Seorang manajer ingin menguji karyawannya, tentang nilai-nilai
kehidupan. Caranya, ia mengumumkan bahwa di lemari tiap karyawan, ada
kantong plastik yang di dalamnya terdapat benih tanaman. Ketika mereka
pulang, mereka harus menanam benih itu ke dalam tanah yang baik di
sebuah pot dan menjaganya dengan baik.
Sang manajer akan mengadakan kompetisi pada tahun berikutnya dan akan diberikan penghargaan bagi tanaman terbaik.
Semua karyawan melakukan apa yang diperintahkan. Setahun berlalu
dengan cepat. Lalu, tahun berikutnya di aula, ada ratusan pot serta
berbagai macam tanaman besar. Namun, ada satu pot dengan tanah tanpa
tanaman. Pemiliknya berdiri diam-diam dan tampaknya malu pada dirinya
sendiri.
Sang manajer memanggilnya ke atas panggung. Kemudian, ia pun bertanya
apa yang terjadi dan pria pemilik pot kosong itu mengatakan yang
sebenarnya. Pria itu menanam benih yang diberikan oleh manajer, tapi
tidak ada yang terjadi.
Sang manajer menyatakan dialah pemenangnya!
Semua orang terkejut. Manajer itu mengatakan, “Saudara-saudara, benih
yang kuberikan pada kalian sebenarnya sudah direbus. Bila kalian
menanamnya, tidak akan ada yang terjadi. Kalian bertindak cerdas dan
menggunakan benih lain. Orang ini jujur atas pekerjaannya, oleh karena
ia tidak menipu saya atau dirinya sendiri.”
http://female.kompas.com
Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renungan. Tampilkan semua postingan
27 September 2014
5 Januari 2014
Resolusi Tahun Baru
Setiap
menjelang akhir tahun, banyak orang menunggu-nunggu tahun baru. Banyak
juga yang mencoba membuat janji-janji dalam dirinya. Janji-janji untuk
memperbaiki diri, untuk memperbaharui diri.
Apa Arti Resolusi?
Agar tidak membingungkan, langsung saja kita tuliskan apa arti resolusi. Pada pergantian tahun ke tahun yang baru, sering digunakan istilah untuk perbaikan dan pembaruan diri tadi dengan resolusi. Resolusi berarti ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.
Apa Saja Resolusi yang Paling Umum?
Saya membaca di sebuah tabloid, bahwa bagi kebanyakan orang, ada beberapa hal yang biasanya menjadi ketetapan hati di tahun baru, yang paling biasa adalah:
- Menurunkan berat badan
- Berhenti merokok
- Menaati anggaran
- Menabung lebih disiplin atau menghasilkan uang lebih banyak
- Menemukan pekerjaan yang lebih baik
- Lebih tertib dan teratur
- Lebih rajin berolahraga
- Lebih sabar dengan orang lain
- Makan yang lebih baik
- Menjadi orang yang lebih baik
Lalu, apa makna tahun baru?
Saya jadi teringat akan ungkapan yang lucu tapi jitu:
"Banyak orang menanti tahun baru hanya untuk memulai kebiasaan-kebiasaan lama."
:-)
Ha....ha.... kita mungkin seperti tertusuk duri.
Lalu?
Sepertinya ungkapan dari G. K. Chesterton ini, bisa menjadi permenungan,
"Tujuan tahun baru bukan agar kita punya tahun yang baru.
Tujuan tahun baru adalah:
kita harus memiliki jiwa baru."
Apa Arti Resolusi?
Agar tidak membingungkan, langsung saja kita tuliskan apa arti resolusi. Pada pergantian tahun ke tahun yang baru, sering digunakan istilah untuk perbaikan dan pembaruan diri tadi dengan resolusi. Resolusi berarti ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.
Apa Saja Resolusi yang Paling Umum?
Saya membaca di sebuah tabloid, bahwa bagi kebanyakan orang, ada beberapa hal yang biasanya menjadi ketetapan hati di tahun baru, yang paling biasa adalah:
- Menurunkan berat badan
- Berhenti merokok
- Menaati anggaran
- Menabung lebih disiplin atau menghasilkan uang lebih banyak
- Menemukan pekerjaan yang lebih baik
- Lebih tertib dan teratur
- Lebih rajin berolahraga
- Lebih sabar dengan orang lain
- Makan yang lebih baik
- Menjadi orang yang lebih baik
Lalu, apa makna tahun baru?
Saya jadi teringat akan ungkapan yang lucu tapi jitu:
"Banyak orang menanti tahun baru hanya untuk memulai kebiasaan-kebiasaan lama."
:-)
Ha....ha.... kita mungkin seperti tertusuk duri.
Lalu?
Sepertinya ungkapan dari G. K. Chesterton ini, bisa menjadi permenungan,
"Tujuan tahun baru bukan agar kita punya tahun yang baru.
Tujuan tahun baru adalah:
kita harus memiliki jiwa baru."
http://renungan-harian-kita.blogspot.com
4 Oktober 2013
Through All the Seasons. . . God Is Loving and Powerful
Ecclesiastes
3:1-8 — Why has this passage endured the ages as one of the oldest
philosophical poems in our literary canon? It’s certainly among the most
pensive passages of God’s Word, a beautiful meditation that casts a
near-hypnotic spell over readers of any generation.
The
author was the wisest and wealthiest man who ever lived, and this book
is a chronicle of his lifelong quest for true happiness and joy. Solomon
tried wealth, wisdom, work, and wild living. At the end of his
wide-ranging experiments, he concluded that everything was an empty
exercise in vanity. It was like trying to capture the wind in his hands.
As we come to the third chapter, we find Solomon facing an even bigger challenge, a “problem with God.”
I know all about the “problem with God.”
I
would not have chosen cancer as a path to spiritual growth, nor would I
wish such fear and pain on anyone. On the other hand, I do not see my
illness as a random event, some miscellaneous accident of health. And I
do not believe there was a moment when God was absent from the physical,
emotional, and spiritual crisis I endured.
In fact, I found Him everywhere during that time.
I found Him as never before. I glimpsed His face among the doctors and
nurses who cared for me so skillfully. I saw Him there in shining power
among the family of my church, and intimately among the family circle of
my wife and children. He met me in the private chapel of my soul, where
with each passing day I felt deeper in His grace and comfort. I found
my Lord more present and more powerful.
Knowing
there must be pain and suffering for us all, I dearly wish everyone
could travel the road I did. I wish every human soul could see the face
of God in the fear and turmoil.
So many walk a very different path; they experience only His absence.
Rabbi Harold Kushner, the author of When Bad Things Happen to Good People,
when his own three-year-old son contracted a rare disease that took his
life at a young age, penned his conclusions about God and suffering in
order to provide answers to others in similar circumstances.
Kushner’s conclusion was a popularization of an ancient theological conundrum:How can God be both perfectly good and perfectly powerful? The suffering in the world suggests that if He is God, He is not good; or that if He is good, He is not God. In other words, there must be something lacking in either His love or His strength, or He would cure every little pain.
Rabbi
Kushner worked through the old enigma. He concluded that God is
all-loving but not all-powerful. He cares deeply about the people He
created, but after creating the world He backed away and allowed it to
run without His interference.
Solomon
had a different view entirely. He concludes that God is sovereign and
in control, regardless of the imponderables that remain.
Solomon sees God as being present with us but not helpful enough. The
king wants to know why God does not improve the standard of life, do
something about the aging process, show more favoritism to His children,
and perhaps discontinue the program of human pain.
In
his poem, there are fourteen negative statements and fourteen positive
ones, and they fall into three separate categories. The first describes
the influence of time on our bodies, the second focuses on our souls,
and the last deals with our spirits.
And
Solomon’s main thought? Well, it doesn’t take a Hebrew scholar to
notice that the word time occurs twenty-nine times in these verses.
Time and Your Physical Life
To everything there is a season,
A time for every purpose under heaven:
A time to be born, And a time to die;
A time to plant,
And a time to pluck what is planted;
A time to kill,
And a time to heal;
A time to break down,
And a time to build up.
Solomon begins his contemplation with a sobering observation: birth and death both have their appointed times.
When
my grandson, Ryland, was born, I flew to Baltimore for the event. As I
peered through the nursery window at this beautiful new citizen of the
world, it struck me that only a corridor away, some other citizen was
being dispatched. Some family had gathered for the agony of farewell. It
is not a lengthy walk between the nursery and the intensive care unit.
We spend our own time making that trek between entrance and exit, womb
and tomb.
Meanwhile,
there is a time to plant and a time to harvest. Solomon refers to the
food supply because he knows that God sets the boundaries of the
seasons. God has built certain rhythms into His world. The steady
repetition of the seasons provides comfort and a workable cadence to
life.
We
are a bit discomforted to read that there is a time to kill as well as a
time to heal. Yet our bodies are in the process of dying every moment.
Scientists tell us that every seven years we replenish all the cells
within our bodies. There is an ongoing maintenance department in the
human machine that is constantly changing out the old for the new. And
it is governed by time.
Cancer
cells, infection cells, or simply worn-out cells must be killed — so
even killing has its time, and we are grateful. There must be a time to
kill so we might also have a time to heal.
And
what of “a time to break down, and a time to build up”? We build up in
our early years, and we start breaking down as we get older — painful
but true. How old is old? I was enjoying a birthday when David Todd, my
six-year-old grandson, crunched the numbers on my age. He said, “If
Poppy was a dog’s age, he’d be dead!” He was right.
There
is a time for breaking down, but God is there. He is as powerful as He
is loving, and you have the opportunity to experience His power all the
more effectively and vividly when you turn to Him in the breakdowns of
life.Time and Your Emotional Life
A time to weep,
And a time to laugh;A time to mourn,
And a time to dance;
A time to cast away stones,
And a time to gather stones; A time to embrace,
And a time to refrain from embracing.
Time
is also involved with the operations of the soul, the seat of human
emotions. There’s a time to cry, when tears flow freely; there are also
times for laughter. Hopefully, the latter outnumber the former, yet
tears are a part of life. The Bible says, “Jesus wept... He groaned in
the spirit and was troubled” (John 11:35, 33). Job states, “My eyes pour
out tears to God” (Job 16:20). The psalmist asks God to store his tears
in a heavenly bottle, for they are precious (Psalm 56:8). And Psalm
126:5 promises, “Those who sow in tears shall reap in joy.”
Your tears are God’s jewels; they are precious to Him. The greater your suffering, the greater His ministry and grace for you.
There
is a time to mourn and a time to dance. There is a time to hug, and
there are times when hugging is inappropriate. God has given us a wide
spectrum of emotions, and sometimes we feel we are at the mercy of our
anger or depression or grief. It helps to know that each emotion is
simply playing the part allotted to its own special time. We need our
full spectrum of God-given emotions, for they are the emblems of our
humanity. They mark us as children of a God who also has anger, grief,
and laughter.
Time and Your Spiritual Life
A time to gain,
And a time to lose;
A time to keep,
And a time to throw away;
A time to tear,
And a time to sew;A time to keep silence,
And a time to speak;
A time to love,
And a time to hate;
A time of war,And a time of peace.
The last three verses have to do with inner decisions — the deep commitments of our lives. Sometimes we gain; sometimes we lose — money, weight, hair, loved ones, privileges, rights, responsibilities, joys, possessions. We collect and we throw away.
Unfortunately,
at the personal level we seem far more interested in accumulating than
in throwing away. We need to recognize the spiritual value of both, that
there is a time and a season to get rid of stuff.
Solomon
knew there was a “time to keep silence, and a time to speak.” The
father in Proverbs continually admonishes his children to pay attention
to words of wisdom and instruction, but he also warns against talking
too much and becoming ensnared by one’s own words. There is no greater
wisdom than knowing the seasons of the tongue — when it is time to speak
and when it is time to keep silent.
There is a time for love and even a time to hate. A time to hate? Yes, of course. Even Jesus hated. He hated sin. He hated its mastery over human souls. He hated the wake of its destruction.
We need to learn how to hate that which is evil without hating the people who are evil.The passage ends by reminding us that while we all long for a peaceful world, there is even a time when war is morally necessary. “A time of war, and a time of peace”.
Peter Muhlenberg was an Anglican pastor in Virginia. In 1774, he was elected to the Virginia legislature and was present at St. John’s Church in Richmond when Patrick Henry proclaimed, “Give me liberty or give me death!” Peter was so moved that he promptly joined George Washington’s army.
He
recruited other men in his church, and they became known as the German
Regiment under his command. It’s because of men like Peter Muhlenberg
that America has been the home of the brave and the land of the free for
more than two hundred years.
Everything has its appointed time from God. He is sovereign, but He is always faithful.
Through
all the seasons of life, through all the undulating circumstances of
the passing years, God remains both loving and powerful.
by David Jeremiah, from his new book, 31 Days to Happiness
2 Oktober 2013
Breathe Grace
Have
you ever had someone you count on make a promise and then break it? How
about a close friend who takes a deep secret that you shared in
confidence and tells somebody else? Maybe you had someone who was
entrusted to care for you but instead hurt you in one of the deepest
ways imaginable by abusing you physically or sexually? A business
partner gains your trust and then exploits it? How about an ex-spouse
who took the love you had for one another and ruined it by cheating on
you?
If you live long enough, chances are you’ll be hurt or betrayed by someone.
Betrayal is not just being hurt by somebody; it’s being hurt by someone you thought you could count on.
Betrayal
is always a violation of trust and a breaking of a promise. It comes at
the hand of a friend, spouse, coworker, or boss. And like a sucker
punch, it always comes as a shock.
The
crippling reality is that if we don’t do something with that hurt or
betrayal, it will assault us every time it comes to our mind. It will
keep us prisoner of our past because that hurt will impact everything we
touch.
Some
of you have somehow convinced yourself that you can manage the hurt
from your past without offering forgiveness. In fact, maybe you even
tell yourself that you can hardly remember the pain. But unfortunately,
the pains we dare not remember are often the most dangerous pains of
all. We fear these particular hurts so much that we stuff them deep into
our heart and past. But they always come back. Usually disguised, but
they always come back.
Bitterness
contaminates everything. It doesn’t isolate to the source of
bitterness; it spreads to all of your relationships. And left unchecked,
it will ruin everything that is important to you.
Sometimes you don’t forgive someone for their sake; you do it for your own freedom.
I
met Gerry and his wife, Brenda, several years ago at church. Gerry is
quite a bit older than I am, but there was a certain kind of peace this
man radiated that made me want to get to know him better.
I
took them to lunch one day to hear their story and hung on to his every
word over the next hour and a half. Gerry and Brenda had a baby girl
and named her Annie, which meant “blessed by grace.” You can imagine how
heartbroken they were when during Annie’s freshman year of college, her
life began to unravel. Annie dropped out of college and was living with
some friends over two hundred miles away from home. Eventually Gerry
and Brenda discovered that their daughter’s problems were being fueled
by a heavy drug addiction.
During
her freshman year of college, Annie had gotten mixed up with the wrong
group of people, mainly, a guy named Kyle. He introduced her to drugs,
and the rest was downhill from there. She lived with Kyle in a
drug-induced stupor for the next two years. There were weeks they would
disappear and nobody would know where they were or hear from them.
Brenda and Gerry spent many nights crying and praying, fearing that she
was dead in some heroin house.
As
Gerry recalled, “I blamed this guy. I had tried several times to drive
up to Indiana to get her, to rescue her, but she would never come with
me. I was convinced that Kyle was manipulating her. I was convinced that
if it wasn’t for him my daughter would not be doing drugs and not be in
the shape she was. For the first time in my life, I allowed my hatred
to take me to a dark place.
I began daydreaming about how I could kill Kyle.
I thought about how I would do it and how I would cover it up. I
convinced myself it was the only thing I could do to get my daughter
back. I planted a seed of hate in my heart that night, and the root of
bitterness began to grow. It was fertilized daily by my thoughts of
getting rid of Kyle.”
by Pete Wilson, from Let Hope In
1 Mei 2013
Kisah tentang mimpi seorang wanita Kristen
Di dalam mimpinya dia melihat ada tiga orang wanita yang sedang berdoa.
Saat mereka berlutut, sang Tuan datang mendekati mereka.
Dia mendekati wanita yang pertama dengan kelembutan dan anugerah. Dia tersenyum dengan kasih dan berbicara kepadanya dengan nada yang sangat manis.
Setelah itu, Dia mendekati wanita yang kedua. Kepada wanita itu Dia hanya menumpangkan tanganNya ke atas kepala wanita yang sedang menunduk itu dan memberikannya pandangan yang penuh kasih.
Namun kemudian Dia melewati wanita yang ketiga dengan tanpa berhenti untuk mengatakan sesuatu atau hanya memandangnya saja.
Wanita yang bermimpi itu berkata kepada dirinya sendiri, "Pastilah Dia sangat mengasihi wanita yang pertama itu. Wanita yang kedua memperoleh restunya namun dia tidak mengalami sikapNya yang menunjukkan kasih, seperti yang dilakukanNya kepada wanita yang pertama. Sedangkan wanita yang ketiga, pastilah merasa sangat sedih karena Dia sama sekali tidak berkata apa-apa kepadanya, bahkan memandangnya pun tidak."
Tapi datanglah Tuannya dan berdiri disampingnya dan berkata, "Hai, wanita ! Engkau salah dalam menilai sikap-Ku!
Wanita yang pertama sepenuhnya memerlukan kelembutan dan perhatian-Ku supaya dia bisa tetap melangkah di jalan-Ku yang sempit. Dia memerlukan kasih, perhatian dan pertolongan-Ku setiap saat, karena tanpa itu semua dia akan jatuh.
Wanita yang kedua memiliki iman yang lebih kuat dan kasih yang lebih dalam daripada yang dimiliki oleh wanita pertama, dan Aku bisa mengandalkannya untuk tetap mempercayai Aku tanpa memedulikan apa yang terjadi dan apa yang dilakukan orang-orang terhadapnya.
Namun wanita yang ketiga, yang tampaknya tidak Aku perhatikan, bahkan mungkin tampak ditelantarkan, memiliki iman dan kasih yang sangat murni.
Dia sangat mengenal Aku, dan sepenuhnya mempercayai Aku, sehingga dia tidak lagi bergantung pada suara-Ku, tatapan-Ku yang penuh kasih, atau tanda-tanda lainnya untuk bisa mendapatkan persetujuan atau restu-Ku.
Dia tidak akan merasa cemas atau menjadi patah semangat dengan situasi dan keadaan apapun yang Aku rancangkan untuk dia hadapi.
Dia mengetahui bahwa Aku sedang mempersiapkan dirinya untuk kekekalan, dan menyadari bahwa di kemudian hari, dia akan memahami apa yang Aku lakukan.
"Kasih-Ku hening karena kata-kata tidak bisa mengekspresikan kasih-Ku dan hati manusia sukar untuk bisa memahaminya. Dan juga, keheningan-Ku itu adalah demi engkau, supaya engkau belajar untuk mengasihi dan mempercayai-Ku dengan murni, seperti yang diajarkan Roh, dan menanggapinya secara spontan tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang tampak dari luar."
Allah "akan melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti yang belum pernah dijadikan"( Kel. 35:10 ) jika kita belajar tentang rahasia sikap diam-Nya dan tetap memuji-Nya walaupun seolah-olah Allah tidak memberikan karunia-Nya kepadamu.
Melalui hal ini kita akan bisa mengenal dan mengasihi sang Pemberi dengan lebih baik.
http://terangduniaministry.blogspot.com
Saat mereka berlutut, sang Tuan datang mendekati mereka.
Dia mendekati wanita yang pertama dengan kelembutan dan anugerah. Dia tersenyum dengan kasih dan berbicara kepadanya dengan nada yang sangat manis.
Setelah itu, Dia mendekati wanita yang kedua. Kepada wanita itu Dia hanya menumpangkan tanganNya ke atas kepala wanita yang sedang menunduk itu dan memberikannya pandangan yang penuh kasih.
Namun kemudian Dia melewati wanita yang ketiga dengan tanpa berhenti untuk mengatakan sesuatu atau hanya memandangnya saja.
Wanita yang bermimpi itu berkata kepada dirinya sendiri, "Pastilah Dia sangat mengasihi wanita yang pertama itu. Wanita yang kedua memperoleh restunya namun dia tidak mengalami sikapNya yang menunjukkan kasih, seperti yang dilakukanNya kepada wanita yang pertama. Sedangkan wanita yang ketiga, pastilah merasa sangat sedih karena Dia sama sekali tidak berkata apa-apa kepadanya, bahkan memandangnya pun tidak."
Tapi datanglah Tuannya dan berdiri disampingnya dan berkata, "Hai, wanita ! Engkau salah dalam menilai sikap-Ku!
Wanita yang pertama sepenuhnya memerlukan kelembutan dan perhatian-Ku supaya dia bisa tetap melangkah di jalan-Ku yang sempit. Dia memerlukan kasih, perhatian dan pertolongan-Ku setiap saat, karena tanpa itu semua dia akan jatuh.
Wanita yang kedua memiliki iman yang lebih kuat dan kasih yang lebih dalam daripada yang dimiliki oleh wanita pertama, dan Aku bisa mengandalkannya untuk tetap mempercayai Aku tanpa memedulikan apa yang terjadi dan apa yang dilakukan orang-orang terhadapnya.
Namun wanita yang ketiga, yang tampaknya tidak Aku perhatikan, bahkan mungkin tampak ditelantarkan, memiliki iman dan kasih yang sangat murni.
Dia sangat mengenal Aku, dan sepenuhnya mempercayai Aku, sehingga dia tidak lagi bergantung pada suara-Ku, tatapan-Ku yang penuh kasih, atau tanda-tanda lainnya untuk bisa mendapatkan persetujuan atau restu-Ku.
Dia tidak akan merasa cemas atau menjadi patah semangat dengan situasi dan keadaan apapun yang Aku rancangkan untuk dia hadapi.
Dia mengetahui bahwa Aku sedang mempersiapkan dirinya untuk kekekalan, dan menyadari bahwa di kemudian hari, dia akan memahami apa yang Aku lakukan.
"Kasih-Ku hening karena kata-kata tidak bisa mengekspresikan kasih-Ku dan hati manusia sukar untuk bisa memahaminya. Dan juga, keheningan-Ku itu adalah demi engkau, supaya engkau belajar untuk mengasihi dan mempercayai-Ku dengan murni, seperti yang diajarkan Roh, dan menanggapinya secara spontan tanpa dipengaruhi oleh hal-hal yang tampak dari luar."
Allah "akan melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti yang belum pernah dijadikan"( Kel. 35:10 ) jika kita belajar tentang rahasia sikap diam-Nya dan tetap memuji-Nya walaupun seolah-olah Allah tidak memberikan karunia-Nya kepadamu.
Melalui hal ini kita akan bisa mengenal dan mengasihi sang Pemberi dengan lebih baik.
http://terangduniaministry.blogspot.com
Cerita Inspiratif: Baju-Baju yang Menipu
Seorang
wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian
sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan
dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.
Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.
"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk.
Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.
"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk.
Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard.
Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.
Refleksi:
Kita,
seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat
tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap
menipu.
http://ajaran-kristen.blogspot.com
29 April 2013
Melalui Keunikannya Wanita Berfungsi & Menjadi Teladan
Ketika sisi keunikan wanita dipulihkan, maka ia dapat berfungsi dengan benar. Apa kata Firman Tuhan tentang “Fungsi” wanita? Kitab Kejadian 2:18 berkata:
Bagi wanita single, ia harus belajar menjadi penolong dengan cara melayani orang lain, mengasihi dan bersedia untuk menerima kasih dari orang-orang sekitarnya. Bila ia sudah menikah, ia harus melayani suami dan anak-anaknya.
Tidak hanya keluarganya tetapi ia juga harus belajar melayani orang-orang lain. Allah menciptakan kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik (Efesus 2:10). Menjadi penolong adalah tujuan hidup wanita didunia dan harus dimulai sejak masa single, sehingga pada saat menikah ia akan tetap menjalaninya tanpa merasa kurang berharga sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anaknya.
Banyak wanita melihat kata “penolong” sebagai hal yang kurang berharga dibandingkan dengan pria sebagai kepala-”Pemimpin”. Roh Kudus adalah Roh Penolong bagi kita semua (Yohanes 14:16). Penolong berbicara tentang fungsi, bukan inferioritas. Untuk menjadi seorang pelolong, setiap wanita harus belajar memiliki sikap hari “tunduk” dengan menghormati pria.
Menghormati bukan berarti pria lebih hebat atau lebih kuat dari wanita, sikap hati tunduk artinya menghormati mereka sebagai kepala seperti yang Tuhan inginkan dalam 1 Korintus 11:3. Bila kita melakukannya berarti kita mentaati perintah Tuhan, bukan sedang menunjukkan bahwa wanita kurang berharga dari pria.
Saat seorang wanita menikah, ia harus belajar untuk menundukkan diri kepada suami. Demikian juga suami harus mengasihi istri seperti yang tertulis dalam Efesus 5: 22-24.
(Sumber: MUTIARA KEHIDUPAN WANITA – 30 Hari merenungkan Firman Tuhan dan belajar menjadi bijak).
http://gkiibethel.com
“Tuhan Allah berfirman: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”.Tuhan menciptakan wanita untuk menjadi penolong yang sepadan, artinya dapat bersanding dengan pria. Ia adalah penolong yang sepadan dalam keadaan apapun dan dalam kelompok usia manapun (remaja, single maupun menikah). Tujuan awal Allah menciptakan wanita adalah menjadi penolong yang sepadan, didalam lingkungan keluarga, pekerjaan maupun pelayanan.
Bagi wanita single, ia harus belajar menjadi penolong dengan cara melayani orang lain, mengasihi dan bersedia untuk menerima kasih dari orang-orang sekitarnya. Bila ia sudah menikah, ia harus melayani suami dan anak-anaknya.
Tidak hanya keluarganya tetapi ia juga harus belajar melayani orang-orang lain. Allah menciptakan kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik (Efesus 2:10). Menjadi penolong adalah tujuan hidup wanita didunia dan harus dimulai sejak masa single, sehingga pada saat menikah ia akan tetap menjalaninya tanpa merasa kurang berharga sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anaknya.
Banyak wanita melihat kata “penolong” sebagai hal yang kurang berharga dibandingkan dengan pria sebagai kepala-”Pemimpin”. Roh Kudus adalah Roh Penolong bagi kita semua (Yohanes 14:16). Penolong berbicara tentang fungsi, bukan inferioritas. Untuk menjadi seorang pelolong, setiap wanita harus belajar memiliki sikap hari “tunduk” dengan menghormati pria.
Menghormati bukan berarti pria lebih hebat atau lebih kuat dari wanita, sikap hati tunduk artinya menghormati mereka sebagai kepala seperti yang Tuhan inginkan dalam 1 Korintus 11:3. Bila kita melakukannya berarti kita mentaati perintah Tuhan, bukan sedang menunjukkan bahwa wanita kurang berharga dari pria.
Saat seorang wanita menikah, ia harus belajar untuk menundukkan diri kepada suami. Demikian juga suami harus mengasihi istri seperti yang tertulis dalam Efesus 5: 22-24.
Hai Istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus adalah kepala Jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah istri kepada suami dalam segala sesuatu”.(Efesus 5: 22-24)Untuk dapat menjalankan fungsi sebagai penolong dalam keluarga, maka wanita memerlukan sikap penundukan diri yang benar, bukan atas dasar paksaan melainkan karena ketaatan pada Firman Tuhan, sehingga mendatangkan berkat dan kemuliaan bagi Tuhan.
(Sumber: MUTIARA KEHIDUPAN WANITA – 30 Hari merenungkan Firman Tuhan dan belajar menjadi bijak).
http://gkiibethel.com
Kata-Kata Bijak Bunda Theresa
Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai musuh dan orang
di sekelilingmu iri hati atau cemburu… Tetapi teruskanlah kesuksesanmu
itu.
Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud dibalik perbuatan baik yang kau lakukan itu… Tetapi tetaplah berbuat baik.
Kebaikan yang kau lakukan hari ini mungkin besok akan dilupakan orang… Tetapi teruslah berbuat baik.
Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagian di dalam hati, orang lain mungkin akan iri hati kepadamu… Tetapi tetaplah berbahagia.
Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup… Tetapi tetaplah berikan yang terbaik…
Apa yang telah engkau bangun selama bertahun-tahun dapat dihancurkan oleh orang lain dalam satu malam saja… Tetapi janganlah berhenti dan tetaplah membangun!!!
Kasih yang tulus tidak pernah menilai hasilnya, melainkan hanya memberi…
Satu hal yang saya minta dari Anda: Jangan pernah takut untuk memberi, tetapi jangan memberi dari kelebihan Anda. Berikan dimana hal itu sukar bagi Anda…
Berikan yang terbaik dari apa yang engkau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup. Tetapi tetaplah berikan yang terbaik. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan atas perbuatan baik yang engkau lakukan. Percayalah bahwa mata TUHAN tertuju pada orang-orang yang jujur dan DIA melihat ketulusan hatimu.
Hidup adalah kesempatan, manfaatkanlah.
Hidup adalah keindahan, kagumilah.
Hidup adalah kebahagiaan, nikmatilah.
Hidup adalah mimpi, sadarlah.
Hidup adalah tantangan, hadapilah.
Hidup adalah kewajiban, selesaikanlah.
Hidup adalah permainan, mainkanlah.
Hidup adalah sebuah janji, penuhilah.
Hidup adalah penderitaan, atasilah.
Hidup adalah kidung, nyanyikanlah.
Hidup adalah perjuangan, terimalah.
Hidup adalah tragedi, berjuanglah.
Hidup adalah petualangan, beranilah.
Hidup adalah keberuntungan, lakukanlah.
Hidup terlalu berharga, jangan dihancurkan.
Hidup adalah hidup, berjuanglah untuknya!
Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud dibalik perbuatan baik yang kau lakukan itu… Tetapi tetaplah berbuat baik.
Kebaikan yang kau lakukan hari ini mungkin besok akan dilupakan orang… Tetapi teruslah berbuat baik.
Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagian di dalam hati, orang lain mungkin akan iri hati kepadamu… Tetapi tetaplah berbahagia.
Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup… Tetapi tetaplah berikan yang terbaik…
Apa yang telah engkau bangun selama bertahun-tahun dapat dihancurkan oleh orang lain dalam satu malam saja… Tetapi janganlah berhenti dan tetaplah membangun!!!
Kasih yang tulus tidak pernah menilai hasilnya, melainkan hanya memberi…
Satu hal yang saya minta dari Anda: Jangan pernah takut untuk memberi, tetapi jangan memberi dari kelebihan Anda. Berikan dimana hal itu sukar bagi Anda…
Berikan yang terbaik dari apa yang engkau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup. Tetapi tetaplah berikan yang terbaik. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan atas perbuatan baik yang engkau lakukan. Percayalah bahwa mata TUHAN tertuju pada orang-orang yang jujur dan DIA melihat ketulusan hatimu.
Hidup adalah kesempatan, manfaatkanlah.
Hidup adalah keindahan, kagumilah.
Hidup adalah kebahagiaan, nikmatilah.
Hidup adalah mimpi, sadarlah.
Hidup adalah tantangan, hadapilah.
Hidup adalah kewajiban, selesaikanlah.
Hidup adalah permainan, mainkanlah.
Hidup adalah sebuah janji, penuhilah.
Hidup adalah penderitaan, atasilah.
Hidup adalah kidung, nyanyikanlah.
Hidup adalah perjuangan, terimalah.
Hidup adalah tragedi, berjuanglah.
Hidup adalah petualangan, beranilah.
Hidup adalah keberuntungan, lakukanlah.
Hidup terlalu berharga, jangan dihancurkan.
Hidup adalah hidup, berjuanglah untuknya!
6 April 2013
With Love, A Letter to My Children
The wisdom and self-acceptance that comes with growing older and
having a family is a gift. The gift of seeing beautiful imperfections in
the mirror instead of physical flaws.
Or the gift of knowing that without disappointments or failures you wouldn’t have found the inspiration to better yourself.
Aging means we’ve just acquired more tools that help us learn how to respond to life and take care of others. Youthful mistakes, heartbreak, failures and disappointments are rites of passage that not only help shape who we are as individuals but also who we are as parents.
When we think about what we’d write in a letter to our younger selves, we often think about what we’d tell our children. When you really reflect, you realize you’d rather teach your children, rather than change your younger self.
In a letter to my children, I wish for you to…
What would you tell your children or to your younger self?
http://www.jeremystatton.com
Or the gift of knowing that without disappointments or failures you wouldn’t have found the inspiration to better yourself.
Aging means we’ve just acquired more tools that help us learn how to respond to life and take care of others. Youthful mistakes, heartbreak, failures and disappointments are rites of passage that not only help shape who we are as individuals but also who we are as parents.
When we think about what we’d write in a letter to our younger selves, we often think about what we’d tell our children. When you really reflect, you realize you’d rather teach your children, rather than change your younger self.

photo by Dimitris Papazimouris
Thirst for Knowledge
Whether you’re in first grade or completing grad school, keep learning and stay thirsty for knowledge. Like your faith and integrity, your knowledge and education is something that no one can take from you or use against you. You can never learn too much and you never finish learning. Intelligence will get you far in life, from getting a job to getting a date.Accept Failure & Disappointment
If you failed, learn from it. If you’re disappointed, it will pass. Failure and disappointment build strength and character. Take my word for it when I say that you wouldn’t want to live a life that handed you everything you ever wanted.Be Who You Are
As you make friends and go to school, nothing is going to feel more important than fitting in. You may and you may not. More than anything, I’ll want to protect your identity and never let anyone persuade you from being who you truly are. If the boy from your soccer team doesn’t invite you to his birthday party or if kids are cruel to you, you’re going to feel like world is against you. Amid feelings of loneliness or insecurity, you will find your place in this world that appreciates you for exactly who you are.Save Money
Save your money because you’ll appreciate the ability to do so when you’re older. Life without materialism and the need for instant gratification will be a good life. Plus, if you put your money away for a rainy day, then you’ll be able to make the most of when it pours.Be Kind & Compassionate
“Treat others as you wish to be treated.” Live by that and you’ll make no enemies.Get Your Heart Broken
Fall in love hard. Get your heart helplessly broken. The ability to love and feel is a beautiful thing, and if your heart gets broken, it only means your human. As long as you’re breathing, your heart is alive and reparable, yet it will break over and over again. People will fall out of love. People will die. Life will go on.What would you tell your children or to your younger self?
http://www.jeremystatton.com
4 April 2013
The Amazing Calling of Being “Mom”
The other morning I woke up while my children were still sleeping and began to pray. I started thinking about my identity. What am I? Who am I?
As I settled into my prayer time I began to rejoice at the thought that
I am a mother. It is part of who I am. To my children it is my name:
Mom.
The modern mom doesn’t always like to be identified as a mother. We are “liberated.” We have names and identities of much greater significance. Even the Christian mommy would prefer to keep her mom identity in check. “I am a Christian first and foremost,” we might say. This is so true and so good. We are first and foremost identified as united to Christ. He has redeemed us and therefore our identities are wrapped up in his righteousness. But this doesn’t mean we have to deny the significance of being a mother as we embrace who we are in Jesus.
Maybe what we need is not to shed our mommy title, rather see the true significance of it. One great example can be found in the biblical account of Timothy. Timothy was the son of a Jewish woman who was also a believer, Eunice, and a Greek father (Acts 16:1, 2). Though we don’t seem to know much about his father, we get some crucial information about his mother.
Timothy was a young pastor and Paul’s child in the faith (1 Timothy 1:2). Paul loved Timothy for his faithfulness to the sacred texts and his friendship (2 Timothy 3:15, 10–11). When everyone had abandoned Paul during his imprisonment in Rome, Timothy remained faithful to Paul through prayers and tears (2 Timothy 1:3–5). Paul was greatly affected by the ministry and love of his apprentice. And Paul attributes Timothy’s faith and character to his mother’s and his grandmother’s faithful witness.
Paul references the legacy of these women in two places. First we see it when he is thanking God for Timothy and his faith. He reminds him that his sincere faith dwelt first in his grandmother Lois and then his mother Eunice and he says, “now, I am sure, dwells in you as well,” (2 Timothy 1:5). Later on Paul encourages Timothy to stay strong in the Word, not being deceived, and under the persecution that surely comes from those who follow Christ (2 Timothy 3:12–14). And yet again he reminds him that he learned and firmly believed the Word from a young age, “from childhood” (2 Timothy 3:15).
Moms, this is very significant. Eunice and Lois invested in Timothy to teach him about God. The gospel was passed on to Timothy and from Timothy to other generations. And even more importantly, Timothy now enjoys the benefits of being with Christ, forever.
God has called us, Moms, to train up our children in the way they should go (Proverbs 22:6). There really couldn’t be a more significant calling than to pass on the legacy of our faith. The Great Commission applies to us, in our homes with our children. Our Christ-identity is to be poured out into the lives of our children. We don’t need to shed this God-given title of “Mom.” We are called to maximize what it means for the glory of Christ. We can embrace our role without grumbling and with the full assurance of God’s sovereign goodness. God promises that as we shine light into this world (and that includes our kids) we will know that our labor was not in vain (Philippians 2:12–16).
We may never know the significance of our Mommy-title this side of heaven, but we know Lois’ and Eunice’s and we know that generations of people have been saved as a result of their faithfulness to teach one.
http://www.desiringgod.org
The modern mom doesn’t always like to be identified as a mother. We are “liberated.” We have names and identities of much greater significance. Even the Christian mommy would prefer to keep her mom identity in check. “I am a Christian first and foremost,” we might say. This is so true and so good. We are first and foremost identified as united to Christ. He has redeemed us and therefore our identities are wrapped up in his righteousness. But this doesn’t mean we have to deny the significance of being a mother as we embrace who we are in Jesus.
Maybe what we need is not to shed our mommy title, rather see the true significance of it. One great example can be found in the biblical account of Timothy. Timothy was the son of a Jewish woman who was also a believer, Eunice, and a Greek father (Acts 16:1, 2). Though we don’t seem to know much about his father, we get some crucial information about his mother.
Timothy was a young pastor and Paul’s child in the faith (1 Timothy 1:2). Paul loved Timothy for his faithfulness to the sacred texts and his friendship (2 Timothy 3:15, 10–11). When everyone had abandoned Paul during his imprisonment in Rome, Timothy remained faithful to Paul through prayers and tears (2 Timothy 1:3–5). Paul was greatly affected by the ministry and love of his apprentice. And Paul attributes Timothy’s faith and character to his mother’s and his grandmother’s faithful witness.
Paul references the legacy of these women in two places. First we see it when he is thanking God for Timothy and his faith. He reminds him that his sincere faith dwelt first in his grandmother Lois and then his mother Eunice and he says, “now, I am sure, dwells in you as well,” (2 Timothy 1:5). Later on Paul encourages Timothy to stay strong in the Word, not being deceived, and under the persecution that surely comes from those who follow Christ (2 Timothy 3:12–14). And yet again he reminds him that he learned and firmly believed the Word from a young age, “from childhood” (2 Timothy 3:15).
Moms, this is very significant. Eunice and Lois invested in Timothy to teach him about God. The gospel was passed on to Timothy and from Timothy to other generations. And even more importantly, Timothy now enjoys the benefits of being with Christ, forever.
God has called us, Moms, to train up our children in the way they should go (Proverbs 22:6). There really couldn’t be a more significant calling than to pass on the legacy of our faith. The Great Commission applies to us, in our homes with our children. Our Christ-identity is to be poured out into the lives of our children. We don’t need to shed this God-given title of “Mom.” We are called to maximize what it means for the glory of Christ. We can embrace our role without grumbling and with the full assurance of God’s sovereign goodness. God promises that as we shine light into this world (and that includes our kids) we will know that our labor was not in vain (Philippians 2:12–16).
We may never know the significance of our Mommy-title this side of heaven, but we know Lois’ and Eunice’s and we know that generations of people have been saved as a result of their faithfulness to teach one.
http://www.desiringgod.org
Be Married or Be a Wife
How do you define a "chick flick"? My definition is that it's a movie women love and men are itching to turn off.
Chick flicks appeal to us because they are grown-up versions of fairy tales. As little girls, we read stories about how some plain girl becomes a dazzling princess and earns at first glance the undying devotion of a prince. Rescued from obscurity, she lives happily ever after.
This is the same storyline of every chick flick, but it's set in a big city (usually Manhattan) and the heroine's charms are her quirky personality and chutzpah. There's no fairy godmother to wave a wand, but there's always some sort of physical transformation to catch the eye of her prince. And in the end everything works out for the benefit of the heroine.
So why am I rambling on about chick flicks? It's because I think they color our perception of romance and marriage more than we know. The problem is that the heroine is forever the center of the story. All others are props to help her achieve her desires. In the good ole days, the movie ended with a wedding. In our post-modern culture, weddings are no longer the guaranteed ending, but some form of commitment is communicated.
Now let's think about our desire to be married. In fact, let's look at that phrase: "be married." Isn't that how we always say it? "I want to be married." It's not very common for us to say, "I want to be a wife." We want to be the chosen one and to be the heroine of a chick-flick romance, but we rarely say we want to "be a wife." We chatter about changing our marital status, but it's far more sobering to say we want to undertake a role/position/responsibility.
To get a reality check, we must wipe away the pixie dust and study what the Bible says about this role we desire. Gaining God's perspective is one way we can be proactive about the goal of marriage. Though there are several good books on marriage that I can recommend – including "Feminine Appeal: Seven Virtues of a Godly Wife and Mother" by Carolyn Mahaney and "Love That Lasts: When Marriage Meets Grace" by Gary & Betsy Ricucci – they are additional study. Nothing replaces looking at God's Word itself.
The first passage we encounter about a wife is the well-known Genesis 2 account of the first marriage, between Adam and Eve. Adam definitely has that hallmark male reaction of every fairy tale and chick flick fed to us – "Bone of my bones! Flesh of my flesh!" And that's a good thing. It's good to be attracted to each other. But notice how the Bible goes on speaking where the typical romance story or fairy tale fades out. Instead of a nebulous statement of "living happily ever after," the Bible gives us something concrete to consider about marriage. Women aren't the center of the marriage, the object forever to be admired and applauded. God is at the center and there are two people He's created to reflect His image, one masculine and one feminine. The feminine creature is to reflect God in certain ways and the first way Scripture lists is as a helper:
The LORD God took the man and put him in the garden of Eden to work it and keep it. And the LORD God commanded the man, saying, "You may surely eat of every tree of the garden, but of the tree of the knowledge of good and evil you shall not eat, for in the day that you eat of it you shall surely die."
Then the LORD God said, "It is not good that the man should be alone; I will make him a helper fit for [or corresponding to] him." So out of the ground the LORD God formed every beast of the field and every bird of the heavens and brought them to the man to see what he would call them. And whatever the man called every living creature, that was its name. The man gave names to all livestock and to the birds of the heavens and to every beast of the field. But for Adam there was not found a helper fit for him. So the LORD God caused a deep sleep to fall upon the man, and while he slept took one of his ribs and closed up its place with flesh. And the rib that the LORD God had taken from the man he made into a woman and brought her to the man. Then the man said,
Carolyn McCulley, Author & Contributing Writer
http://www.crosswalk.com
Chick flicks appeal to us because they are grown-up versions of fairy tales. As little girls, we read stories about how some plain girl becomes a dazzling princess and earns at first glance the undying devotion of a prince. Rescued from obscurity, she lives happily ever after.
This is the same storyline of every chick flick, but it's set in a big city (usually Manhattan) and the heroine's charms are her quirky personality and chutzpah. There's no fairy godmother to wave a wand, but there's always some sort of physical transformation to catch the eye of her prince. And in the end everything works out for the benefit of the heroine.
So why am I rambling on about chick flicks? It's because I think they color our perception of romance and marriage more than we know. The problem is that the heroine is forever the center of the story. All others are props to help her achieve her desires. In the good ole days, the movie ended with a wedding. In our post-modern culture, weddings are no longer the guaranteed ending, but some form of commitment is communicated.
Now let's think about our desire to be married. In fact, let's look at that phrase: "be married." Isn't that how we always say it? "I want to be married." It's not very common for us to say, "I want to be a wife." We want to be the chosen one and to be the heroine of a chick-flick romance, but we rarely say we want to "be a wife." We chatter about changing our marital status, but it's far more sobering to say we want to undertake a role/position/responsibility.
To get a reality check, we must wipe away the pixie dust and study what the Bible says about this role we desire. Gaining God's perspective is one way we can be proactive about the goal of marriage. Though there are several good books on marriage that I can recommend – including "Feminine Appeal: Seven Virtues of a Godly Wife and Mother" by Carolyn Mahaney and "Love That Lasts: When Marriage Meets Grace" by Gary & Betsy Ricucci – they are additional study. Nothing replaces looking at God's Word itself.
The first passage we encounter about a wife is the well-known Genesis 2 account of the first marriage, between Adam and Eve. Adam definitely has that hallmark male reaction of every fairy tale and chick flick fed to us – "Bone of my bones! Flesh of my flesh!" And that's a good thing. It's good to be attracted to each other. But notice how the Bible goes on speaking where the typical romance story or fairy tale fades out. Instead of a nebulous statement of "living happily ever after," the Bible gives us something concrete to consider about marriage. Women aren't the center of the marriage, the object forever to be admired and applauded. God is at the center and there are two people He's created to reflect His image, one masculine and one feminine. The feminine creature is to reflect God in certain ways and the first way Scripture lists is as a helper:
The LORD God took the man and put him in the garden of Eden to work it and keep it. And the LORD God commanded the man, saying, "You may surely eat of every tree of the garden, but of the tree of the knowledge of good and evil you shall not eat, for in the day that you eat of it you shall surely die."
Then the LORD God said, "It is not good that the man should be alone; I will make him a helper fit for [or corresponding to] him." So out of the ground the LORD God formed every beast of the field and every bird of the heavens and brought them to the man to see what he would call them. And whatever the man called every living creature, that was its name. The man gave names to all livestock and to the birds of the heavens and to every beast of the field. But for Adam there was not found a helper fit for him. So the LORD God caused a deep sleep to fall upon the man, and while he slept took one of his ribs and closed up its place with flesh. And the rib that the LORD God had taken from the man he made into a woman and brought her to the man. Then the man said,
Carolyn McCulley, Author & Contributing Writer
http://www.crosswalk.com
31 Maret 2013
PERPETUA
Pada tahun 202, kaisar Septimius Severus khawatir terhadap
pertumbuhan gereja. Karena itu, ia melarang agama Kristen. Namun banyak
orang Kristen yang yang mengabaikan larangan ini. Termasuk di antaranya
seorang wanita muda bernama Perpetua. Akibatnya, ia harus dihukum mati.
“Darah para martir adalah benih gereja.”-- Tertulianus
“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada
Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu
kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul
salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di
sebelah kanan takhta Allah.” (Ibrani 12:2)
http://www.sabdaspace.org
Selama menanti ekskusi, wanita ini membawa buku harian dalam
penjara. Dengan mengharukan, dia menuliskan kegembiraannya ketika
bayinya diizinkan tinggal bersamanya. “Penjara tiba-tiba menjadi istana,
sehingga aku sangat ingin tinggal di sana daripada di tempat lain mana
pun.”
Ayahnya berusaha membujuk Perpetua. “Anakku, kasihanilah aku yang
sudah ubanan ini…jangan tinggalkan aku. Lepaskanlah kebanggaanmu!” Ia
menjawab, “Terjadilah seperti yang dikehendaki Allah!” Kemudian
Hilarianus, sang Gubernur juga ikut membujuk,”Kasihanilah ayahmu yang
sudah tua. Kasihanilah anak laki-lakimu yang masih bayi. Persembahkanlah
korban bagi keselamatan para kaisar.” Perpetua dan teman-temannya
menolak. Perpetua menulis, “Kami dikutuk seperti binatang buas dan
dikembalikan ke penjara.”
Seorang teman Kristen mengakhiri cerita ini, “Hari kemenangan mereka tiba, dan mereka berbaris dari penjara menunju amphiteater, penuh sukacita seakan-akan hendak pergi ke sorga, dengan wajah tenang, gemetar, juga dengan kegembiraan, bukan ketakutan.”
Ketika harus mempertahankan iman kita, ingatlah bahwa ada banyak
saksi yang mengitari kita. Mereka bagaikan awan yang mengelilingi kita.
“Darah para martir adalah benih gereja.”-- Tertulianus
http://www.sabdaspace.org
KUASA KEBANGKITAN
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan
hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang
percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau
akan hal ini?”( Yoh 11 : 25 – 26 )
Wanita,…. sebentar lagi kita umat Kristiani akan merayakan hari Paskah,…. Apa arti Paskah dalam hidupmu? Dari ayat diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa didalam Yesus tidak ada kematian dan kuasa kebangkitanNya akan membuat setiap orang yang percaya kepadaNya dapat menang atas dosa dan segala tipu muslihat iblis.
Namun pernah terpikirkan…. ; “ kenapa ya kok ada orang Kristen berkali – kali jatuh didalam dosa ? bahkan ada juga yang sudah menjadi hamba Tuhan “.
Tuhan mengajarkan kita bahwa, Kebangkitan itu berkaitan dengan “ Iman dan Cinta“.
Agar kita mengalami kuasa Kebangkitan dibutuhkan iman karena kebangkitan adalah suatu misteri , dalam kamus Webster, “misteri” diartikan sebagai suatu teka-teki yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mendatangkan rasa heran, yang membuat seseorang berdiri terpaku di hadapannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam peristiwa kebangkitan, kita juga mengalami semua yang dilukiskan untuk sebuah misteri dalam kamus Webster. Kebangkitan itu hanya dapat dipahami dalam konteks iman karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa membantu kita untuk memahami kebangkitan seonggok tubuh yang telah kehilangan nyawa. Kesedihan serta keputusasaan yang dibawa oleh kematian, kini telah diatasi oleh suatu janji akan kehidupan kekal, dan ini hanya dapat dipahami lewat iman kepada Yesus Kristus.
Maria Magdalena adalah seorang yang sangat mengasihi Yesus , ia telah dibebaskan oleh Yesus dari perbudakan tujuh roh jahat sehingga ia sangat sedih ketika ia melihat Yesus mati di kayu salib. Karena rasa cintanya yang begitu besar kepada Yesus , Maria tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertemu dengan Yesus dan pagi – pagi benar Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus untuk bertemu Yesus walaupun ia pikir hanya bisa melihat mayatNya saja.
Namun apa yang terjadi ketika ia melihat bahwa kuburNya telah kosong , Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis . Air mata yang mengalir di wajah Maria karena cintanya yang begitu besar kepada Yesus membuat ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit , Yesus berkata : “ Maria ! “ lalu Maria berpaling dan berkata kepadaNya dalam bahasa Ibrani : “ Rabuni ! “.
Dua hal inilah yang Tuhan ajarkan kepada kita, bahwa ada nilai yang sangat berharga bagi kehidupan manusia melalui peristiwa Paskah , yaitu masa yang penuh kesengsaraan dan penderitaan karena dosa telah berlalu oleh karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib dan lewat kebangkitanNya kuasa itu diberikan kepada setiap orang percaya .
Sobat Wanita,…..tidak adanya iman yang teguh dan cinta kepada Tuhan yang membuat seseorang berulang kali jatuh dan kembali menjadi budak dosa , karena itu marilah kita hidup dengan iman dan cinta kepada Tuhan Yesus maka kuasa kebangkitan itu pasti kita alami , selamat Paskah saudaraku dan Tuhan memberkati kita semua.
MILIKI IMAN YANG TEGUH DAN CINTA KEPADA TUHAN
http://www.harianwanita.com
Wanita,…. sebentar lagi kita umat Kristiani akan merayakan hari Paskah,…. Apa arti Paskah dalam hidupmu? Dari ayat diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa didalam Yesus tidak ada kematian dan kuasa kebangkitanNya akan membuat setiap orang yang percaya kepadaNya dapat menang atas dosa dan segala tipu muslihat iblis.
Namun pernah terpikirkan…. ; “ kenapa ya kok ada orang Kristen berkali – kali jatuh didalam dosa ? bahkan ada juga yang sudah menjadi hamba Tuhan “.
Tuhan mengajarkan kita bahwa, Kebangkitan itu berkaitan dengan “ Iman dan Cinta“.
Agar kita mengalami kuasa Kebangkitan dibutuhkan iman karena kebangkitan adalah suatu misteri , dalam kamus Webster, “misteri” diartikan sebagai suatu teka-teki yang sulit dijelaskan, sesuatu yang mendatangkan rasa heran, yang membuat seseorang berdiri terpaku di hadapannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam peristiwa kebangkitan, kita juga mengalami semua yang dilukiskan untuk sebuah misteri dalam kamus Webster. Kebangkitan itu hanya dapat dipahami dalam konteks iman karena tak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa membantu kita untuk memahami kebangkitan seonggok tubuh yang telah kehilangan nyawa. Kesedihan serta keputusasaan yang dibawa oleh kematian, kini telah diatasi oleh suatu janji akan kehidupan kekal, dan ini hanya dapat dipahami lewat iman kepada Yesus Kristus.
Maria Magdalena adalah seorang yang sangat mengasihi Yesus , ia telah dibebaskan oleh Yesus dari perbudakan tujuh roh jahat sehingga ia sangat sedih ketika ia melihat Yesus mati di kayu salib. Karena rasa cintanya yang begitu besar kepada Yesus , Maria tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertemu dengan Yesus dan pagi – pagi benar Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus untuk bertemu Yesus walaupun ia pikir hanya bisa melihat mayatNya saja.
Namun apa yang terjadi ketika ia melihat bahwa kuburNya telah kosong , Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis . Air mata yang mengalir di wajah Maria karena cintanya yang begitu besar kepada Yesus membuat ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang telah bangkit , Yesus berkata : “ Maria ! “ lalu Maria berpaling dan berkata kepadaNya dalam bahasa Ibrani : “ Rabuni ! “.
Dua hal inilah yang Tuhan ajarkan kepada kita, bahwa ada nilai yang sangat berharga bagi kehidupan manusia melalui peristiwa Paskah , yaitu masa yang penuh kesengsaraan dan penderitaan karena dosa telah berlalu oleh karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib dan lewat kebangkitanNya kuasa itu diberikan kepada setiap orang percaya .
Sobat Wanita,…..tidak adanya iman yang teguh dan cinta kepada Tuhan yang membuat seseorang berulang kali jatuh dan kembali menjadi budak dosa , karena itu marilah kita hidup dengan iman dan cinta kepada Tuhan Yesus maka kuasa kebangkitan itu pasti kita alami , selamat Paskah saudaraku dan Tuhan memberkati kita semua.
MILIKI IMAN YANG TEGUH DAN CINTA KEPADA TUHAN
http://www.harianwanita.com
24 Maret 2013
ISTERI BIJAK DAN PRIORITASNYA
"Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya." Amsal 31:12
Di zaman sekarang ini banyak wanita Kristen (isteri) yang tidak hanya menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga murni (mengurus suami, anak dan rumah tangga), tetapi mampu berperan juga dalam pekerjaan (karir). Akibatnya tidak sedikit para isteri yang mengeluh karena lelah fisik dan emosi. Inilah saatnya bagi wanita untuk mengoreksi kembali komitmen dan tanggung jawabnya sesuai dengan firman Tuhan, yaitu melaksanakan perannya sebagai wanita sesuai yang direncanakan Tuhan. Di dalam Amsal 31:10-31 terangkum hal-hal yang harus dipahami oleh para wanita berkenaan dengan tugas dan tanggung jawabnya: mengurus suami, anak, rumah tangga dan juga karir di luar rumah.
Seorang wanita (isteri) yang bijak adalah wanita yang dapat menyeimbangkan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab utamanya, yaitu antara suami, anak, rumah tangga dan juga diri sendiri. Sementara komitmen lainnya, seperti berkarir di luar rumah, adalah hal kedua yang memang penting, tapi hanya sebagai pelengkap saja. Ada pun tugas utamanya terangkum dalam ayat ini: "Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya." Artinya hidupnya harus dicurahkan untuk berbuat baik kepada suaminya; ia harus memahami tujuan utama Tuhan menciptakan dia yaitu sebagai penolong bagi laki-laki. Tertulis: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18).
Menjadi penolong bagi laki-laki tidak membuat wanita berada di posisi lebih rendah; justru seorang wanita yang bisa menjadi penolong bagi laki-laki disebut Alkitab sebagai seorang isteri yang cakap, kemuliaan laki-laki dan juga mahkota bagi suaminya. Menjadi penolong bagi suami artinya senantiasa membantu, mendukung dan menguatkan suami dalam semua aspek kehidupannya (jasmani dan rohani). Memang hal itu tidak mudah, apalagi bila para wanita sudah mengenal suami dengan segala kelemahannya. Salah satu langkah terbaik untuk mendukung suami dan berbuat baik kepadanya adalah dengan cara menghormatinya dan senantiasa berdoa untuk dia.
Berdoa untuk suami adalah sangat penting, supaya melalui kuasa Roh KudusNya Tuhan membentuk dan menjadikan suami kita sebagai sosok pribadi yang berkenan kepada Tuhan.
http://airhidupblog.blogspot.com
Di zaman sekarang ini banyak wanita Kristen (isteri) yang tidak hanya menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga murni (mengurus suami, anak dan rumah tangga), tetapi mampu berperan juga dalam pekerjaan (karir). Akibatnya tidak sedikit para isteri yang mengeluh karena lelah fisik dan emosi. Inilah saatnya bagi wanita untuk mengoreksi kembali komitmen dan tanggung jawabnya sesuai dengan firman Tuhan, yaitu melaksanakan perannya sebagai wanita sesuai yang direncanakan Tuhan. Di dalam Amsal 31:10-31 terangkum hal-hal yang harus dipahami oleh para wanita berkenaan dengan tugas dan tanggung jawabnya: mengurus suami, anak, rumah tangga dan juga karir di luar rumah.
Seorang wanita (isteri) yang bijak adalah wanita yang dapat menyeimbangkan segala sesuatu yang menjadi tanggung jawab utamanya, yaitu antara suami, anak, rumah tangga dan juga diri sendiri. Sementara komitmen lainnya, seperti berkarir di luar rumah, adalah hal kedua yang memang penting, tapi hanya sebagai pelengkap saja. Ada pun tugas utamanya terangkum dalam ayat ini: "Ia berbuat baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya." Artinya hidupnya harus dicurahkan untuk berbuat baik kepada suaminya; ia harus memahami tujuan utama Tuhan menciptakan dia yaitu sebagai penolong bagi laki-laki. Tertulis: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian 2:18).
Menjadi penolong bagi laki-laki tidak membuat wanita berada di posisi lebih rendah; justru seorang wanita yang bisa menjadi penolong bagi laki-laki disebut Alkitab sebagai seorang isteri yang cakap, kemuliaan laki-laki dan juga mahkota bagi suaminya. Menjadi penolong bagi suami artinya senantiasa membantu, mendukung dan menguatkan suami dalam semua aspek kehidupannya (jasmani dan rohani). Memang hal itu tidak mudah, apalagi bila para wanita sudah mengenal suami dengan segala kelemahannya. Salah satu langkah terbaik untuk mendukung suami dan berbuat baik kepadanya adalah dengan cara menghormatinya dan senantiasa berdoa untuk dia.
Berdoa untuk suami adalah sangat penting, supaya melalui kuasa Roh KudusNya Tuhan membentuk dan menjadikan suami kita sebagai sosok pribadi yang berkenan kepada Tuhan.
http://airhidupblog.blogspot.com
WANITA CIPTAAN TERCANGGIH
“Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis,
berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang
yang dapat ditelannya.” 1 Petrus 5:8
Wanita,… taukah Anda, ….. bahwa kita diciptakan Allah sebagai ciptaan yang paling canggih diantara ciptaanNya, Kejadian 1 dan 2, menceritakan Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, jika Anda perhatikan baik-baik, Anda akan menemukan kata-kata penilaian Allah akan ciptaanNya,….
Pada akhir dari penciptaan, Allah melihat dan memandang apa yang telah dijadikanNya dan menyatakan, “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”, pada hari ke enam, ….. ketika menciptakan binatang,… Ia berkata “itu baik”, kemudian Ia menciptakan manusia “Adam”,…. Ia menilai dan berkata “Tidak baik”,…… kalau manusia itu seorang diri saja”,…. berarti ada sesuatu yang kurang lengkap, dan Allah tidak merasa cukup puas dengan apa yang dilihatNya,… Oleh karena itu Allah kemudian menciptakan perempuan pertama, “Hawa”,…Ia menciptakan Hawa dengan “membangun”,… bukan “membentuk” seperti “Adam”,… dan segera sesudah itu Dia menyatakan, “sungguh amat baik”.
Perbedaan membangun dan membentuk sangat besar, membentuk bisanya hal-hal yg kecil,… membentuk miniatur gedung, membentuk taman, dll. tapi membangun adalah tugas besar,… misalnya membangun rumah, membangun bangunan bertingkat, dll.
Penilaian pada hari yang keenam dimulai dari “baik”, turun menjadi “tidak baik”,… karena ada kekurangan, dan diakhiri dengan “amat baik”. Ini satu-satunya hari dimana Allah mengubah penilaianNya untuk hasil pekerjaanNya.
Sobat Wanita,… karena kita adalah ciptaan Tuhan yang paling canggih, bersyukurlah menjadi seorang wanita,… tapi berhati-hatilah,… karena iblis tidak senang,… iblis ingin merusak setiap wanita,… keindahan wanita sering diperdayakannya untuk merusak dunia ini,… bahkan iblis sering menjadikan kita sebagai alatnya untuk menghancurkan dunia ini,… karena iblis tau,… kita adalah ciptaan Tuhan yang paling canggih yang dapat melakukan rencana jahatNya.
Berjaga-jagalah senantiasa karena lawanmu tidak tinggal diam,… jika kita lalai,… kita dapat ditelannya. Iblis sering menipu kita,… sehingga kita merasa tidak berdaya,… Lawanlah si iblis!
Wanita,… karena kita adalah ciptaan Allah yang tercanggih,… mari,… janganlah cengeng,… kita harus dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi bersama Yesus,… kita akan melewati masalah demi masalah dengan kemenangan,… dan biarlah NamaNya di permuliakan
http://www.harianwanita.com
Wanita,… taukah Anda, ….. bahwa kita diciptakan Allah sebagai ciptaan yang paling canggih diantara ciptaanNya, Kejadian 1 dan 2, menceritakan Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, jika Anda perhatikan baik-baik, Anda akan menemukan kata-kata penilaian Allah akan ciptaanNya,….
Pada akhir dari penciptaan, Allah melihat dan memandang apa yang telah dijadikanNya dan menyatakan, “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”, pada hari ke enam, ….. ketika menciptakan binatang,… Ia berkata “itu baik”, kemudian Ia menciptakan manusia “Adam”,…. Ia menilai dan berkata “Tidak baik”,…… kalau manusia itu seorang diri saja”,…. berarti ada sesuatu yang kurang lengkap, dan Allah tidak merasa cukup puas dengan apa yang dilihatNya,… Oleh karena itu Allah kemudian menciptakan perempuan pertama, “Hawa”,…Ia menciptakan Hawa dengan “membangun”,… bukan “membentuk” seperti “Adam”,… dan segera sesudah itu Dia menyatakan, “sungguh amat baik”.
Perbedaan membangun dan membentuk sangat besar, membentuk bisanya hal-hal yg kecil,… membentuk miniatur gedung, membentuk taman, dll. tapi membangun adalah tugas besar,… misalnya membangun rumah, membangun bangunan bertingkat, dll.
Penilaian pada hari yang keenam dimulai dari “baik”, turun menjadi “tidak baik”,… karena ada kekurangan, dan diakhiri dengan “amat baik”. Ini satu-satunya hari dimana Allah mengubah penilaianNya untuk hasil pekerjaanNya.
Sobat Wanita,… karena kita adalah ciptaan Tuhan yang paling canggih, bersyukurlah menjadi seorang wanita,… tapi berhati-hatilah,… karena iblis tidak senang,… iblis ingin merusak setiap wanita,… keindahan wanita sering diperdayakannya untuk merusak dunia ini,… bahkan iblis sering menjadikan kita sebagai alatnya untuk menghancurkan dunia ini,… karena iblis tau,… kita adalah ciptaan Tuhan yang paling canggih yang dapat melakukan rencana jahatNya.
Berjaga-jagalah senantiasa karena lawanmu tidak tinggal diam,… jika kita lalai,… kita dapat ditelannya. Iblis sering menipu kita,… sehingga kita merasa tidak berdaya,… Lawanlah si iblis!
Wanita,… karena kita adalah ciptaan Allah yang tercanggih,… mari,… janganlah cengeng,… kita harus dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi bersama Yesus,… kita akan melewati masalah demi masalah dengan kemenangan,… dan biarlah NamaNya di permuliakan
http://www.harianwanita.com
20 Maret 2013
The Day Forgiveness Set Me Free
"Be completely humble and gentle; be patient, bearing with one
another in love. ... Forgiving each other, just as in Christ God forgave
you." Ephesians 4:2, 32 (NIV)
I thought I was over the hurt. I was sure I had moved on. But as my
thumb slipped under the seal of the invitation to my 10-year college
reunion, it hit me: I had not forgiven her.
During our last semester at school, the harsh tone and accusing anger
of a friend had been more than my heart could handle, especially in the
middle of my year-long battle with depression. A deep sense of sadness
and self-doubt, that I couldn't explain or escape, had left me feeling
depleted.
When she questioned something I had done and expressed deep frustration
toward me, I didn't have the mental or emotional strength to process
her criticism without being pulled into a pit of condemnation.
If I attended our class reunion I would likely see her and other
friends who had gotten tangled in our mess. With that possibility came a
flood of memories and emotions that made me feel the same yuck I felt
the day our friendship ended. The day that pretty much ruined the last
few weeks of our senior year.
Holding the envelope in my hand, that hurt took hold of me again.
Instead of simply deciding how to RSVP, I stood at the edge of a pit
filled with insecurity that threatened to pull me back in.
After weeks of holding onto the invitation I finally decided I was
tired of living as prisoner to my hurt. I wanted freedom. The kind of
freedom I'd come to know in the ten years in between. The freedom of
forgiveness Jesus died to give me.
I spent hours praying and reading my Bible over the next month.
Listening to worship music and messages on forgiveness, I asked God to
drench me with His perspective and give me His assurance so I could walk
into my reunion as a secure child of God.
By the time I arrived, my mind was filled with God's grace and promises. I literally wanted to
find my old friend and restore our relationship. The confidence that
came as I followed God's command to seek and offer forgiveness came as a
surprise.
Forgiving those who hurt us is hard. Often we are afraid to forgive
because it might open us to be hurt again. Or we're afraid if we bring
something up it might unearth bitterness we don't want to deal with, so
its left buried.
But any time we bury a hurt alive, it will keep rising from the dead to disturb us.
God used today's verses to show me how to let forgiveness set me free from the hurt I had buried. "Be
completely humble and gentle; be patient, bearing with one another in
love. ... Forgiving each other, just as in Christ, God forgave you."
(Eph. 4:2, 32)
Forgiving in the way this scripture describes has helped me recognize I
need God's grace as much as anyone else. Although pardoning an offense
is not easy, it is possible when we follow God's plan of being humble
and gentle, patient and bearing with those who've hurt us. It's so worth
what it takes to be set free.
Forgiveness is a gift we give ourselves when we offer it to others. In
doing so, we don't forgive so we can forget. We forgive, as we have been
forgiven, so we can find freedom from our past and live with confident
hope for our future.
Lord, I need Your help. Help me process my hurt with You and let go
of any bitterness that keeps me from wholeness and hope. Empower me to
forgive just as You have forgiven me. In Jesus' Name, Amen.
http://www.proverbs31.org
10 Januari 2013
RancanganNya Selalu Indah
Ada seorang ibu yang hidupnya dari berjualan tempe yang dibuatnya
sendiri. Ibu ini tinggal di sebuah desa di daerah Jawa Tengah.
Setiap hari Ibu ini melakukan aktifitasnya seperti biasanya, yaitu bangun pagi-pagi dia terlebih dahulu bersekutu dengan Tuhan, berdoa, membaca Alkitab dan setelah itu dia mengurus pekerjaannya di dapur dan berangkat ke pasar menjual tempe yang telah di buatnya.
Ibu ini hidup dengan sederhana, tapi sebagai seorang anak Tuhan ia selalu mengucap syukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya. Dalam kesederhanaannya, ia selalu percaya bahwa Tuhan Yesus selalu memeliharanya.
Tapi pada saat ia akan mengambil tempe yang telah dibuat sehari sebelumnya, betapa kagetnya begitu ia membuka tutup wadah tempe buatannya…… “Waduh….tempeku belum jadi….. masih berupa kedelai…Oh tidak” Kata ibu ini mengeluh.
“Wah bisa nggak makan aku hari ini kalau nggak ada tempe yang bisa aku jual hari ini…… bagaimana ini” Kepanikan ibu ini mulai muncul.
“Oh mungkin aku kurang berdoa sehingga masalah ini terjadi padaku hari ini” kata ibu ini dalam hatinya.
Ia duduk sebentar, menarik napas panjang dan mulai berpikir ” Apa yang menyebabkan ini terjadi padaku ya ? Apa aku sudah berbuat dosa atau ada sesuatu yang lain sehingga hal ini bisa terjadi?”
Ibu ini terus berpikir sedemikian rupa, menganalisa barangkali dia berbuat dosa, sehingga masalah yang belum pernah terjadi, kini terjadi di hari tersebut. Sampai ia mengambil keputusan untuk berdoa.
“Tuhan” Ibu ini mulai doanya.
“Kalau ada dosa, ampuni aku. Aku percaya Engkau sanggup buat mujizat. Engkau tau bahwa kebutuhan hidupku tercukupi dari aku berjualan tempe ini. Jadi aku percaya Engkau pasti tolong aku. Sekarang ya Tuhan tolong ubah kedelai ini menjadi tempe seperti Engkau pernah mengubah air menjadi anggur” Doa ibu ini dengan sungguh-sungguh.
“Dan sekarang aku berkata kepada kedelai ini, Dalam nama Tuhan Yesus, aku perintahkan engkau berubah menjadi Tempe !” Perintah ibu ini.
Ibu ini sering melihat bagaimana pendeta di gerejanya berdoa dan bagaimana ia belajar Alkitab di gerejanya yang mengajarkan bagaimana anak Tuhan diberi otoritas oleh Tuhan. Karena itulah ia belajar mempraktekkannya hari itu.
Ternyata tempe tersebut belum jadi……… masih seperti sebelumnya berupa tempe setengah jadi.
“Waduh… ya Tuhanku ternyata belum berubah” kata ibu ini setengah berputus asa.
“Oh… mungkin aku kurang beriman” Ibu ini mulai menganalisa keadaan tersebut.
“Sekarang aku harus lebih percaya lagi” Kata ibu ini sambil mempersiapkan imannya ….(Mungkin setengah dipaksa dirinya untuk percaya bahwa itu bisa terjadi).
“Dalam Nama Yesus……..Aku berkata kepada kedelai ini….. Berubahlah engkau menjadi Tempe yang terbaik” Perintah ibu ini kepada tempe yang belum jadi tersebut sambil menumpangkan tangannya ke atas penutup wadah tempe tersebut dengan penuh keyakinan. (Nah…..sekarang , menurut saudara ….apakah kedelai sudah berubah menjadi tempe ?)
Kembali bu ini meyakinkan dirinya sebelum membuka penutup wadah tempe tersebut. Dan…………………………..
“Hah…..” Ibu ini menghela napas panjang kembali…….
Ternyata kedelai tersebut masih tetaplah kedelai dan tidak ada perubahan apapun. Ibu ini duduk lemas tak berdaya dalam keresahannya dan kebingungannya.
“Ya Tuhan…. aku harus berbuat apa? Mengapa hal ini bisa terjadi padaku. Aku nggak punya uang cukup untuk makan kalau hari ini aku tidak berjualan tempe. Aku sudah mempraktekkan FirmanMu dengan iman sekalupun….. tapi Tuhan…..kenapa Engkau tidak buat Mukjizat. Apa Tidak ada mukjizat lagi di jaman sekarang?” kata ibu ini dalam hatinya yang semakin resah dan bingung berkecamuk menjadi satu.
“oh…mungkin aku harus melangkah dengan iman” Pikir ibu ini kemudian.
“ya…..benar….aku harus melangkah dengan iman dan menjual tempe belum jadi ini ke pasar…. pasti Tuhan buat mukjizat dalam perjalanan. Bukankah aku haru melangkah dengan iman untuk bisa terciptanya mukjizat. Bukankah itu yang dikatakan di Alkitab?…. ya … aku harus berangkat ke pasar sekarang!”
Kemudian ibu ini mengambil tempe belum jadi ini dan memasukkannya ke dalam keranjang pikulannya dan memondongnya ke punggungnya dan bersiap berangkat ke pasar.
“Tuhan……. aku sudah melangkah dengan iman sekarang dan aku percaya Engkau pasti buat mukjizat sekarang” Doa ibu ini
Di perjalanan, ibu ini menyanyi lagu pujian untuk membangkitkan imannya dan belajar mempercayai Firman Tuhan.
“…….Bukan karena kekuatan…..namun RohMu ya Tuhan……Ketika ku percaya …Mukjizat itu nyata” Lagu “Mukjizat itu Nyata” dilantunkan ibu ini terus sambil melangkah ke pasar.
Setibanya di pasar, teman-teman seprofesinya bingung karena ibu ini tiba di pasar kesiangan…. “Ya… ada keperluan” Kata ibu ini menjawab teman-temannya yang menanyakan sebabnya kesiangan tiba di pasar. padahal dalam hatinya berkata ” Yah…. ini gara-gara bergumul denga tempe dan kedelai”
Ibu ini menurunkan barang dagannya yang masih tertutup kain tersebut, sambil menoleh ke dagangan tempe teman-temanya yang sudah mulai habis, sedangkan dia sendiri belum berjualan karena kesiangan hari itu.
“Sekarang aku harus melihat bagaimana Tuhan sudah merubah kedelai ini jadi tempe” kata ibu ini dalam hatinya.
Dengan perlahan sekali dia berusha mngintip di balik keranjangnya dengan harapan kedelai sudah berubah menjadi tempe. (Sekarang menurut saudara bagaimana ….. Apa ada Mukjizat terjadi untuk ibu ini?)
“Ya Tuhan aku berserah kepadaMu sekarang….. Apa yang Kau kehendaki biarlah terjadi padaku” Doa ibu ini perlahan hampir menangis.
Sampai ibu paruh baya tersebut berhenti di lapak ibu penjual tempe tersebut.
“Ibu mencari apa…kok saya perhatikan mencari sesuatu tapi tidak mendapat apa yang ibu mau beli” Kata ibu penjual tempe tersebut.
“ehmmm… saya cari tempe yang setengah jadi, bu…. itu loh… tempe yang masih belum jadi tempe tapi masih kededai yang mau jadi tempe…. saya sudah keliling ke seluruh penjual tempe di pasar ini tapi nggak ada yang jualan tempe setengah jadi ” kata ibu tersebut.
Sontak…..ibu penjual tempe tersebut kaget…”untuk apa bu…..kok cari tempe yang belum jadi”
” itu loh bu… anak saya yang tinggal di Jakarta, lagi ngidam hamil muda dan ngidamnya itu kepingin tempe dari desa asalnya ini…. lha kalau saya paketkan tempe ini ke Jakarta dan tiba di anak saya 2 hari lagi ya tempe tersebut sudah nggak enak lagi. Jadi supaya pas…kan saya harus cari tempe yang belum jadi. supaya kalau tiba di rumah anak saya 2 hari lagi…..pas matangnya tempe tersbut dan enak kalau dimakan”
Langsung ibu penjual tempe ini tanpa sengaja berteriak “HALLELUYAAA”
begitu bahagianya dia………”Oh ada bu…ada…. ibu perlu berapa potong?”
“Wah saya borong semua deh berapa yang ibu punya” kata ibu paruh baya tersebut.
…………….”ieit…eit tunggu dulu………….Jangan-jangan Tuhan sudah ubah kedelai ini jadi tempe….. wah bisa batal ini tempe laku” kata ibu ini dalam hatinya. (Berapa banyak dari kita sering meragukan Tuhan seperti ibu ini yang mengira Tuhan salah waktu untuk buat mukjizat, sehingga dagangannya nggak jadi laku, tender jadi batal dan sebagainya)
Ibu penjual tempe ini membuka penutup dagangannya perlahan hendak melihat apa tempe yang belum jadi itu masih belum berubah.
“hah…. puji Tuhan…. masih berupa tempe belum jadi” kata ibu ini dalam hatinya.
“Terima kasih ya Tuhan Engkau ternyata punya jalan keluar dalam setiap masalahku dan selalu memperhatikan aku…… Terima kasih ya Tuhan” Doa ibu ini menangis bahagia karena Tuhan sudah menolongnya.
Saudara, seperti kesaksian ibu penjual tempe tersebut di atas, bukankah kita sering berlaku demikian? Tapi satu pelajaran dapat kita tarik bahwa Tuhan sanggup buat Mukjizat dan sanggup buat jalan keluar untuk kita tepat pada waktunya. Sering apa yang kita minta tidak diberikan Tuhan, tapi Kita harus tetap percaya bahwa Tuhan berikan yang terbaik untuk kita. Amin.
sumber: http://www.ceritakristen.org
Setiap hari Ibu ini melakukan aktifitasnya seperti biasanya, yaitu bangun pagi-pagi dia terlebih dahulu bersekutu dengan Tuhan, berdoa, membaca Alkitab dan setelah itu dia mengurus pekerjaannya di dapur dan berangkat ke pasar menjual tempe yang telah di buatnya.
Ibu ini hidup dengan sederhana, tapi sebagai seorang anak Tuhan ia selalu mengucap syukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya. Dalam kesederhanaannya, ia selalu percaya bahwa Tuhan Yesus selalu memeliharanya.
Sesuatu Yang Lain
Pada suatu hari seperti biasanya, ibu ini bangun pagi dan seperti kebiasaannya ia bangun dan membaca Alkitabnya, berdoa dan setelah itu ia ke dapur untuk mempersiapkan tempe yang akan di jualnya hari itu.Tapi pada saat ia akan mengambil tempe yang telah dibuat sehari sebelumnya, betapa kagetnya begitu ia membuka tutup wadah tempe buatannya…… “Waduh….tempeku belum jadi….. masih berupa kedelai…Oh tidak” Kata ibu ini mengeluh.
“Wah bisa nggak makan aku hari ini kalau nggak ada tempe yang bisa aku jual hari ini…… bagaimana ini” Kepanikan ibu ini mulai muncul.
“Oh mungkin aku kurang berdoa sehingga masalah ini terjadi padaku hari ini” kata ibu ini dalam hatinya.
Ia duduk sebentar, menarik napas panjang dan mulai berpikir ” Apa yang menyebabkan ini terjadi padaku ya ? Apa aku sudah berbuat dosa atau ada sesuatu yang lain sehingga hal ini bisa terjadi?”
Ibu ini terus berpikir sedemikian rupa, menganalisa barangkali dia berbuat dosa, sehingga masalah yang belum pernah terjadi, kini terjadi di hari tersebut. Sampai ia mengambil keputusan untuk berdoa.
“Tuhan” Ibu ini mulai doanya.
“Kalau ada dosa, ampuni aku. Aku percaya Engkau sanggup buat mujizat. Engkau tau bahwa kebutuhan hidupku tercukupi dari aku berjualan tempe ini. Jadi aku percaya Engkau pasti tolong aku. Sekarang ya Tuhan tolong ubah kedelai ini menjadi tempe seperti Engkau pernah mengubah air menjadi anggur” Doa ibu ini dengan sungguh-sungguh.
“Dan sekarang aku berkata kepada kedelai ini, Dalam nama Tuhan Yesus, aku perintahkan engkau berubah menjadi Tempe !” Perintah ibu ini.
Ibu ini sering melihat bagaimana pendeta di gerejanya berdoa dan bagaimana ia belajar Alkitab di gerejanya yang mengajarkan bagaimana anak Tuhan diberi otoritas oleh Tuhan. Karena itulah ia belajar mempraktekkannya hari itu.
Apa Yang Terjadi ?
Ibu ini setengah ragu ragu mulai membuka penutup wadah tempat biasanya ia membuat tempe tersebut. dan….. ( apakah menurut saudara tempe itu sudah jadi?)………………………………………….Ternyata tempe tersebut belum jadi……… masih seperti sebelumnya berupa tempe setengah jadi.
“Waduh… ya Tuhanku ternyata belum berubah” kata ibu ini setengah berputus asa.
“Oh… mungkin aku kurang beriman” Ibu ini mulai menganalisa keadaan tersebut.
“Sekarang aku harus lebih percaya lagi” Kata ibu ini sambil mempersiapkan imannya ….(Mungkin setengah dipaksa dirinya untuk percaya bahwa itu bisa terjadi).
“Dalam Nama Yesus……..Aku berkata kepada kedelai ini….. Berubahlah engkau menjadi Tempe yang terbaik” Perintah ibu ini kepada tempe yang belum jadi tersebut sambil menumpangkan tangannya ke atas penutup wadah tempe tersebut dengan penuh keyakinan. (Nah…..sekarang , menurut saudara ….apakah kedelai sudah berubah menjadi tempe ?)
Terus……..

“Hah…..” Ibu ini menghela napas panjang kembali…….
Ternyata kedelai tersebut masih tetaplah kedelai dan tidak ada perubahan apapun. Ibu ini duduk lemas tak berdaya dalam keresahannya dan kebingungannya.
“Ya Tuhan…. aku harus berbuat apa? Mengapa hal ini bisa terjadi padaku. Aku nggak punya uang cukup untuk makan kalau hari ini aku tidak berjualan tempe. Aku sudah mempraktekkan FirmanMu dengan iman sekalupun….. tapi Tuhan…..kenapa Engkau tidak buat Mukjizat. Apa Tidak ada mukjizat lagi di jaman sekarang?” kata ibu ini dalam hatinya yang semakin resah dan bingung berkecamuk menjadi satu.
“oh…mungkin aku harus melangkah dengan iman” Pikir ibu ini kemudian.
“ya…..benar….aku harus melangkah dengan iman dan menjual tempe belum jadi ini ke pasar…. pasti Tuhan buat mukjizat dalam perjalanan. Bukankah aku haru melangkah dengan iman untuk bisa terciptanya mukjizat. Bukankah itu yang dikatakan di Alkitab?…. ya … aku harus berangkat ke pasar sekarang!”
Kemudian ibu ini mengambil tempe belum jadi ini dan memasukkannya ke dalam keranjang pikulannya dan memondongnya ke punggungnya dan bersiap berangkat ke pasar.
“Tuhan……. aku sudah melangkah dengan iman sekarang dan aku percaya Engkau pasti buat mukjizat sekarang” Doa ibu ini
Di perjalanan, ibu ini menyanyi lagu pujian untuk membangkitkan imannya dan belajar mempercayai Firman Tuhan.
“…….Bukan karena kekuatan…..namun RohMu ya Tuhan……Ketika ku percaya …Mukjizat itu nyata” Lagu “Mukjizat itu Nyata” dilantunkan ibu ini terus sambil melangkah ke pasar.
Setibanya di pasar, teman-teman seprofesinya bingung karena ibu ini tiba di pasar kesiangan…. “Ya… ada keperluan” Kata ibu ini menjawab teman-temannya yang menanyakan sebabnya kesiangan tiba di pasar. padahal dalam hatinya berkata ” Yah…. ini gara-gara bergumul denga tempe dan kedelai”
Ibu ini menurunkan barang dagannya yang masih tertutup kain tersebut, sambil menoleh ke dagangan tempe teman-temanya yang sudah mulai habis, sedangkan dia sendiri belum berjualan karena kesiangan hari itu.
“Sekarang aku harus melihat bagaimana Tuhan sudah merubah kedelai ini jadi tempe” kata ibu ini dalam hatinya.
Dengan perlahan sekali dia berusha mngintip di balik keranjangnya dengan harapan kedelai sudah berubah menjadi tempe. (Sekarang menurut saudara bagaimana ….. Apa ada Mukjizat terjadi untuk ibu ini?)
Yang terjadi berikutnya……
“Wah…. kok belum jadi juga” ibu ini mengeluh dan terduduk di lapaknya di pasar tersebut…. lemas….putus asa“Ya Tuhan aku berserah kepadaMu sekarang….. Apa yang Kau kehendaki biarlah terjadi padaku” Doa ibu ini perlahan hampir menangis.
Tuhan Tau yang Terbaik untukmu
Tidak lama kemudian……. ibu ini melihat ada seorang ibu paruh baya yang berjalan seolah mencari sesuatu dari suatu lapak ke lapak lainnya hendak membeli sesuatu tapi tidak mendapat apa yang mau dibelinya.Sampai ibu paruh baya tersebut berhenti di lapak ibu penjual tempe tersebut.
“Ibu mencari apa…kok saya perhatikan mencari sesuatu tapi tidak mendapat apa yang ibu mau beli” Kata ibu penjual tempe tersebut.
“ehmmm… saya cari tempe yang setengah jadi, bu…. itu loh… tempe yang masih belum jadi tempe tapi masih kededai yang mau jadi tempe…. saya sudah keliling ke seluruh penjual tempe di pasar ini tapi nggak ada yang jualan tempe setengah jadi ” kata ibu tersebut.
Sontak…..ibu penjual tempe tersebut kaget…”untuk apa bu…..kok cari tempe yang belum jadi”
” itu loh bu… anak saya yang tinggal di Jakarta, lagi ngidam hamil muda dan ngidamnya itu kepingin tempe dari desa asalnya ini…. lha kalau saya paketkan tempe ini ke Jakarta dan tiba di anak saya 2 hari lagi ya tempe tersebut sudah nggak enak lagi. Jadi supaya pas…kan saya harus cari tempe yang belum jadi. supaya kalau tiba di rumah anak saya 2 hari lagi…..pas matangnya tempe tersbut dan enak kalau dimakan”
Langsung ibu penjual tempe ini tanpa sengaja berteriak “HALLELUYAAA”
begitu bahagianya dia………”Oh ada bu…ada…. ibu perlu berapa potong?”
“Wah saya borong semua deh berapa yang ibu punya” kata ibu paruh baya tersebut.
…………….”ieit…eit tunggu dulu………….Jangan-jangan Tuhan sudah ubah kedelai ini jadi tempe….. wah bisa batal ini tempe laku” kata ibu ini dalam hatinya. (Berapa banyak dari kita sering meragukan Tuhan seperti ibu ini yang mengira Tuhan salah waktu untuk buat mukjizat, sehingga dagangannya nggak jadi laku, tender jadi batal dan sebagainya)
Ibu penjual tempe ini membuka penutup dagangannya perlahan hendak melihat apa tempe yang belum jadi itu masih belum berubah.
“hah…. puji Tuhan…. masih berupa tempe belum jadi” kata ibu ini dalam hatinya.
“Terima kasih ya Tuhan Engkau ternyata punya jalan keluar dalam setiap masalahku dan selalu memperhatikan aku…… Terima kasih ya Tuhan” Doa ibu ini menangis bahagia karena Tuhan sudah menolongnya.
Saudara, seperti kesaksian ibu penjual tempe tersebut di atas, bukankah kita sering berlaku demikian? Tapi satu pelajaran dapat kita tarik bahwa Tuhan sanggup buat Mukjizat dan sanggup buat jalan keluar untuk kita tepat pada waktunya. Sering apa yang kita minta tidak diberikan Tuhan, tapi Kita harus tetap percaya bahwa Tuhan berikan yang terbaik untuk kita. Amin.
sumber: http://www.ceritakristen.org
Langganan:
Postingan (Atom)