
peneliti menemukan bahwa balita yang sering makan berantakan akan
mempelajari makanan melalui semua indera mereka, seperti peraba,
pengecap, perasa, dan sensorik (untuk melempar). Balita ini tidak hanya
mengandalkan pada bentuk dan ukuran makanan yang dilihat saja, tetapi
juga mengidentifikasi makanan lewat teksturnya.
Duduk di kursi
tinggi ternyata juga membuat perbedaan. Pengaturan ketinggian ini akan
membuat mereka bisa melihat banyak perbedaan. "Di sini, saat makan
mereka bisa melihat banyak hal, selain makanan non-padat mereka," ungkap
Larissa Samuelson, salah satu peneliti.
Duduk di kursi tinggi
juga membuat mereka lebih aktif dalam belajar. "Mungkin ini terlihat
seperti permainan. Anak duduk di kursi tinggi kemudian makan berantakan
dan melemparkan makanan. Namun, sisi baiknya, mereka mendapatkan banyak
informasi dari tindakan mereka ini," tambahnya.
Meski begitu,
tak berarti Anda boleh membiarkan mereka melemparkan makanan sesukanya.
Yang harus Anda lakukan adalah mengajarinya untuk memasukkan makanan
dengan tepat ke dalam mulut. Anda juga dapat mempersiapkan celemek
makan, melapisi meja dengan plastik dan serbet agar cipratan makanannya
tak terlalu mengotori tempat lainnya.
http://female.kompas.com
12 Desember 2013
6 Desember 2013
Belajar Menerima Kehilangan Buah Hati dari Film Gravity
Mungkin Anda sudah menonton film Gravity yang dibintangi oleh Sandra
Bullock. Meski film yang menceritakan tentang usaha seorang astronot
untuk bertahan di luar angkasa ini ber-genre thriller, tetapi sebagai
orangtua kita juga bisa mendapat inspirasi tentang belajar menerima
kehilangan.
Dalam cerita tersebut, Ryan Stone (diperankan Bullock) adalah seorang astronot wanita yang masih belum menerima kematian putrinya. Kisah kematian putrinya sangat datar, hanya dijelaskan dalam beberapa kalimat singkat.
Tetapi dari kalimat-kalimat singkat itu kita bisa ikut merasakan perasaan kehilangan yang amat dalam. Terombang-ambing sendirian di luar angkasa, tentu tak ada alasan bagi Stone untuk kembali ke bumi karena tak ada orang di bumi yang menunggunya. Ketika merasa tak punya apa-apa di dunia, untuk apa lagi kita hidup?
Tentu kita sudah sering mendengar, atau mungkin Anda sendiri pernah mengucapkan, "Saya tak akan bisa bertahan jika anakku meninggal".
Setiap orangtua tentu memiliki perasaan sangat mencintai anak mereka lebih daripada dirinya sendiri. Jika buah hati kita dikuburkan, maka rasanya tak ada pilihan lain bagi kita selain ikut bersamanya ke alam baka.
Dalam film Gravity, meski ini adalah film science, tetapi bisa menjadi metafora yang baik mengenai kehidupan setelah kehilangan orang yang paling kita cintai.
Bagaimana orangtua yang pernah kehilangan anaknya harus membuat pilihan untuk hidup ketika satu-satunya alasan untuk bertahan hidup sudah tak ada lagi.
Saat menonton film tersebut, kita bisa melihat karakter Stone juga merasa semua harapannya sudah hilang dan ia bersiap-siap untuk menyerah dan mati. Ia tak mau berjuang untuk kembali ke bumi. Tapi kemudian, ia seperti semua orangtua pemberani lainnya, yang mengenang buah hati mereka dan memilih untuk hidup. Demi buah hati dan untuk diri sendiri.
Ketika akhirnya Stone mendarat kembali ke bumi, dan ia harus belajar berjalan kembali. Dengan hati-hati ia berdiri dan melangkah di tempat yang belum dikenalnya. Orangtua yang pernah melewati duka akibat kehilangan buah hatinya tentu juga pernah merasakan beratnya harus melangkah. Tetapi ketika langkah tersebut sudah dilakukan, semangat hidup akan kembali lagi.
http://female.kompas.com
Dalam cerita tersebut, Ryan Stone (diperankan Bullock) adalah seorang astronot wanita yang masih belum menerima kematian putrinya. Kisah kematian putrinya sangat datar, hanya dijelaskan dalam beberapa kalimat singkat.
Tetapi dari kalimat-kalimat singkat itu kita bisa ikut merasakan perasaan kehilangan yang amat dalam. Terombang-ambing sendirian di luar angkasa, tentu tak ada alasan bagi Stone untuk kembali ke bumi karena tak ada orang di bumi yang menunggunya. Ketika merasa tak punya apa-apa di dunia, untuk apa lagi kita hidup?
Tentu kita sudah sering mendengar, atau mungkin Anda sendiri pernah mengucapkan, "Saya tak akan bisa bertahan jika anakku meninggal".
Setiap orangtua tentu memiliki perasaan sangat mencintai anak mereka lebih daripada dirinya sendiri. Jika buah hati kita dikuburkan, maka rasanya tak ada pilihan lain bagi kita selain ikut bersamanya ke alam baka.
Dalam film Gravity, meski ini adalah film science, tetapi bisa menjadi metafora yang baik mengenai kehidupan setelah kehilangan orang yang paling kita cintai.
Bagaimana orangtua yang pernah kehilangan anaknya harus membuat pilihan untuk hidup ketika satu-satunya alasan untuk bertahan hidup sudah tak ada lagi.
Saat menonton film tersebut, kita bisa melihat karakter Stone juga merasa semua harapannya sudah hilang dan ia bersiap-siap untuk menyerah dan mati. Ia tak mau berjuang untuk kembali ke bumi. Tapi kemudian, ia seperti semua orangtua pemberani lainnya, yang mengenang buah hati mereka dan memilih untuk hidup. Demi buah hati dan untuk diri sendiri.
Ketika akhirnya Stone mendarat kembali ke bumi, dan ia harus belajar berjalan kembali. Dengan hati-hati ia berdiri dan melangkah di tempat yang belum dikenalnya. Orangtua yang pernah melewati duka akibat kehilangan buah hatinya tentu juga pernah merasakan beratnya harus melangkah. Tetapi ketika langkah tersebut sudah dilakukan, semangat hidup akan kembali lagi.
http://female.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)