Tampilkan postingan dengan label pernikahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pernikahan. Tampilkan semua postingan

22 September 2013

Tujuh Hal yang Ingin Didengar Istri Anda

Beberapa bulan lalu, saya menulis di blog saya yang diberi judul ‘25 Hal yang Ingin Didengar Istri Anda’. Tampaknya, itu adalah hal-hal yang ingin diketahui banyak pria. Pada saat yang sama, banyak istri mendambakan kata-kata yang menyemangati dari suami mereka. Hasilnya, tulisan ini dengan cepat menjadi tulisan yang banyak dilihat di situs saya. Kita semua mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan dan kita tahu pernikahan kita akan berjalan baik jika kita tahu apa yang ingin didengar oleh istri kita. Setelah menyadari hal itu, saya memutuskan untuk mencari tahu kata-kata yang paling menyemangati untuk istri Anda. Saya menemukannya dengan bertanya kepada beberapa istri dengan pertanyaan, “Kata-kata apa yang ingin Anda dengar dari suami?” Saya menerima 12 jawaban, dan saya akan berbagi tujuh di antaranya. Inilah kalimat yang ingin didengar istri Anda.
Oleh Jackie Bledsoe Jr
1.    “Beri tahu aku apa yang kau butuhkan.”
“Suami saya menyemangati saya walaupun dia tidak memikirkannya. Dia selalu memberikan kata-kata menguatkan yang berkaitan dengan keberhasilan dalam hidup dan bisnis – kata-kata seperti ‘Kamu pasti bisa,’ ‘Aku yakin kamu bisa,’ ‘Beri tahu aku apa yang kau butuhkan.’ Namun semangat terbaik yang dia berikan bukanlah pengorbanan nonlisan yang dia lakukan untuk keluarga kami setiap hari agar saya bisa mewujudkan impian saya dan mencapai cita-cita saya.” Christine St. Vil dan suaminya Philip telah menikah selama delapan tahun. Christine adalah Pendiri/CEO Moms 'N Charge™.

2.    “Aku cinta padamu”
Saya tahu itu terdengar klise, namun kata-kata yang paling menenangkan yang keluar dari mulut suami saya adalah ketika dia mengatakan “aku cinta padamu.” Saya juga senang mendengarkan dia mengatakannya kepada putri-putri kami. Tiga kata itu memiliki kemampuan untuk membuat wajah kami cerah. Walaupun suami saya menunjukkan bahwa dia cinta kepada saya dengan tindakannya, kadang-kadang saya perlu mendengarnya dan mendengarnya mengatakan kata-kata itu tidak pernah membosankan.” Krishnann Briscoe dan suaminya, Chris, sudah menikah selama tiga tahun. Blog Krishnann di His Mrs. Her Mr.

3.    “Kamu bisa, Sayang!”
“Saya tahu itu terdengar menggelikan tapi saya suka saat suami saya berkata,’kamu bisa, Sayang!’ Itu adalah kata-kata yang perlu saya dengar kapan pun ketika saya meragukan diri sendiri, dan caranya mengatakan hal itu membuat saya terus merasa fokus dan bersemangat.” Martine Foreman dan suaminya, Sean, sudah menikah selama lima tahun. Blog Martine adalah CandidBelle, dan ia merupakan pendiri sekaligus editor JustDiva.

4.    “Saya bahagia menikah denganmu”
“Saya senang saat suami saya berkata ‘Saya bahagia menikah denganmu.’ Itu membuat saya senang bahwa setelah sekian lama kami bersama dia masih merasa bahagia dan puas dengan pilihan yang dia buat ketika memutuskan untuk menjadikan saya sebagai istrinya. Hal itu membuat saya merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaan yang saya lakukan sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu ketika dia menegaskan hal itu.” Lauren Hartmann dan suaminya, Craig, sudah menikah selama 11 tahun. Blog Lauren di The Little Things We Do.

5.    “Pada akhirnya kita selalu saling memiliki”

“Saya senang mendengar suami saya mengatakan hal apa pun namun yang paling saya sukai adalah mendengarkan dia berkata, ‘kamu pasti bisa,’ ‘itulah kenapa saya menikahimu...’ dan ‘pada akhirnya kita selalu saling memiliki.’ Dia sangat ahli membuat saya menyadari hal yang paling penting, yaitu pernikahan saya dan dia membuat saya merasa memiliki kekuatan super, mampu menyelesaikan apa saja!” Donnie Nicole Smith dan suaminya, Che’, sudah menikah selama empat tahun. Blog Donnie di DonnieNicole.com , dan dia merupakan Direktur Eksekutif Donda's House.

6.    “Aku mengagumi semangatmu”
“Saya suka mendengar suami saya berkata ‘aku cinta padamu,’ ‘kamu cantik apa adanya,’ ‘kamu adalah seorang ibu yang baik,’ dan ‘aku mengagumi semangatmu.’ Dia selalu mengatakan kata-kata itu kepada saya dan itu membuat saya merasa sangat dicintai dan didukung!” Amber L. Wright dan suaminya, Mohammed, sudah menikah selama tujuh tahun. Blog Amber di TalkToAmber.com.

7.    “Itu adalah hal kecil untuk orang yang hebat”
“Setiap kali saya kesulitan menghadapi sesuatu, suami saya selalu berkata ‘itu adalah hal kecil untuk orang yang hebat’, itu adalah kata-kata yang sederhana namun membuat saya merasa saya bisa menguasai dunia.”

Tiya Cunningham-Sumter dan suaminya, Ken, sudah menikah selama 15 tahun. Blog Tiya di Not Your Average Advice, dan seorang Certified Life & Relationship Coach di Life

sumber: http://id.she.yahoo.com

12 September 2013

Anda Adalah Istrinya, Bukan Ibunya!

Perempuan yang telah menikah, cenderung memiliki sifat mengatur yang berlebihan. Awalnya sih agar suami bahagia dan merasa dimudahkan. Tetapi, kalau terlalu sering, bisa-bisa suami malah gerah dan mulai melirik yang ‘lain’!
Jauh sebelum memiliki anak, di awal pernikahan, perempuan telah menjalani peran ganda untuk suami tercintanya, yaitu menjadi sahabat, kekasih, teman, sekutu, orang kepercayaan dan penghibur saat ia dilanda resah atau sedang tertekan karena pekerjaan.
Tetapi terkadang, alih-alih menjalankan peran sebagai seorang istri, kok Anda lebih cocok menjadi ibunya?! Menurut Richard Templar, pada buku yang berjudul “The Rules of Love’’, satu hal yang dilarang keras bagi perempuan yang baru menikah, jangan pernah mencoba mengatur suami layaknya seorang ibu. Sebab, suami Anda adalah manusia dewasa dan tidak membutuhkan Anda menjalani peran tersebut.
Suami Anda jelas mampu mengambil tindakan-tindakan, dan keputusan sendiri tanpa kendali dari Anda. Mengutarakan pendapat boleh saja, tetapi tidak perlu secara rinci mengenai apa yang harus ia lakukan, atau apa yang harus ia hindari. Ungkapkan opini Anda sebagai sudut pandang, bukan instruksi.
“Ketika Anda bertindak seperti orang tua kepada suami, maka ia akan merespon dengan dua cara. Pertama, menanggapi aturan Anda seperti anak kecil dengan melakukan apa yang Anda katakan.  Tetapi, bila suatu waktu Anda membutuhkan suami untuk menjaga Anda, suami Anda tidak bisa melakukannya. Karena terbiasa menuruti semua perkataan Anda’’ jelas Templar.
Bila Anda merasa memiliki kecenderungan ke arah ini, ubahlah segera. Libatkan suami untuk mengingatkan, bila tanpa disadari Anda sedang mengaturnya. Dengan mengakui kekurangan dan meminta dukungan dari suami untuk membantu menghilangkannya, maka suami akan merasa sebagai seorang pelindung yang menjaga diri Anda.
Sebaliknya, jika membiarkan sifat tukang atur ini berkembang dalam diri Anda, tak hanya akan menimbulkan tekanan, tapi juga akan mencederai hubungan serius yang tengah Anda bangun bersama orang yang Anda cintai.

sumber: http://female.kompas.com

20 Mei 2013

Strategi Obrolan agar Anak & Suami Mau Lebih Terbuka kepada Anda

Kesibukan seringkali jadi alasan kurangnya komunikasi antar anggota keluarga. Padahal, komunikasi yang efektif adalah kunci untuk mempertahankan rumah tangga dan keluarga yang harmonis.

Tanpa disadari, berbagai permasalahan dalam keluarga kerap muncul akibat kurang efektifnya komunikasi. Apabila kondisi tersebut dibiarkan terlalu lama, bukan tidak mungkin masalah kecil bisa jadi konflik besar seperti gumpalan bola salju.

Komunikasi efektif tidak selalu diukur dari banyaknya frekuensi perbincangan atau pertemuan keluarga. Paling penting adalah kualitas kebersamaan dan dari obrolan itu bisa menghasilkan sesuatu yang memberikan solusi. Oleh karena itu menciptakan komunikasi efektif perlu strategi yang pintar. Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, Psi, berbagi tipsnya untuk Anda.

1. Mendengarkan
Bukan sekadar mendengar apa yang disampaikan suami atau anak Anda. Tapi perhatikan juga intonasi suara, ekspresi wajah dan pertahankan kontak mata. Hal ini penting untuk membaca dan memahami apa yang sebenarnya mereka maksud.

2. Bertanya
Untuk lebih menggali apa yang anggota keluarga sampaikan, pastikan ada interaksi yang intens. Tapi usahakan tidak mencecar dengan banyak pertanyaan sekaligus.

"Setelah tanya, sebaiknya kita diam dulu. Kasih waktu lima detik. Lihat ekspresi lawan bicara, kontak mata. Jangan dicecar," ujar psikolog yang akrab disapa Nina ini, saat acara bincang santai 'Komunikasi Keluarga: Berkomitmen untuk Kebersamaan Keluarga yang Bermakna'.
3. Pilih Momen Khusus
Pemilihan waktu jadi hal utama untuk mewujudkan komunikasi efektif di lingkungan keluarga. Anda bisa memilih momen saat makan malam atau setelahnya, menonton TV, menjelang tidur atau di akhir pekan. Pastikan momennya menyenangkan.

"Waktu ideal ini sangat relatif. Tergantung sensitivitas sang ibu. Bisa siang, sore, malam. Janjian aja, misalnya, 'eh habis makan malam kita kumpul ya'," terang Nina.

4. Atur Gerak & Posisi Tubuh
Ketika obrolan mengarah pada topik yang sensitif dan membuat emosi suami atau anak meledak-ledak, jaga suasana agar tetap tenang dengan bersikap tenang juga. Jangan sampai intonasi vokal Anda meninggi karena bisa memancing emosi lawan bicara.

"Berdiri sambil kacak pinggang, itu sikap menekan. Tapi kalau sambil duduk tenang dengan intonasi lembut, rendah, pasti dia juga akan menyamakan sikap Anda," tutur psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.

5. Sambil Melakukan Aktivitas yang Menyenangkan
Cari hal-hal apa saja yang disukai suami atau anak dan jadikan itu sebagai pembuka topik yang ingin dibicarakan. Misalnya saja ajak bermain board game, monopoli, Uno atau scrabble. Komentari hasil permainan dan hubungkan dengan kondisi saat ini.

"Dari obrolan kecil tentang game tapi bisa dikembangkan sampai membicarakan cita-cita anak, atau jika anaknya remaja bisa tahu rencana kuliah. Kita juga bisa arahkan dia untuk menuju cita-citanya," jelas Nina.

Strategi lainnya, ajak mengobrol sambil menghidangkan camilan dan minuman. Menurut Nina, makanan dan minuman merupakan 'ice breaking' yang efektif untuk memecah kebekuan.

sumber : http://wolipop.detik.com

5 Kata yang Bisa Menghancurkan Pernikahan

Kata-kata bisa sangat kuat maknanya ketika diucapkan. Kata tersebut bisa dianggap menghancurkan atau malah menginspirasi. Dalam pernikahan pun hal serupa berlaku. Menurut Julie Orlov, seorang psikoterapis dan juga penulis 'The Pathway to Love: Create Intimacy and Transform Your Relationships Through Self-Discovery', ada kata-kata yang bisa membuat pasangan merasa sedih dan tersakiti. Jika sering diucapkan kata-kata berikut ini, seperti dijelaskan Orlove pada Huffington Post, bukan tidak mungkin menghancurkan pernikahan Anda.

1. "Nggak pernah"
"Kamu nggak pernah benar kalau mengurus anak-anak." Apakah kalimat itu pernah Anda ucapkan pada pasangan? Saat Anda mengucapkan kata tidak atau nggak pernah, Anda memberitahukan pada pasangan kalau dia memang tidak bisa dan tak akan pernah bisa melakukan hal yang seharusnya dia lakoni itu. Kata ini mengindikasikan Anda tidak mau mendengarkan, berkompromi dan punya itikad baik untuk mengetahui penjelasannya.

2. "Selalu"
Kata 'selalu' sering dianggap sebagai bentuk sebuah kekakuan dan kebenaran. Ketika kata 'selalu' ini diucapkan, Anda memberitahukan pasangan kalau dia salah dan Anda lah yang benar. Saat kata 'selalu' diucapkan, Anda juga menganggap tidak ada lagi yang bisa dilakukan dengan sikapnya itu. Kata ini mengindikasikan Anda tidak mau memahami, mendengar atau mengobati.

3. "Tapi"
Kata 'tapi' menyiratkan sebuah manipulasi dan kurangnya integritas. Saat Anda menggunakan kata 'tapi', Anda jadi tidak menganggap apapun yang diucapkan sebelumnya. Kata ini seolah mengubah sebuah pernyataan negatif menjadi lebih positif. Kata ini mengartikan Anda tidak mau membangun kepercayaan dan keintiman. Kata yang mirip dengan kata 'tapi' adalah, 'bagaimanapun' dan 'meskipun'.

4. Kata-kata yang sangat kasar
Silahkan bayangkan sendiri kata-kata kasar apa yang bisa Anda ucapkan pada pasangan. Menyerang pasangan dengan mengucapkan kata-kata sangat kasar padanya bisa berdampak buruk pada pernikahan. Apalagi jika dilakukannya secara sering, ini bisa menghancurkan jiwa pasangan dan membunuh pernikahan.

5. "Cerai"
Jangan pernah berkata Anda ingin mengakhiri pernikahan, jika sebenarnya memang bukan itu maksud Anda. Apalagi jika perkataan itu diucapkan hanya untuk semakin memanaskan pertengkaran. Kalaupun memang Anda mengatakannya tanpa sengaja dan sebenarnya tidak bermaksud mengucapkan kata 'cerai', tetap saja ucapan itu memiliki efek buruk. Pasangan akan merasa kalau hati Anda sebenarnya sudah ingin lepas dari pernikahan. Baginya Anda seharusnya tidak mengucapkan kata tersebut walau semarah apapun Anda.

sumber : http://wolipop.detik.com

4 April 2013

Be Married or Be a Wife

How do you define a "chick flick"? My definition is that it's a movie women love and men are itching to turn off.
Chick flicks appeal to us because they are grown-up versions of fairy tales. As little girls, we read stories about how some plain girl becomes a dazzling princess and earns at first glance the undying devotion of a prince. Rescued from obscurity, she lives happily ever after.

This is the same storyline of every chick flick, but it's set in a big city (usually Manhattan) and the heroine's charms are her quirky personality and chutzpah. There's no fairy godmother to wave a wand, but there's always some sort of physical transformation to catch the eye of her prince. And in the end everything works out for the benefit of the heroine.
So why am I rambling on about chick flicks? It's because I think they color our perception of romance and marriage more than we know. The problem is that the heroine is forever the center of the story. All others are props to help her achieve her desires. In the good ole days, the movie ended with a wedding. In our post-modern culture, weddings are no longer the guaranteed ending, but some form of commitment is communicated.
Now let's think about our desire to be married. In fact, let's look at that phrase:  "be married." Isn't that how we always say it? "I want to be married." It's not very common for us to say, "I want to be a wife." We want to be the chosen one and to be the heroine of a chick-flick romance, but we rarely say we want to "be a wife." We chatter about changing our marital status, but it's far more sobering to say we want to undertake a role/position/responsibility.
To get a reality check, we must wipe away the pixie dust and study what the Bible says about this role we desire. Gaining God's perspective is one way we can be proactive about the goal of marriage. Though there are several good books on marriage that I can recommend – including "Feminine Appeal: Seven Virtues of a Godly Wife and Mother" by Carolyn Mahaney and "Love That Lasts: When Marriage Meets Grace" by Gary & Betsy Ricucci – they are additional study. Nothing replaces looking at God's Word itself.
The first passage we encounter about a wife is the well-known Genesis 2 account of the first marriage, between Adam and Eve. Adam definitely has that hallmark male reaction of every fairy tale and chick flick fed to us – "Bone of my bones! Flesh of my flesh!" And that's a good thing. It's good to be attracted to each other. But notice how the Bible goes on speaking where the typical romance story or fairy tale fades out. Instead of a nebulous statement of "living happily ever after," the Bible gives us something concrete to consider about marriage. Women aren't the center of the marriage, the object forever to be admired and applauded. God is at the center and there are two people He's created to reflect His image, one masculine and one feminine. The feminine creature is to reflect God in certain ways and the first way Scripture lists is as a helper:
The LORD God took the man and put him in the garden of Eden to work it and keep it. And the LORD God commanded the man, saying, "You may surely eat of every tree of the garden, but of the tree of the knowledge of good and evil you shall not eat, for in the day that you eat of it you shall surely die."
Then the LORD God said, "It is not good that the man should be alone; I will make him a helper fit for [or corresponding to] him." So out of the ground the LORD God formed every beast of the field and every bird of the heavens and brought them to the man to see what he would call them. And whatever the man called every living creature, that was its name. The man gave names to all livestock and to the birds of the heavens and to every beast of the field. But for Adam there was not found a helper fit for him. So the LORD God caused a deep sleep to fall upon the man, and while he slept took one of his ribs and closed up its place with flesh. And the rib that the LORD God had taken from the man he made into a woman and brought her to the man. Then the man said,

Carolyn McCulley, Author & Contributing Writer
http://www.crosswalk.com

1 April 2013

Di Belakang Setiap Pria Hebat Selalu Ada Wanita Hebat

Thomas Wheeler, CEO Massachusetts Mutual Life Insurance Company, dan
istrinya sedang menyusuri jalan raya antarnegara bagian ketika menyadari
bensin mobilnya nyaris habis. Wheeler segera keluar dari jalan raya bebas
hambatan itu dan tak lama kemudian menemukan pompa bensin yang sudah bobrok
dan hanya punya satu mesin pengisi bensin. Setelah menyuruh satu-satunya
petugas di situ untuk mengisi mobilnya dan mengecek oli, dia berjalan-jalan
memutari pompa bensin itu untuk melemaskan kaki.

Ketika kembali ke mobil, dia melihat petugas itu sedang asyik mengobrol
dengan istrinya. Obrolan mereka langsung berhenti ketika dia membayar si
petugas. Tetapi ketika hendak masuk ke mobil, dia melihat petugas itu
melambaikan tangan dan dia mendengar orang itu berkata, “Asyik sekali
mengobrol denganmu.”

Setelah mereka meninggalkan pompa bensin itu, Wheeler bertanya kepada
istrinya apakah dia kenal lelaki itu. Istrinya langsung mengiyakan. Mereka
pernah satu sekolah di SMA dan pernah pacaran kira-kira setahun.
“Astaga, untung kau ketemu aku,”  Wheeler menyombong. “Kalau kau menikah dengannya,
kau jadi istri petugas pompa bensin, bukan istri direktur utama.”
“Sayangku,” jawab istrinya, “Kalau aku menikah dengannya, dia yang akan
menjadi direktur utama dan kau yang akan menjadi petugas pompa bensin.”

(The Best Of Bits & Pieces, satu dari 71 Kisah dalam Buku Chicken Soup For
The Couple Soul)

30 Maret 2013

Kuatkan Perkawinan dengan Semangat Paskah

Kehidupan pernikahan memang tak selalu indah dan mulus sesuai harapan. Berbagai masalah kerap mewarnai kehidupan rumah tangga. Namun, sebaiknya masalah ini tidak melunturkan semangat Anda dalam menjaga keharmonisan rumah tangga bersama pasangan. Yakinlah bahwa Tuhan akan memberi ujian dalam rumah tangga ini sebagai jalan untuk mempererat dan menguatkan hubungan Anda dan pasangan.

Yesus mengajak Anda dan pasangan untuk menyelami pesan-pesanNya, dan menguatkan hubungan pernikahan Anda melalui pengorbananNya di kayu salib dan kebangkitanNya saat Paskah.

1. Meneladani sikap YesusTiga kejadian penting saat Paskah meliputi kematian, penguburan, dan kebangkitan Kristus. Melalui Paskah, Yesus berusaha memberi contoh kepada manusia bagaimana Anda harus setia dengan komitmen Anda terhadap janji perkawinan. Bahwa kehidupan perkawinan yang bahagia, betapa pun sulit untuk mewujudkannya, akan tercapai bila Anda berkomitmen untuk saling membahagiakan pasangan. Kepercayaan yang teguh akan campur tangan Tuhan, dan yakin akan ada suatu hal baik yang akan Anda terima sesudahnya, akan membuat kehidupan rumah tangga Anda lebih terberkati. Yesus mengajarkan untuk saling berempati, bersikap rendah hati, saling memaafkan, dan saling menjadi berkat bagi pasangan.

2. Lebih bersabar menghadapi masalah

Menyatukan dua jiwa dan kepribadian dalam satu ikatan pernikahan memang tak mudah. Melalui Paskah, Yesus mengajak kita untuk lebih bersabar dalam masalah. Melalui kematianNya di kayu salib, Kristus mengajarkan kita untuk bersabar menunggu buah manis yang akan kita nikmati ketika kita bekerja keras untuk mendapatkannya. Kesabaran dalam menjalani kehidupan pernikahan juga akan menjadikan ikatan Anda dan pasangan semakin kuat. Yesus sendiri harus bersabar menjalani penderitaan, dan mati di salib terlebih dulu sebelum akhirnya bangkit dengan mulia. Paskah mengajarkan kita untuk semakin dikuatkan dalam kesabaran, dan pengharapan dalam menghadapi masalah di pernikahan.

3.  Belajar saling memaafkan

Emosi yang memuncak bisa membuat Anda dan pasangan jadi bertengkar hebat. Tak jarang pula, pertengkaran akan berlangsung cukup lama dan menyisakan rasa kesal. Jika Yesus saja bisa memaafkan orang yang menyiksa dan membunuhNya, maka tak ada alasan bagi Anda untuk tidak memaafkan pasangan yang Anda cintai. Kerelaan Yesus untuk mati dan tidak mendendam, dan justru memaafkan orang-orang yang menyiksaNya, adalah bukti bahwa Ia sungguh mencintai kita sekalipun kita punya kesalahan.
Sifat inilah yang harus dicontoh oleh setiap pasangan. Ketika pasangan melakukan hal-hal yang kurang baik kepada Anda, sebaiknya jangan mendendam atau membalasnya dengan perbuatan yang sama. Sebaliknya, doakan pasangan Anda supaya kemarahannya segera mereda. Berdoalah juga agar Anda mampu memaafkannya dan melakukan introspeksi karena mungkin saja Anda pun punya peran dalam membuatnya marah.
Bersikaplah lebih rendah hati untuk bisa saling memaafkan satu sama lain. Masalah terbesar dalam pernikahan adalah gengsi yang tinggi untuk meminta maaf, dan memaafkan kesalahan pasangan. Anda selalu ingin minta dipahami, namun sulit untuk memahami. Padahal tanpa sikap memaafkan, Anda tak bisa menciptakan hubungan pernikahan yang bahagia, termasuk tak memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan.


Sumber: elevate your marriage/http://female.kompas.com

24 Maret 2013

Pernikahan Bahagia karena Kebiasaan Mengevaluasi Hubungan

Ingin memiliki pernikahan yang bahagia? Sederhana saja caranya, pasangan menikah hanya cukup luangkan waktu 21 menit per tahunnya untuk mengevaluasi hubungan dan menuliskannya. Juga rutin membahas kondisi finansial, bukan semata mengatur keuangan.

Studi yang dipimpin oleh Eli Finkel, kepala departemen psikologi Northwestern University, menunjukkan pasangan yang mengevaluasi hubungan tiga kali setahun memiliki pernikahan yang lebih bahagia.

Selama dua tahun, Finkel meneliti hubungan pasangan menikah. Ia melibatkan 120 pasangan dalam studi ini. Setengah dari pasangan menikah ini mengevaluasi hubungannya dan menuliskannya, tiga kali setahun, setiap empat bulan, total hanya membutuhkan waktu 21 menit setiap tahunnya.

Hasilnya, pasangan menikah yang menuliskan evaluasi hubungan ini tidak mengalami adanya penurunan level kebahagiaan juga terhindar dari masalah ketidakpuasan dalam hubungan pernikahan.

Scott dan Bethany Palmer, The Money Couple (pakar cinta dan keuangan) mengatakan hasil studi Finkel ini memiliki kemiripan dengan pengalaman keduanya dalam melayani klien mereka, pasangan menikah yang berkonsultasi soal keuangan.

Menurut Palmer, pasangan menikah yang rutin membahas keuangan setiap bulan, juga memiliki hubungan yang lebih bahagia. Kebiasaan mengulas keuangan bersama pasangan menguatkan hubungan, membangun kepercayaan dan membuat pasangan menikah lebih kompak dalam menghadapi masa depan.

Pembahasan rutin bulan soal keuangan bukan semata membicarakan perencanaan finansial, namun memberikan kesempatan kepada pasangan menikah untuk mengevaluasi hubungan terutama berkaitan dengan perasaan.

Menurut Palmer, sudah semestinya pasangan menikah membahas keuangan. Setidaknya dengan mempertanyakan apakah kebutuhan Anda dan pasangan akan keuangan sudah sejalan? Apa yang menjadi harapan dan tujuan ke depannya dan bagaimana cara mewujudkannya? Hal-hal semacam ini perlu didiskusikan, dievaluasi demi mendapatkan kebahagiaan. Kalau masalah keuangan menimbulkan perselisihan, cobalah untuk saling mendengarkan dan berkompromi.

Adalah hal yang wajar jika pasangan menikah mengalami pertentangan. Bahkan pasangan menikah yang bahagia seperti disebutkan Finkel dalam studinya, bukan berarti tak pernah melewati perselisihan.

Namun, pasangan yang terbiasa berdiskusi tentang hubungan, tentang perasaan hingga keuangan, akan lebih mudah mengatasi situasi sulit. Meski pun kerap berargumen bahkan mengalami konflik, mereka akan lebih mudah mengatasi situasi termasuk meredakan emosi.

Begitu pun dengan kebiasaan mengevaluasi kondisi finansial. Bisa saja kebiasaan ini menyebabkan konflik dalam hubungan, namun hal ini juga bisa menciptakan keseimbangan dan menyehatkan.

http://female.kompas.com/

Kiat Harmonis: Suami Perlu Bantu Tugas Rumah Tangga

Apa kunci keluarga yang harmonis? Menurut para peneliti dari University of Missouri dan Utah State University, pernikahan yang bahagia akan tercapai jika ayah memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak, dan dengan suka rela membantu pekerjaan rumah tangga.
Para peneliti menambahkan, pasangan akan bahagia jika mereka saling bekerja sama dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, membagi-bagi tugas belum tentu akan membuat relasi suami-istri berjalan seimbang.
Umumnya, pria akan diserahi tugas-tugas yang berat seperti mengangkat galon minuman, mengganti tabung gas, atau membuang sampah. Sementara perempuan membereskan meja makan, mencuci piring, dan sebagainya. Namun, pembagian seperti ini kadang-kadang bisa menjadi kesalahan.

"(Dari penelitian ini) Kami mendapati bahwa tidak masalah siapa yang mengerjakan apa, tapi seberapa puas orang-orang ini dengan pembagian tugas tersebut. Ketika para istri bekerja sama dengan suami, ternyata mereka lebih puas dengan pembagian tugas tersebut," papar Erin Holmes, profesor dari Brigham Young University.

Untuk mengetahui apa yang menimbulkan kualitas dalam hubungan pernikahan, para peneliti mengamati bagaimana 160 pasangan menangani pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Kebanyakan dari mereka adalah orangtua berusia 25-30 tahun, dan semua memiliki anak berusia lima tahun atau lebih muda. Memiliki anak-anak yang masih kecil merupakan tahapan yang paling menantang bagi orangtua muda.
Dari pengamatan tersebut terlihat bahwa kualitas hubungan ayah dan anak ternyata menjadi satu-satunya faktor paling penting, diikuti dengan kesediaan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga bersama istri. Bagi kaum perempuan, hubungan ayah dan anak yang baik menandakan bahwa orangtua pun kemungkinan akan memiliki hubungan yang baik.
Peneliti mengukur keterlibatan ayah dengan sejumlah cara, seperti bermain dengan anak, menemani hobi yang dijalani anak, dan mengajarkan anak membuat PR dan sejenisnya.

"Sesuatu yang sederhana seperti membacakan buku untuk anak setiap malam dan ngobrol bersama mereka mengenai aktivitas mereka sepanjang hari akan memberikan manfaat dalam jangka panjang," tutur Adam Galovan, rekan setim Holmes.
Dalam penelitian sebelumnya, Holmes mendapati bahwa suami dan istri sama-sama meningkatkan kerjasama dalam pekerjaan rumah tangga ketika bersiap menjadi orangtua. Para ayah umumnya melakukan pekerjaan rumah tangga dua kali lebih banyak setelah bayi pertama lahir. Sedangkan para ibu melakukan pekerjaan rumah lima kali lebih banyak daripada sebelumnya!

"Namun ketika para istri merasa puas dengan pembagian tugas, kedua belah pihak dilaporkan memiliki kualitas pernikahan yang lebih tinggi," tutup Holmes.

http://female.kompas.com

4 Februari 2013

Cinta adalah Bertengkar 2.455 Kali

Survei yang dilakukan perusahaan asuransi Inggris mengungkapkan bahwa rata-rata pasangan bertengkar 2.455 kali dalam satu tahun, setara dengan hampir tujuh kali sehari.

The Sun mengungkapkan, alasan tunggal terbesar pertengkaran kecil adalah seseorang tidak mendengarkan apa yang dikatakan pasangannya, yang bertanggung jawab untuk kira-kira 112 pertengkaran dalam setahun.

Kejengkelan mengenai belanja yang berlebihan, terutama pada pembelian yang impulsif atau tidak penting, membuat 109 perselisihan; uang pada umumnya menjadi penyebab dari 108 pertengkaran.
Kemalasan menyebabkan 105 pertengkaran, sementara mendengkur memicu 102 pertengkaran. Apa yang akan dimakan untuk makan malam menyebabkan 92 perbedaan pendapat dalam setahun dan 80 pertengkaran adalah mengenai masuk ke rumah dengan alas kaki yang terkena lumpur.
Menyetir terlalu kencang dan apa yang akan ditonton di televisi adalah penyebab konflik lebih dari sekali seminggu.
Seks, terutama karena kurang atau waktunya, juga menyebabkan pertengkaran 88 kali dalam setahun.
Survei itu juga menunjukkan bahwa rata-rata pasangan berbeda pendapat mengenai mendisiplinkan anak-anak sebanyak 88 kali dan 79 perselisihan lebih lanjut mengenai memanjakan mereka.
Bahkan ada 69 perselisihan karena seseorang tidak cukup mengatakan "aku mencintaimu".
Angka itu diungkapkan dalam penelitian yang melibatkan 3.000 orang, baik pasangan menikah maupun yang berpacaran, oleh asuransi rumah Esure.

"Bertengkar setiap hari merupakan bagian dari berada dalam hubungan yang normal, sehat. Pasangan yang hidup bersama secara normal harus bertahan tanpa mengeluh satu sama lain mengenai gangguan yang lain sehari-hari, bahkan bila mereka bisa terbukti menjadi sangat menjengkelkan," kata seorang juru bicara.

sumber :  http://female.kompas.com

Mengatasi Masalah Hubungan karena Penghasilan

Orang ketiga bukan satu-satunya ganjalan cinta,karier kekasih pun bisa membuat hubungan bergejolak. Salah satu masalah dalam karier bisa berhubungan dengan penghasilan.

Contoh kasusnya: “Gaji saya dan pasangan tak jauh berbeda. Padahal kami sudah mulai merencanakan pernikahan yang tentunya membutuhkan pengeluaran besar, belum lagi pengeluaran setelah menikah. Sebagai perempuan yang akan hidup dengannya, saya berharap dia memiliki pendapatan lebih sebagai kepala keluarga nanti. Tapi dengan pekerjaannya sekarang, sepertinya tidak mungkin ada lonjakan pemasukan. Bila meminta dia berganti pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi, bisa-bisa ia tersinggung dan berakibat fatal.”

Untuk mengatasi dilema ini, jangan katakan: “Dengan gaji segitu kayaknya hidup kita bakal susah nih, kenapa kamu enggak mencoba melamar pekerjaan sebagai manager?” Sebaiknya katakan: “Keuangan kita memang sedikit lemah, tapi masih bisa kita atasi kok.”

Anda boleh mengungkapkan keinginan Anda dengan bilang, “Pasti lebih asyik kalau kita simpanan lebih.” Lanjutkan dengan kalimat penting, seperti  “… tapi karena aku sayang kamu, itu tetap yang paling penting!” Kalimat seperti ini dapat meningkatkan sekaligus menyentuh harga dirinya sebagai pria.

Meski bila terhimpit, pada akhirnya Anda harus mengusulkan pengetatan budget dari pengeluaran Anda berdua. Namun bila Anda masih merasa membutuhkan figur pasangan yang mampu memberikan asupan dana berlebih, coba tanyakan kembali pada diri Anda, “ Apakah memiliki banyak uang lebih penting daripada memiliki cintanya?”

sumber: http://female.kompas.com

9 Januari 2013

3 Tantangan Terbesar dalam Pernikahan

Menikah saat ini menjadi semacam tuntutan dari masyarakat. Anda menikah karena "sudah waktunya menikah", atau karena "sudah pacaran terlalu lama", atau karena "ibu lelah selalu ditanya tetangga dan keluarga, kapan anaknya menikah". Jadi, menikah bukan lagi karena adanya kebutuhan Anda dan pasangan untuk saling membahagiakan, dan untuk membentuk keluarga kecil yang akan melengkapi kebahagiaan Anda berdua.
Padahal, tantangan dalam kehidupan pernikahan sangat besar dan tidak bisa dipandang remeh. Meskipun begitu, tantangan memang sebaiknya dihadapi, bukan dihindari. Seperti disampaikan Susan Shapiro Barash, pakar hubungan dan penulis buku The Nine Phases of Marriage, jika Anda memang bertekad untuk menikah, Anda perlu mengetahui tiga tantangan terbesar ini, dan bagaimana mengatasinya.

1. Keuangan
Banyak pasangan yang sudah membicarakan keuangan sebelum menikah, karena menyadari pentingnya masalah ini ketika mereka sudah bersatu dalam hubungan pernikahan. Namun sesering apa pun pasangan membahas keuangan saat masih pacaran, atau seberapa sering perempuan mendiskusikannya dengan suami saat sudah menikah, menurut Susan keuangan tetap menjadi masalah besar dalam pernikahan.
Kebanyakan pasangan mengatur keuangan dengan cara memisahkan rekening bank untuk menyimpan penghasilan masing-masing, dan membuat rekening bersama untuk biaya operasional rumah tangga, pendidikan anak, atau liburan keluarga. Saran Susan, untuk memulai pembicaraan mengenai keuangan tanpa menyinggung perasaan, masing-masing pasangan harus bersikap fleksibel. Misalnya salah satu dari Anda tengah menghadapi masalah di kantor seperti perampingan karyawan, maka Anda dan suami perlu saling menyesuaikan perubahan gaya hidup.

2. Keluarga
Masalah kedua yang sering menjadi bahan pertengkaran dalam rumah tangga adalah keluarga, khususnya dalam menghadapi mertua atau saudara ipar. Ini termasuk masalah klasik. Bagaimana ketika ibu mertua terlibat terlalu jauh dalam rumah tangga Anda, atau bagaimana pembagian waktu untuk mengunjungi keluarga masing-masing, sering menjadi isu sensitif dalam pernikahan.
Menurut Susan, baik suami maupun istri harus lebih sensitif andaikan suami sangat dekat dengan saudari perempuan atau ibunya, meskipun kedekatan (atau ketergantungan?) itu membuat Anda kesal. Sejauh mana Anda bisa menembus batasan-batasan, sehingga Anda bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan, dan begitu pula dengan suami Anda? Kuncinya adalah pada komunikasi yang terbuka.
Seringkali perempuan masih sulit melakukan hal ini. Misalnya, Anda merasa dianggap tidak becus mengasuh anak jika setiap kali ibu mertua mengambil alih anak-anak dari tangan Anda. Namun, sebagai perempuan Anda sulit mengekspresikan ketidaksetujuan itu, dan memilih diam sambil cemberut sepanjang hari. Pria tidak akan bisa membaca pikiran Anda. Jadi, lebih baik Anda menyampaikan keberatan-keberatan Anda, sekaligus mencari solusi yang tidak menyakiti siapa pun.

3. Anak
Kita hidup dalam masyarakat yang mengagungkan (kepemilikan) anak. Pasangan menikah dituntut untuk punya anak; kalau tidak, dianggap belum lengkap. Kemudian ketika mempunyai anak, orangtua selalu menerapkan pengasuhan "helikopter", di mana orangtua bersikap terlalu protektif sehingga mengatur keperluan anak sampai ke hal-hal terkecil. Padahal, cara pengasuhan seperti ini justru bisa mengacaukan hubungan Anda dan suami.
Masalah ini bisa berkembang ketika Anda dan suami punya nilai-nilai yang berbeda dalam mendidik anak. Misalnya, Anda ingin anak bersekolah di sekolah internasional yang menggunakan bahasa asing, sedangkan suami ingin menyekolahkan anak di sekolah negeri supaya tetap "membumi". Perbedaan keinginan ini mencerminkan bagaimana pernikahan Anda akan berlangsung ketika kehadiran anak-anak justru mengubah hubungan Anda berdua. Untuk menghindari perdebatan ini, Anda harus saling menyesuaikan diri dengan pandangan masing-masing.



Sumber: Shine/KOMPAS.com