Menjadi orangtua bukan sebatas hanya menyediakan fasilitas dan
memberikan pendidikan yang layak kepada anak. Sebab, sebenarnya, untuk
memberikan kehidupan yang lebih baik itu dibutuhkan hal-hal yang tidak
berkaitan dengan materi. Berikut ini tiga penelitian mengenai hubungan
orangtua dan anak yang patut Anda simak.
Menjadi orangtua itu membahagiakan
Beberapa
tahun belakangan ini, sejumlah penelitian menemukan bahwa menjadi
orangtua itu sangat membahagiakan. Kadar dan kualitas kebahagiaan bisa
meredam rasa sakit pada tubuh, entah itu sakit kepala atau kram perut.
Hal menarik lainnya adalah ditemukan bahwa kebahagiaan yang dirasakan
oleh ayah saat memiliki anak melebihi rasa bahagia seorang ibu.
Manfaat dari memprioritaskan anakMenurut studi
yang dihelat oleh Ashton-James pada 2013 silam, orangtua yang selalu
mendahulukan kepentingan dan kebutuhan anak memiliki pribadi yang hangat
dan menyenangkan di lingkungan sosialnya. Selain itu, sikap yang
demikian juga ampuh dalam menghalau energi negatif yang bisa merusak mood sepanjang hari.
"Penemuan ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi kasih sayang dan
perhatian orangtua kepada anak, semakin bahagialah dirinya," ujar James.
Bahaya terlalu disiplin terhadap anak
Sekitar 90
persen orangtua di Amerika Serikat mengaku setidaknya pernah menegur dan
memarahi anak secara keras dan terbilang kasar. Sebenarnya, cara ini
sama sekali tidak mendidik. Selain tidak menyelesaikan masalah, juga
hanya memanjangkan dan membuat anak jadi pendendam. Hal ini sudah
diteliti terhadap 967 keluarga di AS. Anak-anak yang tumbuh dengan
aturan orangtua yang terlalu disiplin justru menyebabkan mereka memiliki
gangguan psikologis saat dewasa.
"Gagasan bahwa keras terhadap anak bakal membuat mereka berpikir itu
sebagai bentuk kasih sayang orangtua sama sekali keliru. Kehangatan
hubungan dan komunikasi yang baik antar-orangtua kepada anak memberikan
hasil akhir yang lebih positif pada tubuh kembang anak," ujar Ming Te
Wang, ketua penelitian.
http://female.kompas.com
Tampilkan postingan dengan label parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label parenting. Tampilkan semua postingan
23 Oktober 2014
Para Ibu Jangan Mengeluh “Gendut” dan “Tua” di Depan Anak Perempuan
Sifat wanita yang jarang puas dengan penampilan fisiknya bisa
berakibat buruk pada anak-anak perempuan mereka. Pasalnya, menurut
sebuah penelitian di Inggris, mengatakan bahwa anak yang sering
mendengar keluhan ibu menggunakan kata “gemuk”, “tua”, dan “lelah” bakal
memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Tak dimungkiri, hanya sedikit jumlah wanita yang benar-benar mencintai tubuh mereka apa adanya. Kondisi ini diyakini terbentuk semenjak kita masih kecil. Dilansir DailyMail, terkuak fakta bahwa 69 wanita yang menyatakan sering meluapkan keluhan soal bentuk tubuh depan anak perempuan mereka. lalu, 34 persen ibu lainnya mengaku bahwa anak perempuan mereka sering menunjukan mimik negatif saat si ibu mengucapkan hal negatif tentang diri sendiri.
Dibandingkan wanita lain, ternyata wanita di Inggris paling sering mengeluh mengenai tubuh mereka dengan mengatakan merasa lelah (79 persen), merasa tua (69 persen), dan gemuk (68 persen).
Baru-baru ini, sebuah brand kecantikan, Dove membuat sebuah film pendek untuk menginspirasi dan mengajak para wanita dewasa untuk mencintai tubuhnya. Film ini disebarkan lewat media sosial bertagar FeelBeautifulFor.
Film ini menayangkan beberapa wanita yang mengungkapkan bagian tubuh yang paling mereka tidak suka dan mereka sukai. ''Bagian tubuh nomor satu yang paling tidak aku sukai adalah lenganku yang besar,'' ujar Michelle Anthony, ibu dari dua anak perempuan asal Chester, Inggris.
Seorang ibu lainnya menyebutkan bahwa bagian tubuh yang tidak mereka sukai adalah mata yang tak simetris dan betis yang besar.
Selanjutnya, anak dari para wanita tersebut diminta untuk menuliskan daftar tubuh yang mereka suka dan tidak suka. Hasilnya, bagian tubuh yang dituliskan anak ternyata sama persis dengan yang dikeluhkan oleh sang ibu. Hal ini tentunya membuat para ibu menjadi bersedih.
Akhirnya, para ibu yang tampil dalam film pendek itu pun tersadar bahwa apa yang mereka keluhkan mengenai tubuh mereka, sangat berpengaruh pada pembentukan pola pikir sang buah hati.
''Aku berkata pada anakku, bagian tubuh apa saja yang tidak aku sukai, dan aku berpikir hal itulah yang menyebabkan mereka menulis daftar yang sama sepertiku,'' Ucap Anthony. ''Percaya dirilah, dan sadar bahwa yang Anda lakukan dapat mempengaruhi anakmu,” sarannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dove, mengungkapkan bahwa 71 persen dari para anak perempuan kecil merasa tertekan untuk tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik. Kondisi ini tentunya sangatlah tidak kondusif bagi perkembang psikis anak. Maka dari itu, sebagai seorang ibu, jadilah panutan terbaik bagi si kecil. Sadarilah apa yang Anda pikirkan dan lakukan memiliki pengaruh besar pada mentalitas anak.
Pujilah diri sendiri dan anak, wariskan gaya hidup dan gaya berpikir yang positif. Jangan biarkan anak terbelenggu pada tekanan lingkungan sosial yang seolah menuntut mereka memiliki tubuh yang ideal dan paras nan cantik sempurna.
Survei ini turut menanyakan pada sejumlah ibu mengenai apa yang ingin disampaikan kepada gadis-gadis kecil mengenai kecantikan. Hasilnya, sebanyak 51 persen menyarankan untuk belajar melihat kecantikan pada tiap orang. Lalu, 35 persen ingin anak-anak untuk belajar menerima diri apa adanya, dan 29 persen berusaha untuk selalu mengajarkan kejujuran pada diri sendiri.
http://female.kompas.com
Tak dimungkiri, hanya sedikit jumlah wanita yang benar-benar mencintai tubuh mereka apa adanya. Kondisi ini diyakini terbentuk semenjak kita masih kecil. Dilansir DailyMail, terkuak fakta bahwa 69 wanita yang menyatakan sering meluapkan keluhan soal bentuk tubuh depan anak perempuan mereka. lalu, 34 persen ibu lainnya mengaku bahwa anak perempuan mereka sering menunjukan mimik negatif saat si ibu mengucapkan hal negatif tentang diri sendiri.
Dibandingkan wanita lain, ternyata wanita di Inggris paling sering mengeluh mengenai tubuh mereka dengan mengatakan merasa lelah (79 persen), merasa tua (69 persen), dan gemuk (68 persen).
Baru-baru ini, sebuah brand kecantikan, Dove membuat sebuah film pendek untuk menginspirasi dan mengajak para wanita dewasa untuk mencintai tubuhnya. Film ini disebarkan lewat media sosial bertagar FeelBeautifulFor.
Film ini menayangkan beberapa wanita yang mengungkapkan bagian tubuh yang paling mereka tidak suka dan mereka sukai. ''Bagian tubuh nomor satu yang paling tidak aku sukai adalah lenganku yang besar,'' ujar Michelle Anthony, ibu dari dua anak perempuan asal Chester, Inggris.
Seorang ibu lainnya menyebutkan bahwa bagian tubuh yang tidak mereka sukai adalah mata yang tak simetris dan betis yang besar.
Selanjutnya, anak dari para wanita tersebut diminta untuk menuliskan daftar tubuh yang mereka suka dan tidak suka. Hasilnya, bagian tubuh yang dituliskan anak ternyata sama persis dengan yang dikeluhkan oleh sang ibu. Hal ini tentunya membuat para ibu menjadi bersedih.
Akhirnya, para ibu yang tampil dalam film pendek itu pun tersadar bahwa apa yang mereka keluhkan mengenai tubuh mereka, sangat berpengaruh pada pembentukan pola pikir sang buah hati.
''Aku berkata pada anakku, bagian tubuh apa saja yang tidak aku sukai, dan aku berpikir hal itulah yang menyebabkan mereka menulis daftar yang sama sepertiku,'' Ucap Anthony. ''Percaya dirilah, dan sadar bahwa yang Anda lakukan dapat mempengaruhi anakmu,” sarannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dove, mengungkapkan bahwa 71 persen dari para anak perempuan kecil merasa tertekan untuk tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik. Kondisi ini tentunya sangatlah tidak kondusif bagi perkembang psikis anak. Maka dari itu, sebagai seorang ibu, jadilah panutan terbaik bagi si kecil. Sadarilah apa yang Anda pikirkan dan lakukan memiliki pengaruh besar pada mentalitas anak.
Pujilah diri sendiri dan anak, wariskan gaya hidup dan gaya berpikir yang positif. Jangan biarkan anak terbelenggu pada tekanan lingkungan sosial yang seolah menuntut mereka memiliki tubuh yang ideal dan paras nan cantik sempurna.
Survei ini turut menanyakan pada sejumlah ibu mengenai apa yang ingin disampaikan kepada gadis-gadis kecil mengenai kecantikan. Hasilnya, sebanyak 51 persen menyarankan untuk belajar melihat kecantikan pada tiap orang. Lalu, 35 persen ingin anak-anak untuk belajar menerima diri apa adanya, dan 29 persen berusaha untuk selalu mengajarkan kejujuran pada diri sendiri.
http://female.kompas.com
27 September 2014
Beda Latar Belakang Pendidikan, Beda Pola Asuh Anak
Penelitian terbaru mengungkapkan, apa sebenarnya yang paling orang
tua ingin ajarkan kepada anak mereka. Sebanyak 3.000 responden berusia
dewasa dilibatkan oleh New Pew Research, selaku pihak penghelat
penelitian.
Para responden diminta untuk menjawab 12 pertanyaan mengenai hal-hal yang ingin mereka ajarkan pada anak-anak. Kemudian, 12 pertanyaan tersebut dirangkum menjadi tiga terpopuler. Hasilnya, 93 persen responden mengatakan ingin mengajarkan anak-anak mengenai tanggung jawab.
Rupanya, tak berbatas kisaran usia, ras, atau politik yang diyakini, sejumlah orang di Amerika menginginkan anak yang bisa diandalkan. Lalu, mereka juga menginginkan anak yang bisa bekerja keras kelak mereka dewasa.
Orangtua yang religius, umumnya menginginkan anak mereka menyakini prinsip-prinsip serupa. Hal yang sama juga berlaku pada orangtua yang non-religius. Namun demikian, keduanya sama-sama ingin mengembangkan anak menjadi lebih baik dari mereka.
Selain tanggung jawab, keinginan orang tua yang paling banyak untuk anaknya adalah mereka ingin anak mereka tumbuh menjadi seorang pekerja keras, penolong, berperilaku baik, mandiri, kreatif, memiliki empati, toleransi, sabar, rasa ingin tahu, patuh, dan religius.
Hasil dari penelitian ini bisa menjadi alat ukur untuk masa depan sebuah bangsa. Pendidikan dari orang tua kepada anak, sebenarnya sangat ditentukan oleh pendidikan orang tua tersebut. Setengah dari orang tua dengan latarbelakang pendidikan tinggi, menempatkan kepatuhan dan ketaatan pada agama sebagai bagian penting dalam mengajarkan anak. Sementara orang tua dengan pendidikan biasa-biasa saja, lebih mengajarkan toleransi, kesabaran, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
http://female.kompas.com
Para responden diminta untuk menjawab 12 pertanyaan mengenai hal-hal yang ingin mereka ajarkan pada anak-anak. Kemudian, 12 pertanyaan tersebut dirangkum menjadi tiga terpopuler. Hasilnya, 93 persen responden mengatakan ingin mengajarkan anak-anak mengenai tanggung jawab.
Rupanya, tak berbatas kisaran usia, ras, atau politik yang diyakini, sejumlah orang di Amerika menginginkan anak yang bisa diandalkan. Lalu, mereka juga menginginkan anak yang bisa bekerja keras kelak mereka dewasa.
Orangtua yang religius, umumnya menginginkan anak mereka menyakini prinsip-prinsip serupa. Hal yang sama juga berlaku pada orangtua yang non-religius. Namun demikian, keduanya sama-sama ingin mengembangkan anak menjadi lebih baik dari mereka.
Selain tanggung jawab, keinginan orang tua yang paling banyak untuk anaknya adalah mereka ingin anak mereka tumbuh menjadi seorang pekerja keras, penolong, berperilaku baik, mandiri, kreatif, memiliki empati, toleransi, sabar, rasa ingin tahu, patuh, dan religius.
Hasil dari penelitian ini bisa menjadi alat ukur untuk masa depan sebuah bangsa. Pendidikan dari orang tua kepada anak, sebenarnya sangat ditentukan oleh pendidikan orang tua tersebut. Setengah dari orang tua dengan latarbelakang pendidikan tinggi, menempatkan kepatuhan dan ketaatan pada agama sebagai bagian penting dalam mengajarkan anak. Sementara orang tua dengan pendidikan biasa-biasa saja, lebih mengajarkan toleransi, kesabaran, dan rasa ingin tahu yang tinggi.
http://female.kompas.com
Konsumsi Junk Food Kurangi Kecerdasan Anak?
Bukan rahasia lagi jika sering mengasup junk food seperti
burger atau kentang goreng bisa membuat berat badan cepat melonjak. Tapi
studi ilmiah juga membuktikan bahwa kegemaran terhadap makanan junk food bisa membuat bodoh.
Penelitian yang dilakukan di Australia terhadap 602 anak remaja menunjukkan, anak yang sering mengasup makanan western di usia 14 tahun cenderung memiliki skor yang rendah dalam tes kemampuan otak saat mereka berusia 17 tahun.
Pola makan western antara lain sering mengonsumsi kentang gerang, daging merah dan diproses, serta soft drink. Terlalu sering mengasup pola makan seperti itu berpengaruh pada kemampuan mental, perhatian penglihatan, kemampuan belajar dan daya ingat, serta kecepatan reaksi.
Menurut Dr.Anett Nyaradi, peneliti, turunnya kemampuan otak tersebut antara lain disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah omega-6 yang berasal dari asam lemak di makanan gorengan dan daging merah.
Komposisi yang ideal adalah rasio 1:1 antara omega-3 dan omega-6. Namun dalam pola makan western, rasionya menjadi 1:20 atau 1:25.
Tingginya konsumsi lemak jenuh dari makanan tersebut dan karbohidrat sederhana juga akan merusak fungsi hipocampus, bagian otak yang berfungsi dalam belajar dan daya ingat. Bagian otak ini akan membesar di usia remaja.
"Usia remaja termasuk masa yang penting dalam perkembangan otak. Jika pola makan pada periode ini buruk, tentu ada pengaruhnya dalam kecerdasan," katanya.
Dalam penelitian ini remaja berusia 14 tahun diminta mengisi daftar makanan yang sering mereka asup untuk melihat pola makan mereka. Kemudian di usia 17 tahun para responden ini mengikuti tes kemampuan otak.
http://health.kompas.com
Penelitian yang dilakukan di Australia terhadap 602 anak remaja menunjukkan, anak yang sering mengasup makanan western di usia 14 tahun cenderung memiliki skor yang rendah dalam tes kemampuan otak saat mereka berusia 17 tahun.
Pola makan western antara lain sering mengonsumsi kentang gerang, daging merah dan diproses, serta soft drink. Terlalu sering mengasup pola makan seperti itu berpengaruh pada kemampuan mental, perhatian penglihatan, kemampuan belajar dan daya ingat, serta kecepatan reaksi.
Menurut Dr.Anett Nyaradi, peneliti, turunnya kemampuan otak tersebut antara lain disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah omega-6 yang berasal dari asam lemak di makanan gorengan dan daging merah.
Komposisi yang ideal adalah rasio 1:1 antara omega-3 dan omega-6. Namun dalam pola makan western, rasionya menjadi 1:20 atau 1:25.
Tingginya konsumsi lemak jenuh dari makanan tersebut dan karbohidrat sederhana juga akan merusak fungsi hipocampus, bagian otak yang berfungsi dalam belajar dan daya ingat. Bagian otak ini akan membesar di usia remaja.
"Usia remaja termasuk masa yang penting dalam perkembangan otak. Jika pola makan pada periode ini buruk, tentu ada pengaruhnya dalam kecerdasan," katanya.
Dalam penelitian ini remaja berusia 14 tahun diminta mengisi daftar makanan yang sering mereka asup untuk melihat pola makan mereka. Kemudian di usia 17 tahun para responden ini mengikuti tes kemampuan otak.
http://health.kompas.com
4 Agustus 2014
7 Langkah Melatih Anak Mengambil Keputusan
Perkembangan anak akan jauh lebih baik bila dalam keluarga mulai
dikembangkan kebiasaan memberi kesempatan anak berlatih mengambil
keputusan. Mulailah dengan hal-hal kecil.
Berikut ini adalah beberapa langkah untuk memberi kesempatan kesempatan anak berlatih mengambil keputusan dan mengikuti konsekuensinya seperti yang ditulis di dalam buku 100 Kiat Praktis untuk Merekatkan Keluarga Anda.
Berikut ini adalah beberapa langkah untuk memberi kesempatan kesempatan anak berlatih mengambil keputusan dan mengikuti konsekuensinya seperti yang ditulis di dalam buku 100 Kiat Praktis untuk Merekatkan Keluarga Anda.
- Beri kesempatan anak memilih menu makanan dari beberapa alternatif.
- Biarkan anak memilih sendiri busana yang akan dikenakannya, sesuai dengan cuaca dan kondisi.
- Biarkan anak mencoba-coba waktu dan tempat belajar yang dirasanya cocok. Tak jadi soal bila ia harus bereksperimen berulang kali.
- Ajak anak-anak berdiskusi untuk memutuskan tempat liburan sekeluarga, atau bagaimana Anda akan melewatkan waktu luang bersama-sama.
- Biarkan mereka belajar mengatur keuangannya sendiri, dengan bimbingan secukupnya dari Anda. Daripada susah-susah menerangkan bahwa mainan ini itu mahal harganya, lebih baik biarkan mereka belajar sendiri mengenal nilai suatu barang.
- Cobalah untuk tidak menilai kawan-kawan anak Anda hanya berdasarkan penampilan mereka.
- Ajaklah mereka berdiskusi tentang bagaimana proses mengambil keputusan berdasarkan pengalaman Anda dan mereka.
Agar Mainan Anak Memberi Efek Stimulasi Kecerdasan
Dunia anak memang dunia bermain, oleh sebab
itu kita sebagai orangtua tidak seharusnya merampas hak anak untuk
bermain. Bermain memiliki banyak manfaat bagi tumbuh kembang anak,
antara lain melatih motorik kasar dan halus, melatih kemandirian,
komunikasi, dan banyak lagi.
Porsi bermain anak berusia 0-5 tahun idealnya adalah 25 persen dari seluruh aktivitas hariannya atau sekitar 4-6 jam. Menurut hasil survei online yang diadakan oleh Fisher Price terhadap 690 responden di Indonesia, sebanyak 46 persen anak sudah memenuhi kriteria tersebut, 22 persen sebanyak 6-8 jam perhari, dan 20 persen bermain sebanyak 1-3 jam.
Karena porsi bermain yang cukup besar itulah, stimulasi yang diberikan selama kegiatan bermain memiliki peran besar dalam pembentukan kecerdasan.
Dari hasil survei tersebut juga terungkap orangtua memiliki motivasi untuk mengoptimalkan perkembangan buah hatinya dengan membeli mainan. Bidang yang diinginkan untuk dikembangkan adalah 79 persen kognitif, 79 persen fisik, dan 72 persen emosional.
http://health.kompas.com
Porsi bermain anak berusia 0-5 tahun idealnya adalah 25 persen dari seluruh aktivitas hariannya atau sekitar 4-6 jam. Menurut hasil survei online yang diadakan oleh Fisher Price terhadap 690 responden di Indonesia, sebanyak 46 persen anak sudah memenuhi kriteria tersebut, 22 persen sebanyak 6-8 jam perhari, dan 20 persen bermain sebanyak 1-3 jam.
Karena porsi bermain yang cukup besar itulah, stimulasi yang diberikan selama kegiatan bermain memiliki peran besar dalam pembentukan kecerdasan.
Dari hasil survei tersebut juga terungkap orangtua memiliki motivasi untuk mengoptimalkan perkembangan buah hatinya dengan membeli mainan. Bidang yang diinginkan untuk dikembangkan adalah 79 persen kognitif, 79 persen fisik, dan 72 persen emosional.
Menurut psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo, supaya permainan
anak juga memberi manfaat stimulasi, ada dua prinsip yang harus
dipenuhi. Pertama, pendampingan saat anak bermain.
"Jika anak bermain begitu saja tanpa adanya pendampingan, tidak
akan tercipta stimulasi untuk pertumbuhan dan perkembangannya," ujarnya
dalam talkshow seputar permainan anak beberapa waktu lalu di Jakarta.
Pendampingan bisa berupa mengajarkan cara memainkan mainan, baik
dengan cara yang seharusnya maupun membuat variasi cara lain. Selain
itu, orangtua juga bisa mengajak anak memainkan mainan dengan bernyanyi
dan bergerak. Untuk itu orangtua perlu mengagendakan kegiatan bermain
bersama anak setiap harinya.
Kedua, dalam mengoptimalkan stimulasi, orangtua perlu memberikan
mainan pada anak sesuai dengan kategori usianya. Bila kategori usia
mainan lebih rendah dari usianya, anak akan lebih mudah merasa bosan
karena tidak ada tantangan. Sebaliknya, bila terlalu tinggi dari
kategori umurnya, anak umumnya tidak akan mampu menikmati mainan yang
diberikan.
http://health.kompas.com
3 Juni 2014
Kiat Menjadi "Role Model" untuk Anak
Orangtua adalah panutan (role model) anak, maka dari itu
berhati-hatilah dalam bersikap serta berbicara saat sedang bersama
mereka. Pasalnya, segala tingkah laku, perkataan, dan sikap orangtua
bisa ditiru oleh anak.
Menjadi role model bukan berarti Anda harus jadi orangtua yang serba sempurna dalam segala hal. Berikut beberapa tip menjadi orangtua yang bermanfaat pada anak.
1. Menahan pintu di tempat-tempat umum
Ketika berjalan-jalan di mal, perpustakaan, atau restoran, bantulah anak atau orang lain di belakang Anda dengan menahan pintu. Cara yang demikian mengajarkan anak tentang sikap saling menghargai dan bertanggungjawab terhadap orang di sekitar Anda.
2. Merawat binatang peliharaan atau tanaman
Memiliki hewan peliharaan atau tanaman kesayangan memang bisa membantu mengurangi tingkat stres Anda. Selain itu, juga bisa mengajarkan kepada anak tentang pentingnya memberikan dan menunjukkan kasih sayang pada mahluk hidup lainnya.
3. Membaca
Tak cuma anak-anak yang harus dipaksa untuk belajar dan membaca, tetapi Anda juga harus rajin membaca. Ajak anak-anak untuk membaca buku favorit masing-masing. Membaca akan membantu anak untuk lebih menghargai, menikmati kata-kata, mendapat banyak pesan moral positif dan memperluas pengetahuan.
4. Bersenang-senang
Tak ada yang salah dengan menikmati hidup asal tahu batasannya. Biarkan anak-anak tahu bahwa sesekali perlu bermain di luar, dan jangan takut dengan noda serta kotoran. Tunjukkan pada anak bahwa bersenang-senang dan merayakan keberhasilan itu juga hal yang baik.
5. Memiliki banyak teman
Undang teman-teman se-geng Anda untuk makan malam di rumah, atau sekadar ngobrol seru bersama mereka. Obrolan-obrolan positif antara sahabat akan mengajarkan anak tentang pentingnya bersosialisasi dengan orang lain dan berinteraksi lewat tatap muka. Selain itu, hal ini juga akan memberitahu anak tentang manfaat sahabat dalam kehidupan. Ini adalah pelajaran yang sangat penting untuk kehidupan anak di masa mendatang.
6. Menjaga kesehatan
Di sela-sela kesibukan Anda, sempatkan sedikit waktu untuk berolahraga. Dengan demikian, anak akan tahu pentingnya menjaga kesehatan dengan beraktvitas. Selain itu, mereka juga belajar untuk menerima olahraga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
7. Jadilah konsumen yang cerdas
Jangan mumpung sedang diskon besar, Anda langsung kalap belanja. Mungkin Anda tidak sadari, anak akan menyerap gaya belanja orangtua dan menganggap hal yang Anda lakukan sebagai kewajaran. Maka dari itu, jadilah pembeli yang cerdas yang tidak mudah temakan rayuan diskon ataupun promosi kartu kredit.
8. Perlakukan orangtua dengan hormat
Jika Anda masih memiliki orangtua atau mertua, perlakukanlah mereka dengan baik dan sopan. Tak cuma itu, jika bertemu dengan orang yang usianya lebih tua dari Anda, bersikaplah dengan hormat. Ini akan membantu Anda mengajarkan anak-anak bahwa orangtua adalah sosok yang harus diperlakukan dengan hormat dan sopan.
http://female.kompas.com
Menjadi role model bukan berarti Anda harus jadi orangtua yang serba sempurna dalam segala hal. Berikut beberapa tip menjadi orangtua yang bermanfaat pada anak.
1. Menahan pintu di tempat-tempat umum
Ketika berjalan-jalan di mal, perpustakaan, atau restoran, bantulah anak atau orang lain di belakang Anda dengan menahan pintu. Cara yang demikian mengajarkan anak tentang sikap saling menghargai dan bertanggungjawab terhadap orang di sekitar Anda.
2. Merawat binatang peliharaan atau tanaman
Memiliki hewan peliharaan atau tanaman kesayangan memang bisa membantu mengurangi tingkat stres Anda. Selain itu, juga bisa mengajarkan kepada anak tentang pentingnya memberikan dan menunjukkan kasih sayang pada mahluk hidup lainnya.
3. Membaca
Tak cuma anak-anak yang harus dipaksa untuk belajar dan membaca, tetapi Anda juga harus rajin membaca. Ajak anak-anak untuk membaca buku favorit masing-masing. Membaca akan membantu anak untuk lebih menghargai, menikmati kata-kata, mendapat banyak pesan moral positif dan memperluas pengetahuan.
4. Bersenang-senang
Tak ada yang salah dengan menikmati hidup asal tahu batasannya. Biarkan anak-anak tahu bahwa sesekali perlu bermain di luar, dan jangan takut dengan noda serta kotoran. Tunjukkan pada anak bahwa bersenang-senang dan merayakan keberhasilan itu juga hal yang baik.
5. Memiliki banyak teman
Undang teman-teman se-geng Anda untuk makan malam di rumah, atau sekadar ngobrol seru bersama mereka. Obrolan-obrolan positif antara sahabat akan mengajarkan anak tentang pentingnya bersosialisasi dengan orang lain dan berinteraksi lewat tatap muka. Selain itu, hal ini juga akan memberitahu anak tentang manfaat sahabat dalam kehidupan. Ini adalah pelajaran yang sangat penting untuk kehidupan anak di masa mendatang.
6. Menjaga kesehatan
Di sela-sela kesibukan Anda, sempatkan sedikit waktu untuk berolahraga. Dengan demikian, anak akan tahu pentingnya menjaga kesehatan dengan beraktvitas. Selain itu, mereka juga belajar untuk menerima olahraga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
7. Jadilah konsumen yang cerdas
Jangan mumpung sedang diskon besar, Anda langsung kalap belanja. Mungkin Anda tidak sadari, anak akan menyerap gaya belanja orangtua dan menganggap hal yang Anda lakukan sebagai kewajaran. Maka dari itu, jadilah pembeli yang cerdas yang tidak mudah temakan rayuan diskon ataupun promosi kartu kredit.
8. Perlakukan orangtua dengan hormat
Jika Anda masih memiliki orangtua atau mertua, perlakukanlah mereka dengan baik dan sopan. Tak cuma itu, jika bertemu dengan orang yang usianya lebih tua dari Anda, bersikaplah dengan hormat. Ini akan membantu Anda mengajarkan anak-anak bahwa orangtua adalah sosok yang harus diperlakukan dengan hormat dan sopan.
http://female.kompas.com
16 Mei 2014
5 Langkah Meningkatkan Konsentrasi Anak
Konsentrasi adalah kemampuan memusatkan atau mempertahankan perhatian
pada sesuatu hal dalam rentang waktu tertentu. Tingkat konsentrasi yang
rendah akan mengakibatkan berbagai efek buruk bagi anak, antara lain
tugas anak terbengkalai atau anak menjadi seperti “pelupa”, benda-benda
miliknya sering ketinggalan, bahkan hilang lantaran rentang perhatiannya
yang kurang, pikirannya bercabang, tidak bisa fokus.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sekolah atau guru, agar anak lebih konsentrasi. Berikut di antaranya:
1. Berikan rasa aman dan nyaman
Memberikan rasa aman, nyaman, serius tapi rileks dalam pembelajaran. Siswa yang merasa tidak aman, tidak nyaman dan terlalu santai tidak akan dapat berkonsentrasi dengan baik serta mudah terdistraksi. Semua hal-hal yang terkait dengan lingkungan belajar, suasana kelas, dan cara guru mengajar sangat besar pengaruhnya terhadap konsentrasi anak.
2. Buat anak antusias
Antusias adalah pangkal dari konsentrasi. Mengajak siswa untuk selalu bersikap antusias terhadap tugas-tugas yang diberikan. Hal ini dapat dibantu oleh guru dengan memberikan tugas-tugas pembelajaran yang menyenangkan dan menantang serta dalam jangkauan anak untuk dapat menyelesaikannya. Guru juga dapat menggunakan metode pembelajaran di kelas yang tepat sehingga dapat meningkatkan konsentrasi belajar siswa. Materi juga disampaikan dengan cara yang menarik perhatiannya siswa. Dengan begitu, konsentrasi anak akan semakin meningkat.
3. Berikan keyakinan bahwa anak mampu
Dengan kepercayaan diri, konsentrasi anak akan berlipat ganda, Berikan keyakinan atau kepercayaan diri pada anak, mereka mampu mengerjakan tugas pembelajaran yang diberikan. Bagaimanapun rasa percaya diri sangat mempengaruhi kesuksesan anak dalam belajar. Dengan adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu mempelajari materi atau mengerjakan tugas tersebut maka mereka akan dapat melakukannya dengan baik. Konsentrasi anak pun akan penuh untuk belajar.
4. Ciptakan lingkungan bersih
Memprioritaskan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat untuk tumbuh kembang anak dan terbebas dari polusi. Penelitian Ir Puji Lestari, PhD (ahli polusi udara dari ITB), lulusan Illinois Institute of Technology, Amerika Serikat menunjukkan, pencemaran udara di kota-kota besar yang mengandung timbal yang melebihi ambang batas dalam tubuh anak, bisa menurunkan kecerdasan intelektual (IQ). Bukan hanya itu, kadar timbal tinggi juga mengganggu konsentrasi belajar anak.
5. Ciptakan suasana rumah aman
Ciptakan suasana rumah dan sekolah yang aman, nyaman dan tenang bagi perkembangan belajar anak. Suasana rumah dan sekolah yang terbebas dari perilaku kekerasan dan bullying pada anak sehingga anak menjadi betah dan termotivasi untuk belajar dan bersekolah.
http://female.kompas.com
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sekolah atau guru, agar anak lebih konsentrasi. Berikut di antaranya:
1. Berikan rasa aman dan nyaman
Memberikan rasa aman, nyaman, serius tapi rileks dalam pembelajaran. Siswa yang merasa tidak aman, tidak nyaman dan terlalu santai tidak akan dapat berkonsentrasi dengan baik serta mudah terdistraksi. Semua hal-hal yang terkait dengan lingkungan belajar, suasana kelas, dan cara guru mengajar sangat besar pengaruhnya terhadap konsentrasi anak.
2. Buat anak antusias
Antusias adalah pangkal dari konsentrasi. Mengajak siswa untuk selalu bersikap antusias terhadap tugas-tugas yang diberikan. Hal ini dapat dibantu oleh guru dengan memberikan tugas-tugas pembelajaran yang menyenangkan dan menantang serta dalam jangkauan anak untuk dapat menyelesaikannya. Guru juga dapat menggunakan metode pembelajaran di kelas yang tepat sehingga dapat meningkatkan konsentrasi belajar siswa. Materi juga disampaikan dengan cara yang menarik perhatiannya siswa. Dengan begitu, konsentrasi anak akan semakin meningkat.
3. Berikan keyakinan bahwa anak mampu
Dengan kepercayaan diri, konsentrasi anak akan berlipat ganda, Berikan keyakinan atau kepercayaan diri pada anak, mereka mampu mengerjakan tugas pembelajaran yang diberikan. Bagaimanapun rasa percaya diri sangat mempengaruhi kesuksesan anak dalam belajar. Dengan adanya kepercayaan diri bahwa mereka mampu mempelajari materi atau mengerjakan tugas tersebut maka mereka akan dapat melakukannya dengan baik. Konsentrasi anak pun akan penuh untuk belajar.
4. Ciptakan lingkungan bersih
Memprioritaskan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat untuk tumbuh kembang anak dan terbebas dari polusi. Penelitian Ir Puji Lestari, PhD (ahli polusi udara dari ITB), lulusan Illinois Institute of Technology, Amerika Serikat menunjukkan, pencemaran udara di kota-kota besar yang mengandung timbal yang melebihi ambang batas dalam tubuh anak, bisa menurunkan kecerdasan intelektual (IQ). Bukan hanya itu, kadar timbal tinggi juga mengganggu konsentrasi belajar anak.
5. Ciptakan suasana rumah aman
Ciptakan suasana rumah dan sekolah yang aman, nyaman dan tenang bagi perkembangan belajar anak. Suasana rumah dan sekolah yang terbebas dari perilaku kekerasan dan bullying pada anak sehingga anak menjadi betah dan termotivasi untuk belajar dan bersekolah.
http://female.kompas.com
2 April 2014
Ini Akibatnya Jika Anak Jarang Bermain
Tuntutan persaingan di sekolah saat ini membuat anak-anak disibukkan
dengan kegiatan les hampir setiap hari. Akibatnya, waktu mereka untuk
bermain jadi berkurang.
Selain karena tak mau anak tertinggal dari teman-teman sekolahnya, orangtua juga kerap merasa takut bila anak banyak bermain. Misalnya, takut anak terjatuh saat berlari-larian di luar, atau takut terserang kuman saat bermain tanah.
Namun, kekhawatiran berlebih orangtua mengenai aktivitas bermain anak justru dapat memengaruhi perkembangan anak di masa depan.
“Biasanya anak-anak yang kerap dilarang bermain oleh orangtuanya agak cenderung kaku dan tidak fleksibel, kemudian emosinya juga negatif karena mereka merasa selalu ditekan dengan banyaknya aturan ada. Anak jadi menarik diri, ada yang memberontak, dan macam-macam,” terang psikolog Mayke S. Tedjasaputra, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Anak juga bisa jadi sulit bergaul dan tidak terampil untuk melakukan banyak hal, karena anak merasa takut. Kerap dilarang bermain membuat inisiatif dan kreativitas anak juga kurang berkembang. Akibatnya anak bisa merasa kurang percaya diri.
Bila hal ini terus berlangsung, kelak anak jadi tidak berani mengungkapkan pendapat, tidak bebas memilih, dan menentukan apa yang akan dilakukan. Anak tidak mampu memprioritaskan yang lebih penting dan tidak penting. Padahal, inilah yang sangat penting saat anak jadi dewasa.
Pada dasarnya, orangtua pasti ingin membentuk anaknya jadi seorang anak yang cerdas, kreatif, mandiri, demikian menurut psikolog anak dan keluarga, Roslina Veraulii.
Namun untuk mencapainya, orangtua cenderung memilih memberikan segudang les yang terkadang membuat anak sangat sibuk. Dampaknya waktu bermain anak berkurang, dan membatasi waktu dan tempat bermain di dalam rumah saja. Padahal ini justru akan menimbulkan banyak keluhan dari anak.
“Belajar yang hanya berpusat pada kegiatan akademis yang membutuhkan usaha mental tinggi dan berkepanjangan, dampaknya justru anak lelah, terganggu emosinya, atensi konsentrasinya minim, bahkan ada banyak keluhan fisik. Misalnya anak merasa pusing atau sakit perut,” tambah Roslina.
Jangan lupa, bermain tak hanya menimbulkan rasa senang dan membuat anak dapat melepaskan energi positif maupun negatif. Selain itu kegiatan bermain juga menjadi sarana anak-anak untuk mengembangkan diri secara optimal.
http://nationalgeographic.co.id
Selain karena tak mau anak tertinggal dari teman-teman sekolahnya, orangtua juga kerap merasa takut bila anak banyak bermain. Misalnya, takut anak terjatuh saat berlari-larian di luar, atau takut terserang kuman saat bermain tanah.
Namun, kekhawatiran berlebih orangtua mengenai aktivitas bermain anak justru dapat memengaruhi perkembangan anak di masa depan.
“Biasanya anak-anak yang kerap dilarang bermain oleh orangtuanya agak cenderung kaku dan tidak fleksibel, kemudian emosinya juga negatif karena mereka merasa selalu ditekan dengan banyaknya aturan ada. Anak jadi menarik diri, ada yang memberontak, dan macam-macam,” terang psikolog Mayke S. Tedjasaputra, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Anak juga bisa jadi sulit bergaul dan tidak terampil untuk melakukan banyak hal, karena anak merasa takut. Kerap dilarang bermain membuat inisiatif dan kreativitas anak juga kurang berkembang. Akibatnya anak bisa merasa kurang percaya diri.
Bila hal ini terus berlangsung, kelak anak jadi tidak berani mengungkapkan pendapat, tidak bebas memilih, dan menentukan apa yang akan dilakukan. Anak tidak mampu memprioritaskan yang lebih penting dan tidak penting. Padahal, inilah yang sangat penting saat anak jadi dewasa.
Pada dasarnya, orangtua pasti ingin membentuk anaknya jadi seorang anak yang cerdas, kreatif, mandiri, demikian menurut psikolog anak dan keluarga, Roslina Veraulii.
Namun untuk mencapainya, orangtua cenderung memilih memberikan segudang les yang terkadang membuat anak sangat sibuk. Dampaknya waktu bermain anak berkurang, dan membatasi waktu dan tempat bermain di dalam rumah saja. Padahal ini justru akan menimbulkan banyak keluhan dari anak.
“Belajar yang hanya berpusat pada kegiatan akademis yang membutuhkan usaha mental tinggi dan berkepanjangan, dampaknya justru anak lelah, terganggu emosinya, atensi konsentrasinya minim, bahkan ada banyak keluhan fisik. Misalnya anak merasa pusing atau sakit perut,” tambah Roslina.
Jangan lupa, bermain tak hanya menimbulkan rasa senang dan membuat anak dapat melepaskan energi positif maupun negatif. Selain itu kegiatan bermain juga menjadi sarana anak-anak untuk mengembangkan diri secara optimal.
http://nationalgeographic.co.id
1 April 2014
Kiat Menghadapi Si Kecil yang Emosional
Menurut para ahli, bayi berusia delapan minggu sebenarnya sudah bisa
memperlihatkan emosi atau suasana hati yang mereka rasakan pada
orangtua. Namun, emosi ini umumnya ditanggapi orangtua sebagai “sinyal”
akan rasa lapar, mengantuk, dan tidak nyaman karena popok yang telah
penuh.
Seperti dikutip dari Psychology Today, Victoria Manion Fleming, Psikolog, mengatakan “Selain pendidikan, sebaiknya orangtua juga mengajarkan anak untuk cakap dalam mengelola emosinya. Sebab, kualitas perilaku merupakan bekal yang terbilang penting untuk masa depan anak,”
Apabila buah hati Anda mudah marah, mengamuk, dan menangis, lain waktu emosi mereka sedang memuncak, bantulah sang buah agar tenang dengan langkah berikut:
Mengatasi si kecil yang pemarah
Pantangan untuk orangtua dalam menangani anak yang suka marah-marah adalah meresponnya dengan omelan, pukulan, dan hukuman. Sebab, hal seperti itu hanya akan membuat si kecil semakin frustrasi dan menganggap Anda sebagai musuh.
Redakan amarah anak dengan menggenggam tangannya dan tataplah matanya, tenangkan si dia dengan usapan yang nyaman pada pundak serta punggung. Kemudian, setelah emosinya mereda, ajak anak bicara baik-baik dengan menanyakan apa yang menyulut emosinya. Setelah anak menjelaskan, berikanlah nasihat positif bahwa kebiasaannya tersebut dapat membuatnya sesak napas, kepalanya pusing, dan matanya perih karena berteriak-teriak sembari nangis. Selain itu, Anda sendiri sebagai orangtua dan panutan dalam keluarga, jangan terbiasa marah-marah di rumah, apalagi di depan anak. Ingat, anak selalu mencontoh apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
Mengatasi si kecil yang mudah sedih
Apabila si kecil mudah merasa sedih, ini berarti ia memiliki hati yang sensitif dan terlampau peka. Jangan menyudutkan anak dengan menyebutnya cengeng, sebaliknya hiburlah hatinya saat sedang merasa muram dengan melakukan berbagai hal yang ia sukai, entah makan es krim, menonton tayangan kartun favoritnya, sembari mengajaknya berbagi kesedihan yang ia rasakan pada Anda.
Anak yang mudah sedih umumnya merasa kesepian, maka dari itu ketika Anda mendengarkan keluh kesahnya, itu akan membesarkan hati dan meringankan beban pikirannya.
Mengatasi anak penakut
Hanya karena anak takut tidur di dalam kamar yang gelap, Anda langsung melabelinya sebagai si penakut atau si pengecut. Hentikan kebiasaan memberikan julukan bermakna negatif, cara ini hanya akan meluruhkan rasa percaya diri anak. Sebenarnya, wajar saja kalau si kecil takut dengan kegelapan, atau tidak berani bermain dengan hewan-hewan tertentu. Sebagai orangtua sudah kewajiban Anda melindungi anak dari hal-hal yang membuat mereka ketakutan, tetapi juga jangan berlebihan. Cari tahu apa yang menyebabkan si kecil takut dan latihlah dirinya secara perlahan untuk menaklukan fobianya tersebut, agar tidak terbawa-bawa ketika mereka dewasa.
http://female.kompas.com
Seperti dikutip dari Psychology Today, Victoria Manion Fleming, Psikolog, mengatakan “Selain pendidikan, sebaiknya orangtua juga mengajarkan anak untuk cakap dalam mengelola emosinya. Sebab, kualitas perilaku merupakan bekal yang terbilang penting untuk masa depan anak,”
Apabila buah hati Anda mudah marah, mengamuk, dan menangis, lain waktu emosi mereka sedang memuncak, bantulah sang buah agar tenang dengan langkah berikut:
Mengatasi si kecil yang pemarah
Pantangan untuk orangtua dalam menangani anak yang suka marah-marah adalah meresponnya dengan omelan, pukulan, dan hukuman. Sebab, hal seperti itu hanya akan membuat si kecil semakin frustrasi dan menganggap Anda sebagai musuh.
Redakan amarah anak dengan menggenggam tangannya dan tataplah matanya, tenangkan si dia dengan usapan yang nyaman pada pundak serta punggung. Kemudian, setelah emosinya mereda, ajak anak bicara baik-baik dengan menanyakan apa yang menyulut emosinya. Setelah anak menjelaskan, berikanlah nasihat positif bahwa kebiasaannya tersebut dapat membuatnya sesak napas, kepalanya pusing, dan matanya perih karena berteriak-teriak sembari nangis. Selain itu, Anda sendiri sebagai orangtua dan panutan dalam keluarga, jangan terbiasa marah-marah di rumah, apalagi di depan anak. Ingat, anak selalu mencontoh apa yang dilakukan oleh orang-orang terdekatnya.
Mengatasi si kecil yang mudah sedih
Apabila si kecil mudah merasa sedih, ini berarti ia memiliki hati yang sensitif dan terlampau peka. Jangan menyudutkan anak dengan menyebutnya cengeng, sebaliknya hiburlah hatinya saat sedang merasa muram dengan melakukan berbagai hal yang ia sukai, entah makan es krim, menonton tayangan kartun favoritnya, sembari mengajaknya berbagi kesedihan yang ia rasakan pada Anda.
Anak yang mudah sedih umumnya merasa kesepian, maka dari itu ketika Anda mendengarkan keluh kesahnya, itu akan membesarkan hati dan meringankan beban pikirannya.
Mengatasi anak penakut
Hanya karena anak takut tidur di dalam kamar yang gelap, Anda langsung melabelinya sebagai si penakut atau si pengecut. Hentikan kebiasaan memberikan julukan bermakna negatif, cara ini hanya akan meluruhkan rasa percaya diri anak. Sebenarnya, wajar saja kalau si kecil takut dengan kegelapan, atau tidak berani bermain dengan hewan-hewan tertentu. Sebagai orangtua sudah kewajiban Anda melindungi anak dari hal-hal yang membuat mereka ketakutan, tetapi juga jangan berlebihan. Cari tahu apa yang menyebabkan si kecil takut dan latihlah dirinya secara perlahan untuk menaklukan fobianya tersebut, agar tidak terbawa-bawa ketika mereka dewasa.
http://female.kompas.com
Punya Anak Perempuan Bikin Ibu Lebih Modis
Siapa bilang setelah jadi ibu, perempuan tidak bisa lagi tampil gaya dan
terlihat cantik? Anda bisa kok tampil cantik dan menjadi yummy mummy seperti saat masih lajang dulu.
Michelle Obama, Kate Moss, dan Samantha Cameron adalah contoh perempuan yang tetap terlihat cantik dan modis sekalipun sudah memiliki anak.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh toko ritel Gray & Osbourn mengungkapkan bahwa ternyata ada pengaruh antara anak dan penampilan seorang ibu. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak perempuan cenderung lebih stylish dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak laki-laki. Lebih dari seperempat perempuan yang disurvei setuju dengan hal ini.
Kepedulian ibu yang memiliki anak perempuan terhadap fashion ini disebabkan putri-putri mereka akan membantu dan menjadi penata gaya ketika usia mereka bertambah.
Lebih dari setengah perempuan yang disurvei (51 persen) mengatakan bahwa mereka lebih percaya pendapat anak perempuan mereka dibandingkan penilaian orang lain. Bahkan, 78 persen perempuan di atas usia 50 tahun mengatakan kalau mereka lebih senang membiarkan anak perempuannya yang memilihkan busana untuk mereka.
Sebaliknya, hanya lima persen perempuan yang ingin meminta saran gaya busana dari anaknya. Sekitar delapan persen perempuan berusia 45 tahun ke atas mengaku mengambil saran busana dari suaminya.
"Seiring waktu membesarkan anak laki-laki, ibu biasanya tidak terlalu tertarik dengan mode. Namun, ibu dengan anak perempuan akan memiliki minat pada fashion karena secara tak langsung anak perempuannya akan mengenal fashion," kata psikolog, Honey Langcaster-James.
Selain itu, Honey menambahkan, jalinan kedekatan anak perempuan dengan ibunya akan menjadi sebuah sumber dukungan serta dorongan untuk memutuskan gaya busana yang digunakan.
"Alasan paling umum adalah anak perempuan itu lebih kritis dan bisa menawarkan nasihat yang baik, bahkan memberi unsur kompetisi untuk melihat gaya siapa yang terbaik," katanya.
Lucunya, hubungan ibu dan anak perempuan ini tak hanya sebatas itu. Sebanyak 40 persen anak perempuan berusia 19-34 tahun mengatakan kalau mereka tidak akan membiarkan ibunya berbelanja baju tanpa pengawasan mereka.
"Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan antara ibu dan anak perempuan, juga betapa perempuan itu lebih suka dan menghargai pendapat yang jujur serta bisa dipercaya," ujar Honey.
http://female.kompas.com
Michelle Obama, Kate Moss, dan Samantha Cameron adalah contoh perempuan yang tetap terlihat cantik dan modis sekalipun sudah memiliki anak.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh toko ritel Gray & Osbourn mengungkapkan bahwa ternyata ada pengaruh antara anak dan penampilan seorang ibu. Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak perempuan cenderung lebih stylish dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak laki-laki. Lebih dari seperempat perempuan yang disurvei setuju dengan hal ini.
Kepedulian ibu yang memiliki anak perempuan terhadap fashion ini disebabkan putri-putri mereka akan membantu dan menjadi penata gaya ketika usia mereka bertambah.
Lebih dari setengah perempuan yang disurvei (51 persen) mengatakan bahwa mereka lebih percaya pendapat anak perempuan mereka dibandingkan penilaian orang lain. Bahkan, 78 persen perempuan di atas usia 50 tahun mengatakan kalau mereka lebih senang membiarkan anak perempuannya yang memilihkan busana untuk mereka.
Sebaliknya, hanya lima persen perempuan yang ingin meminta saran gaya busana dari anaknya. Sekitar delapan persen perempuan berusia 45 tahun ke atas mengaku mengambil saran busana dari suaminya.
"Seiring waktu membesarkan anak laki-laki, ibu biasanya tidak terlalu tertarik dengan mode. Namun, ibu dengan anak perempuan akan memiliki minat pada fashion karena secara tak langsung anak perempuannya akan mengenal fashion," kata psikolog, Honey Langcaster-James.
Selain itu, Honey menambahkan, jalinan kedekatan anak perempuan dengan ibunya akan menjadi sebuah sumber dukungan serta dorongan untuk memutuskan gaya busana yang digunakan.
"Alasan paling umum adalah anak perempuan itu lebih kritis dan bisa menawarkan nasihat yang baik, bahkan memberi unsur kompetisi untuk melihat gaya siapa yang terbaik," katanya.
Lucunya, hubungan ibu dan anak perempuan ini tak hanya sebatas itu. Sebanyak 40 persen anak perempuan berusia 19-34 tahun mengatakan kalau mereka tidak akan membiarkan ibunya berbelanja baju tanpa pengawasan mereka.
"Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya hubungan antara ibu dan anak perempuan, juga betapa perempuan itu lebih suka dan menghargai pendapat yang jujur serta bisa dipercaya," ujar Honey.
http://female.kompas.com
Berbahagialah Orangtua yang Memiliki Anak Perempuan
Melalui sebuah penelitian, para ilmuan menyimpulkan bahwa keluarga
yang memiliki anak perempuan cenderung lebih bahagia, sukses, dan mereka
yang memiliki saudara perempuan berpotensi untuk umur panjang.
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Ulster di Irlandia Utara menyatakan, anak perempuan dalam keluarga merupakan energi penyeimbang. Terutama saat terjadi sesuatu yang menyedihkan dan menyakitkan, seperti misalnya perceraian orangtua, kematian, anggota keluarga terjangkit penyakit keras, dan sebagainya. Alasannya, karena secara alamiah perempuan dianugerahi kepekaan perasaan dan kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik serta membicarakan beban yang mereka rasakan. Personifikasi yang demikian membuat mereka tidak memendam pikiran dan masalah dalam hati.
Penelitian ini melibatkan partisipan sebanyak 571 orang dengan kisaran usia antara 17 hingga 25 tahun. Mereka diberikan angket berisi serangkaian pertanyaan mengenai pandangan mereka akan masa depan, apa yang mereka lakukan saat terbentur masalah, dan sebagainya. Akhirnya terangkum informasi yang menyatakan bahwa partisipan yang memiliki saudara perempuan ditemukan lebih bahagia dan menikmati hidup dengan pikiran yang terbuka.
Selain itu, partisipan yang dibesarkan oleh orangtua yang bercerai, ternyata tetap mampu menjalani kehidupan secara normal berkat memiliki saudara perempuan yang menjadi tempat mereka berbagi dan saling mendukung. “Penemuan ini bisa dijadikan materi menguntungkan bagi psikolog anak, lembaga konsutan keluarga, atau pihak lainnya yang menawarkan bantuan bagi anak-anak yang menjadi “korban” perceraian orangtua,” ujar Professor Tony Casdidy, Ketua Penelitian.
Menurut Tony, memiliki anak dan saudara perempuan mendorong komunikasi antar anggota keluarga lainnya menjadi lebih baik. Seperti yang kita ketahui dalam ilmu psikologi, mengemukakan perasaan emosional berdampak postitif bagi kesehatan batiniah manusia.
http://female.kompas.com
Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Ulster di Irlandia Utara menyatakan, anak perempuan dalam keluarga merupakan energi penyeimbang. Terutama saat terjadi sesuatu yang menyedihkan dan menyakitkan, seperti misalnya perceraian orangtua, kematian, anggota keluarga terjangkit penyakit keras, dan sebagainya. Alasannya, karena secara alamiah perempuan dianugerahi kepekaan perasaan dan kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik serta membicarakan beban yang mereka rasakan. Personifikasi yang demikian membuat mereka tidak memendam pikiran dan masalah dalam hati.
Penelitian ini melibatkan partisipan sebanyak 571 orang dengan kisaran usia antara 17 hingga 25 tahun. Mereka diberikan angket berisi serangkaian pertanyaan mengenai pandangan mereka akan masa depan, apa yang mereka lakukan saat terbentur masalah, dan sebagainya. Akhirnya terangkum informasi yang menyatakan bahwa partisipan yang memiliki saudara perempuan ditemukan lebih bahagia dan menikmati hidup dengan pikiran yang terbuka.
Selain itu, partisipan yang dibesarkan oleh orangtua yang bercerai, ternyata tetap mampu menjalani kehidupan secara normal berkat memiliki saudara perempuan yang menjadi tempat mereka berbagi dan saling mendukung. “Penemuan ini bisa dijadikan materi menguntungkan bagi psikolog anak, lembaga konsutan keluarga, atau pihak lainnya yang menawarkan bantuan bagi anak-anak yang menjadi “korban” perceraian orangtua,” ujar Professor Tony Casdidy, Ketua Penelitian.
Menurut Tony, memiliki anak dan saudara perempuan mendorong komunikasi antar anggota keluarga lainnya menjadi lebih baik. Seperti yang kita ketahui dalam ilmu psikologi, mengemukakan perasaan emosional berdampak postitif bagi kesehatan batiniah manusia.
http://female.kompas.com
6 Maret 2014
Rambu-rambu Mengajarkan Bahasa Asing pada Anak
Pembelajaran apa pun, termasuk bahasa, sebenarnya dapat diterapkan
sedari usia dini. Hanya saja proses pembelajarannya ini harus dengan
emmerhatikan faktor-faktor yang melekat pada anak usia dini.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan bahasa pada anak-anak:
- Tidak dicampur aduk
Pembelajaran bahasa asing harus dilakukan secara benar agar anak betul-betul memahaminya. Bahasa yang digunakan tidak dicampur aduk. Bila kita mengajak bayi bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, maka kita harus menggunakan bahasa Inggris sampai percakapan tersebut selesai.
Jangan dicampur aduk dalam satu kalimat, misalnya "Hai Rene, let's eat with Mama. Ayo, sit sebelah Mama, ya! atau "Then Mama akan suapin kamu," atau "So we eat together. Makan yang banyak ya!"
- Konsisten
Jika Mama Papa sudah memilih menggunakan bahasa asing, gunakan bahasa tersebut terus-menerus. Kecuali pada situasi tertentu, kita bisa melakukan kesepakatan untuk menggunakan bahasa lain. Idealnya, kita tentukan siapa yang berbahasa Inggris, Indonesia, atau bahasa daerah di rumah. Misalnya, Papa berbahasa Inggris, Mama berbahasa daerah, dan pengasuh berbahasa Indonesia. Diharapkan pemahaman bahasa asing anak akan lebih baik.
- Perhatikan struktur bahasa
Jika memutuskan mengajari anak bahasa asing sebaiknya lakukan sungguh-sungguh dengan memerhatikan grammar atau struktur bahasa dan vocabulary atau pengucapannya. Jadi, keakuratan dalam berbahasa (pelafalan, tata bahasa) untuk memberikan contoh yang benar. Dengan begitu anak menerima pelajaran secara lengkap.
Dengan kemampuan bahasa yang terstruktur baik tata bahasa dan pengucapannya tentu membuat kemampuan berbahasa asing anak jauh lebih baik.
- Memperbanyak saluran pembawa bahasa
Misalnya, dengan menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa tersebut, bercerita, membaca buku-buku, menonton film, percakapan, yang semuanya dalam bahasa tujuan. Memberikan waktu khusus untuk berbahasa Inggris, misalnya, waktu sedang makan malam, ketika berjalan-jalan di mal, dalam perjalanan dari sekolah ke rumah, dan lain-lain.
- Hal penting lainnya
Proses pentransferan bahasa secara alamiah/pemerolehan sesuai kebutuhan berkomunikasi anak dengan lingkungannya. Selain itu, memahami bahwa anak berbeda dari orang dewasa, sehingga pendekatan, metode, dan tekniknya disesuaikan dengan usia mereka atau dengan cara bermain yang menyenangkan.
http://female.kompas.com
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan bahasa pada anak-anak:
- Tidak dicampur aduk
Pembelajaran bahasa asing harus dilakukan secara benar agar anak betul-betul memahaminya. Bahasa yang digunakan tidak dicampur aduk. Bila kita mengajak bayi bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, maka kita harus menggunakan bahasa Inggris sampai percakapan tersebut selesai.
Jangan dicampur aduk dalam satu kalimat, misalnya "Hai Rene, let's eat with Mama. Ayo, sit sebelah Mama, ya! atau "Then Mama akan suapin kamu," atau "So we eat together. Makan yang banyak ya!"
- Konsisten
Jika Mama Papa sudah memilih menggunakan bahasa asing, gunakan bahasa tersebut terus-menerus. Kecuali pada situasi tertentu, kita bisa melakukan kesepakatan untuk menggunakan bahasa lain. Idealnya, kita tentukan siapa yang berbahasa Inggris, Indonesia, atau bahasa daerah di rumah. Misalnya, Papa berbahasa Inggris, Mama berbahasa daerah, dan pengasuh berbahasa Indonesia. Diharapkan pemahaman bahasa asing anak akan lebih baik.
- Perhatikan struktur bahasa
Jika memutuskan mengajari anak bahasa asing sebaiknya lakukan sungguh-sungguh dengan memerhatikan grammar atau struktur bahasa dan vocabulary atau pengucapannya. Jadi, keakuratan dalam berbahasa (pelafalan, tata bahasa) untuk memberikan contoh yang benar. Dengan begitu anak menerima pelajaran secara lengkap.
Dengan kemampuan bahasa yang terstruktur baik tata bahasa dan pengucapannya tentu membuat kemampuan berbahasa asing anak jauh lebih baik.
- Memperbanyak saluran pembawa bahasa
Misalnya, dengan menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa tersebut, bercerita, membaca buku-buku, menonton film, percakapan, yang semuanya dalam bahasa tujuan. Memberikan waktu khusus untuk berbahasa Inggris, misalnya, waktu sedang makan malam, ketika berjalan-jalan di mal, dalam perjalanan dari sekolah ke rumah, dan lain-lain.
- Hal penting lainnya
Proses pentransferan bahasa secara alamiah/pemerolehan sesuai kebutuhan berkomunikasi anak dengan lingkungannya. Selain itu, memahami bahwa anak berbeda dari orang dewasa, sehingga pendekatan, metode, dan tekniknya disesuaikan dengan usia mereka atau dengan cara bermain yang menyenangkan.
http://female.kompas.com
16 Februari 2014
Jadi Ibu? Berhentilah Membandingkan Anak
Sikap suka membanding-bandingkan anak sering ditemui pada ibu baru.
Berbagai hal dibandingkan, mulai dari berat badan bayi, kemampuan
motorik anak, sampai pola asuh.
Menurut Kathy Seal, psikolog, sikap suka membanding-bandingkan tersebut adalah hal yang normal. Bahkan ia menyebutnya sebagai insting bertahan hidup alami manusia.
"Kita memang terprogram untuk mendorong mendorong anak-anak berkompetisi. Bahkan, anak-anak di zaman nenek moyang kita harus kuat agar bisa bersaing dalam berburu. Karena itu hal yang natural jika kita anak kita punya keterampilan yang lebih," kata penulis buku Pressured Parents, Stressed-out Kids: Dealing With Competition While Raising a Successcufl Child ini.
Meski begitu, sikap terlalu ingin bersaing dan membandingkan bisa membuat kita stres. Sikap ini juga membuat kita kurang menghargai apa yang sudah dicapai anak.
Berikut adalah beberapa hal yang sering dibandingkan para ibu:
-Tahapan tumbuh kembang
Sebagai ibu kita memang wajib memperhatikan ada tidaknya gangguan atau keterlambatan tumbuh kembang anak. Sehingga tak heran jika kita sering cemas jika anak belum mampu menguasai motorik kasar di usia tertentu.
Namun tahapan tumbuh kembang anak sangat bervariasi, entah itu saat mereka mulai duduk, merangkak, atau berjalan. Karena itu sebaiknya Anda tidak perlu khawatir sejauh anak mencapai milestone pada rentang waktu yang masih normal.
Nikmati dan hargai kemampuan anak pada saat ini. Selalu ingatkan diri sendiri bahwa kita tak bisa memaksa anak mencapai milestone tertentu jika mereka belum siap.
- Waktu tidur
Banyak orangtua baru yang merasa kelelahan mengasuh si kecil karena mereka terkadang sulit tidur di malam hari. Memang ada bayi yang tidur nyenyak di malam hari, tetapi sebagian lain sulit terpejam dan sebentar-sebentar bangun.
Seperti halnya tumbuh kembang bayi, pola tidur anak juga bervariasi. Karena itu daripada Anda sibuk bertanya bagaimana cara membuat bayi tidur dan hal itu tidak berhasil pada bayi Anda, lebih baik fokus pada upaya agar Anda bisa selalu ikut tidur saat bayi juga tidur.
Jika bayi memang sulit tidur, Anda bisa meminta tolong pengasuh, suami, atau orangtua Anda, untuk menggantikan menggendong bayi sehingga Anda bisa beristirahat sebentar.
- Perilaku anak
Anak-anak memang "milik" orangtuanya, tetapi kita tidak bisa memilih temperamennya. Seperti halnya warna kulit, banyak sifat dan perilaku anak yang merupakan bawaan sejak lahir.
Meski si kecil tidak selalu bersikap manis, tetapi kita tetap perlu menerapkan disiplin atau koreksi halus saat ia melakukan sesuatu yang berbahaya, tidak sopan, atau merusak.
Namun, jika sudah berhadapan dengan sesuatu yang memang merupakan sifatnya, bersikap menerima adalah kuncinya. Jika Anda orang yang supel sementara si kecil pemalu, atau Anda suka olahraga sementara anak lebih suka menari, yang bisa Anda lakukan adalah menerima apa adanya si anak.
- Menu makanan
Anda merasa kagum sekaligus iri karena teman Anda bisa membuat rumahnya selalu rapi dan juga rajin membuat makanan untuk bayi dengan resep yang selalu berganti.
Membandingkan diri sendiri dengan "ibu super" hanya akan membuat Anda merasa rendah diri, bahkan merasa gagal. Bersikaplah realistis dan luangkan waktu untuk fokus pada pola asuh Anda sendiri. Cari apa yang paling Anda banggakan.
Ini bukan berarti Anda tidak boleh bersaing, tetapi daripada membuat diri merasa frustasi, lebih baik ambil pelajaran dari para ibu hebat itu. Lagi pula, tanpa Anda sadari mungkin Anda juga membuat iri para ibu lain.
http://female.kompas.com
Menurut Kathy Seal, psikolog, sikap suka membanding-bandingkan tersebut adalah hal yang normal. Bahkan ia menyebutnya sebagai insting bertahan hidup alami manusia.
"Kita memang terprogram untuk mendorong mendorong anak-anak berkompetisi. Bahkan, anak-anak di zaman nenek moyang kita harus kuat agar bisa bersaing dalam berburu. Karena itu hal yang natural jika kita anak kita punya keterampilan yang lebih," kata penulis buku Pressured Parents, Stressed-out Kids: Dealing With Competition While Raising a Successcufl Child ini.
Meski begitu, sikap terlalu ingin bersaing dan membandingkan bisa membuat kita stres. Sikap ini juga membuat kita kurang menghargai apa yang sudah dicapai anak.
Berikut adalah beberapa hal yang sering dibandingkan para ibu:
-Tahapan tumbuh kembang
Sebagai ibu kita memang wajib memperhatikan ada tidaknya gangguan atau keterlambatan tumbuh kembang anak. Sehingga tak heran jika kita sering cemas jika anak belum mampu menguasai motorik kasar di usia tertentu.
Namun tahapan tumbuh kembang anak sangat bervariasi, entah itu saat mereka mulai duduk, merangkak, atau berjalan. Karena itu sebaiknya Anda tidak perlu khawatir sejauh anak mencapai milestone pada rentang waktu yang masih normal.
Nikmati dan hargai kemampuan anak pada saat ini. Selalu ingatkan diri sendiri bahwa kita tak bisa memaksa anak mencapai milestone tertentu jika mereka belum siap.
- Waktu tidur
Banyak orangtua baru yang merasa kelelahan mengasuh si kecil karena mereka terkadang sulit tidur di malam hari. Memang ada bayi yang tidur nyenyak di malam hari, tetapi sebagian lain sulit terpejam dan sebentar-sebentar bangun.
Seperti halnya tumbuh kembang bayi, pola tidur anak juga bervariasi. Karena itu daripada Anda sibuk bertanya bagaimana cara membuat bayi tidur dan hal itu tidak berhasil pada bayi Anda, lebih baik fokus pada upaya agar Anda bisa selalu ikut tidur saat bayi juga tidur.
Jika bayi memang sulit tidur, Anda bisa meminta tolong pengasuh, suami, atau orangtua Anda, untuk menggantikan menggendong bayi sehingga Anda bisa beristirahat sebentar.
- Perilaku anak
Anak-anak memang "milik" orangtuanya, tetapi kita tidak bisa memilih temperamennya. Seperti halnya warna kulit, banyak sifat dan perilaku anak yang merupakan bawaan sejak lahir.
Meski si kecil tidak selalu bersikap manis, tetapi kita tetap perlu menerapkan disiplin atau koreksi halus saat ia melakukan sesuatu yang berbahaya, tidak sopan, atau merusak.
Namun, jika sudah berhadapan dengan sesuatu yang memang merupakan sifatnya, bersikap menerima adalah kuncinya. Jika Anda orang yang supel sementara si kecil pemalu, atau Anda suka olahraga sementara anak lebih suka menari, yang bisa Anda lakukan adalah menerima apa adanya si anak.
- Menu makanan
Anda merasa kagum sekaligus iri karena teman Anda bisa membuat rumahnya selalu rapi dan juga rajin membuat makanan untuk bayi dengan resep yang selalu berganti.
Membandingkan diri sendiri dengan "ibu super" hanya akan membuat Anda merasa rendah diri, bahkan merasa gagal. Bersikaplah realistis dan luangkan waktu untuk fokus pada pola asuh Anda sendiri. Cari apa yang paling Anda banggakan.
Ini bukan berarti Anda tidak boleh bersaing, tetapi daripada membuat diri merasa frustasi, lebih baik ambil pelajaran dari para ibu hebat itu. Lagi pula, tanpa Anda sadari mungkin Anda juga membuat iri para ibu lain.
http://female.kompas.com
11 Februari 2014
Libatkan Teman, Bebaskan Si Kecil dari Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko dari banyak penyakit degeneratif,
tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak. Namun membuat anak
terbebas dari obesitas cenderung lebih sulit daripada orang dewasa
mengingat mereka masih dalam masa pertumbuhan. Baru-baru ini sebuah
studi asal Kanada membuktikan, cara efektif untuk melakukannya, yaitu
dengan melibatkan teman-teman si Kecil.
Untuk memperoleh simpulan tersebut, para peneliti menganalisis pada anak-anak yang mengikuti program hidup sehat bersama anak-anak lain yang lebih tua. Dalam program yang disebut dengan Healthy Buddies program tersebut, anak-anak belajar soal makanan sehat, aktivitas fisik, dan pencitraan tubuh positif dari anak-anak yang lebih tua, bukan dari guru atau pelatih.
Hasilnya, ukuran pinggang anak-anak tadi mengalami penurunan serta ada perbaikan pada rasa percaya diri mereka. Maka, para peneliti pun berpendapat program tersebut berpotensi untuk mengurangi laju obesitas anak.
Penulis studi Jonathan McGavock dari University of Manitoba mengatakan, sebelumnya program serupa pernah dilakukan di University of British Columbia dan berhasil. Sejauh ini, program Healthy Buddies yang berlangsung selama 21 minggu ini pun cukup menjanjikan.
Pada 2009, para peneliti melibatkan 647 anak dari 19 sekolah dasar di Manitoba. Anak-anak dari 10 sekolah dipilih secara acak untuk mengikuti program Healthy Buddies, sementara yang tidak terpilih dijadikan sebagai kelompok kontrol.
Di awal studi, para peneliti mengukur lingkar pinggang dan indeks massa tubuh peserta. Selain itu, peneliti juga melakukan penghitungan pada aktivitas fisik, tingkat kesehatan, percaya diri, serta pengetahuan hidup sehat, dan kebiasaan makan mereka. Pada saat itu, diketahui 36 peserta mengalami obesitas.
Setelah program berakhir, peneliti menemukan bahwa peserta mengalami penurunan ukuran pinggang hingga rata-ratanya mencapai 1,9 sentimeter. Sementara pada kelompok kontrol, hal ini tidak terjadi. "Lingkar pinggang merupakan parameter yang penting sebagai faktor risiko utama dari diabetes tipe 2 dan penyakit kronis," ujar McGavock.
Menurut studi yang dipublikasi dalam JAMA Pediatrics tersebut, peserta yang ikut serta dalam program juga mengalami perubahan positif pada rasa percaya dirinya. Program juga dinilai lebih efektif dari segi biaya karena tidak perlu membayar lebih mahal untuk guru ataupun pelatih.
http://health.kompas.com/
Untuk memperoleh simpulan tersebut, para peneliti menganalisis pada anak-anak yang mengikuti program hidup sehat bersama anak-anak lain yang lebih tua. Dalam program yang disebut dengan Healthy Buddies program tersebut, anak-anak belajar soal makanan sehat, aktivitas fisik, dan pencitraan tubuh positif dari anak-anak yang lebih tua, bukan dari guru atau pelatih.
Hasilnya, ukuran pinggang anak-anak tadi mengalami penurunan serta ada perbaikan pada rasa percaya diri mereka. Maka, para peneliti pun berpendapat program tersebut berpotensi untuk mengurangi laju obesitas anak.
Penulis studi Jonathan McGavock dari University of Manitoba mengatakan, sebelumnya program serupa pernah dilakukan di University of British Columbia dan berhasil. Sejauh ini, program Healthy Buddies yang berlangsung selama 21 minggu ini pun cukup menjanjikan.
Pada 2009, para peneliti melibatkan 647 anak dari 19 sekolah dasar di Manitoba. Anak-anak dari 10 sekolah dipilih secara acak untuk mengikuti program Healthy Buddies, sementara yang tidak terpilih dijadikan sebagai kelompok kontrol.
Di awal studi, para peneliti mengukur lingkar pinggang dan indeks massa tubuh peserta. Selain itu, peneliti juga melakukan penghitungan pada aktivitas fisik, tingkat kesehatan, percaya diri, serta pengetahuan hidup sehat, dan kebiasaan makan mereka. Pada saat itu, diketahui 36 peserta mengalami obesitas.
Setelah program berakhir, peneliti menemukan bahwa peserta mengalami penurunan ukuran pinggang hingga rata-ratanya mencapai 1,9 sentimeter. Sementara pada kelompok kontrol, hal ini tidak terjadi. "Lingkar pinggang merupakan parameter yang penting sebagai faktor risiko utama dari diabetes tipe 2 dan penyakit kronis," ujar McGavock.
Menurut studi yang dipublikasi dalam JAMA Pediatrics tersebut, peserta yang ikut serta dalam program juga mengalami perubahan positif pada rasa percaya dirinya. Program juga dinilai lebih efektif dari segi biaya karena tidak perlu membayar lebih mahal untuk guru ataupun pelatih.
http://health.kompas.com/
3 Februari 2014
Hindari Janji-janji Manis Ini pada Anak
Janji itu harus ditepati, tak terkecuali pada anak. Sebagai orangtua,
terkadang Anda membuat janji kepada anak hanya untuk membuat mereka
tidak rewel. Parahnya, janji orangtua ke anak ini seringkali tidak bisa
Anda lakukan sendiri.
Penulis dan pendidik anak usia dini, Sylvia Rouss mengungkapkan, "Orangtua menggunakan janji-janji untuk berbagai alasan, misalnya menyuap anak agar melakukan apa yang mereka inginkan. Untuk menghindari kemungkinan konfrontasi dengan anak, menghindarkan anak-anak dari kekecewaan, dan menimbulkan harapan bagi anaknya," paparnya.
Sayangnya, setiap kali Anda membuat dan melanggar janji sendiri kepada anak, maka kepercayaan anak juga akan rusak. Berikut beberapa janji manis yang tidak seharusnya dijanjikan orangtua pada anaknya.
1. "Ini tidak akan sakit, Ibu janji"
Kekuatan menahan rasa sakit itu berbeda-beda setiap orang. Mungkin itu tak sakit untuk Anda, tapi belum tentu buat anak. Meski maksud dari kata-kata ini untuk membuat anak jadi tak takut dan yakin bahwa ini memang tidak menyakitkan, tapi kenyataannya berbeda, anak pasti tidak percaya lagi pada Anda.
Misalnya, saat Anda akan memberi obat di luka anak. Mereka akan takut karena rasanya akan perih. Alih-alih mengatakan bahwa proses ini tak sakit, Rouss menyarankan untuk mengungkapkan kata-kata seperti, "Ini mungkin akan sedikit menyakitkan, tapi cuma sebentar kok."
2. "Ibu/Ayah janji akan sampai di rumah sebelum kamu tidur"
Terkadang tumpukan pekerjaan tak bisa diatasi dengan cepat, akibatnya Anda harus lembur. Padahal anak sedang menunggu kehadiran Anda di rumah. Tak tega mengecewakannya, Anda pun membuat janji bahwa Anda akan sampai rumah sebelum dia pergi tidur. Nyatanya semua hanya tinggal janji. Sampai di rumah, anak sudah tidur dan mungkin saja sampai menangis.
"Jika Anda tak sengaja melanggar janji ke anak, maka berusahalah untuk simpati pada mereka, dan katakan "Ibu/ayah tahu kamu kecewa, maafkan ibu/ayah yah," saran Psikolog Klinis sekaligus penulis enam buku parenting, Anthony E. Wolf.
3. "Mainnya tidak sekarang ya, janji deh kapan-kapan main"
Percayalah, sekalipun masih kecil mereka pasti bisa mengingat semua, apalagi kalau urusan mainan. Kalau tidak ditepati mereka pasti menagihnya. Daripada memberi janji kapan-kapan, jujur saja pada mereka tentang alasan mengapa tak bisa main sekarang ini. Anda juga bisa membuat janji lagi dengan ibu dari teman-temannya agar anak bisa bermain bersama lagi.
"Jangan memberinya waktu kapan-kapan dan jangan juga memberinya kesan bahwa 'tidak semua hal yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan'. Ini hanya akan membuat anak Anda lebih marah," papar Wolf.
4."Kalau kamu bereskan mainan, ibu janji belikan es krim"
Melanggar janji ini tak cuma akan membuat anak jadi tak percaya Anda, tapi juga mengajarkannya untuk selalu mendapat imbalan setelah melakukan sesuatu. Hal seperti ini tidak akan membuat mereka punya motivasi pribadi untuk melakukan hal positif.
Sebenarnya Anda bisa mengatakan,"Kamu harus membereskan mainan itu, kalau tidak kamu atau orang lain bisa tersandung dan jatuh." Dengan ini, anak akan tahu pentingnya membereskan mainannya.
5. "Ibu janji kita akan pergi ke Disneyland (atau hal besar lainnya) saat ulang tahunmu tahun depan"
Terkadang anak ingin kado yang besar saat ulangtahunnya. Namun, tentu tidak setiap saat Anda bisa memenuhi keinginannya. Namun jangan berjanji sesuatu yang besar sebagai kado jika Anda belum tentu bisa menepatinya. Buatlah janji memberi kado yang lebih realistis.
http://female.kompas.com
Penulis dan pendidik anak usia dini, Sylvia Rouss mengungkapkan, "Orangtua menggunakan janji-janji untuk berbagai alasan, misalnya menyuap anak agar melakukan apa yang mereka inginkan. Untuk menghindari kemungkinan konfrontasi dengan anak, menghindarkan anak-anak dari kekecewaan, dan menimbulkan harapan bagi anaknya," paparnya.
Sayangnya, setiap kali Anda membuat dan melanggar janji sendiri kepada anak, maka kepercayaan anak juga akan rusak. Berikut beberapa janji manis yang tidak seharusnya dijanjikan orangtua pada anaknya.
1. "Ini tidak akan sakit, Ibu janji"
Kekuatan menahan rasa sakit itu berbeda-beda setiap orang. Mungkin itu tak sakit untuk Anda, tapi belum tentu buat anak. Meski maksud dari kata-kata ini untuk membuat anak jadi tak takut dan yakin bahwa ini memang tidak menyakitkan, tapi kenyataannya berbeda, anak pasti tidak percaya lagi pada Anda.
Misalnya, saat Anda akan memberi obat di luka anak. Mereka akan takut karena rasanya akan perih. Alih-alih mengatakan bahwa proses ini tak sakit, Rouss menyarankan untuk mengungkapkan kata-kata seperti, "Ini mungkin akan sedikit menyakitkan, tapi cuma sebentar kok."
2. "Ibu/Ayah janji akan sampai di rumah sebelum kamu tidur"
Terkadang tumpukan pekerjaan tak bisa diatasi dengan cepat, akibatnya Anda harus lembur. Padahal anak sedang menunggu kehadiran Anda di rumah. Tak tega mengecewakannya, Anda pun membuat janji bahwa Anda akan sampai rumah sebelum dia pergi tidur. Nyatanya semua hanya tinggal janji. Sampai di rumah, anak sudah tidur dan mungkin saja sampai menangis.
"Jika Anda tak sengaja melanggar janji ke anak, maka berusahalah untuk simpati pada mereka, dan katakan "Ibu/ayah tahu kamu kecewa, maafkan ibu/ayah yah," saran Psikolog Klinis sekaligus penulis enam buku parenting, Anthony E. Wolf.
3. "Mainnya tidak sekarang ya, janji deh kapan-kapan main"
Percayalah, sekalipun masih kecil mereka pasti bisa mengingat semua, apalagi kalau urusan mainan. Kalau tidak ditepati mereka pasti menagihnya. Daripada memberi janji kapan-kapan, jujur saja pada mereka tentang alasan mengapa tak bisa main sekarang ini. Anda juga bisa membuat janji lagi dengan ibu dari teman-temannya agar anak bisa bermain bersama lagi.
"Jangan memberinya waktu kapan-kapan dan jangan juga memberinya kesan bahwa 'tidak semua hal yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan'. Ini hanya akan membuat anak Anda lebih marah," papar Wolf.
4."Kalau kamu bereskan mainan, ibu janji belikan es krim"
Melanggar janji ini tak cuma akan membuat anak jadi tak percaya Anda, tapi juga mengajarkannya untuk selalu mendapat imbalan setelah melakukan sesuatu. Hal seperti ini tidak akan membuat mereka punya motivasi pribadi untuk melakukan hal positif.
Sebenarnya Anda bisa mengatakan,"Kamu harus membereskan mainan itu, kalau tidak kamu atau orang lain bisa tersandung dan jatuh." Dengan ini, anak akan tahu pentingnya membereskan mainannya.
5. "Ibu janji kita akan pergi ke Disneyland (atau hal besar lainnya) saat ulang tahunmu tahun depan"
Terkadang anak ingin kado yang besar saat ulangtahunnya. Namun, tentu tidak setiap saat Anda bisa memenuhi keinginannya. Namun jangan berjanji sesuatu yang besar sebagai kado jika Anda belum tentu bisa menepatinya. Buatlah janji memberi kado yang lebih realistis.
http://female.kompas.com
24 Januari 2014
Kiat Menjadi Ibu yang Sempurna
Menjadi orangtua adalah pekerjaan yang paling
penting dan berharga di dunia ini, kehidupan anak Anda tergantung pada
didikan Anda. Karenanya, banyak orangtua terutama Ibu yang berusaha
untuk menjadi orangtua sempurna bagi anaknya.
Menurut penelitian di India mengatakan bahwa
kehidupan dan pribadi setiap anak itu unik dan tidak ada buku khusus
yang mampu menguraikan jawaban yang tepat untuk setiap pertanyaan dari
anak selain Anda sendiri sebagai orangtuanya.
Andalah yang berkomunikasi dengan anak sehari-hari,
kecuali jika Anda menitipkannya kepada pengasuh maka Anda tidak akan
bisa beradaptasi dan mengerti kebutuhan anak sebenarnya.
Pastikan untuk mengikuti naluri Anda sebagai ibu,
karena Anda harus menjadi orang yang paling mengenal anak Anda daripada
orang lain. Jika Anda tidak mengasuhnya sendiri, maka jangan harap Anda
dapat mengetahui perkembangan sang buah hati secara langsung dengan
baik.
Menjadi ibu yang sempurna memang mengharuskan Anda
berkorban dan merelakan semua kepentingan pribadi Anda guna melihat
tumbuh kembang si kecil. Karena lewat pengasuhan dari Anda sendiri, bisa
memperkaya kehidupan buah hati dan lebih mengetahui apa yang
dibutuhkannya sesuai perkembangan si anak.
Dari situ juga, Anda dapat belajar dan mengetahui
kesalahan dan kebaikan yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mendidik
anak mereka menjadi pribadi yang baik.
Sikapi pola asuh ini seperti sebuah pekerjaan,
menjadi orangtua bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, melainkan
kewajiban harus Anda lakukan setiap hari dan harus memberikan yang
terbaik agar mendapatkan hasil yang terbaik lewat pertumbuhan anak Anda
kelak.
http://female.kompas.com
8 Januari 2014
Sediakan Waktu 10 Menit demi Kecerdasan Anak
Salah satu fase paling membahagiakan bagi orangtua ialah ketika
sang buah hati mulai masuk sekolah. Pada fase ini, orangtua harus
menyikapinya dengan hati-hati.
Meskipun baru pada tahapan pertama sekolah, bukan berarti ia tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Justru sebaliknya, di sinilah tugas Anda untuk mendampingi anak agar tidak berat menjalaninya.
Amy Murray, Kepala Sekolah Early Childhood Education, mengatakan, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pada tahun sekolah dasar, satu-satunya pekerjaan rumah yang membawa manfaat bagi anak-anak adalah membaca secara rutin di rumah.
"Anak-anak bekerja keras sepanjang hari di sekolah. Nah, saat di rumah, mereka harus memiliki waktu untuk bersantai dan berkomunikasi kembali dengan keluarga mereka. Tumpukan pekerjaan rumah atau tugas sekolah pada awal tahun ajaran hanya akan membunuh rasa cinta anak terhadap belajar dan antusiasme terhadap sekolah," lanjutnya.
Bahkan, penelitian yang pernah dipublikasikan dalam New York Times mengungkapkan, waktu yang dianjurkan untuk mengerjakan tugas sekolah bagi anak pada tahun pertama sekolah hanya 10 menit.
"Aturan 10 menit untuk belajar di rumah sangat efektif dan menunjukkan hubungan antara berapa banyak mereka mengerjakan tugas sekolah serta bagaimana mereka akan merasakannya," ujar Dr Harris Cooper dari Duke University pada penelitiannya itu.
Menurut sebuah penelitian di Inggris, rata-rata anak "menguras otak" atau berpikir selama 54 jam setiap minggunya. Rata-rata anak menghabiskan waktunya sebanyak 32 jam setengah di sekolah, tujuh jam setengah untuk mengerjakan tugas sekolah, dua jam setengah untuk kegiatan ekstrakulikuler atau les, dan 12 jam untuk membaca buku atau belajar bersama orangtua mereka.
Agar anak Anda tidak merasa tertekan dalam melakukan tugas sekolahnya, Anda dapat melatihnya dengan cara yang lebih santai dan menarik. Berikut caranya.
Pilih buku bacaan dengan karakter idola mereka
Coba ajak anak untuk membaca buku yang memiliki karakter idola mereka. Dipastikan, keinginan untuk belajar akan terangsang dan ia tidak cepat bosan. Setelah ia tampak menguasai buku tersebut, coba minta dirinya untuk mengulang kembali cerita yang ada di dalam buku tersebut.
Alihkan ke buku komik
Menggunakan buku komik dapat menjadi salah satu senjata untuk anak agar tertarik untuk membaca.
"Doronglah minat baca anak dengan memberikan buku-buku pengetahuan yang menyajikan gambar menarik bagi anak. Kini, telah banyak penerbit menerapkan metode ini, yaitu menawarkan buku pendidikan anak, tetapi dikemas seperti komik. Dengan begitu, proses pembelajaran akan terasa lebih menarik, dibandingkan menggunakan buku sastra lainnya," kata ahli literatur anak-anak, Carol Tilley, profesor di University of Illinois.
Gunakan aplikasi di "smartphone" Anda
Balita zaman sekarang adalah generasi mawas teknologi. Melihat fenomena ini, orangtua harus waspada sebab bisa jadi anak menjadi tidak fokus pada pendidikan karena asyik bermain gadget. Maka dari itu, Anda harus pintar pilih aplikasi yang sesuai usia dan kebutuhan anak Anda. Sekarang sudah banyak smartphone yang menyediakan aplikasi yang mendukung perkembangan kecerdasan anak.
http://female.kompas.com
Meskipun baru pada tahapan pertama sekolah, bukan berarti ia tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Justru sebaliknya, di sinilah tugas Anda untuk mendampingi anak agar tidak berat menjalaninya.
Amy Murray, Kepala Sekolah Early Childhood Education, mengatakan, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pada tahun sekolah dasar, satu-satunya pekerjaan rumah yang membawa manfaat bagi anak-anak adalah membaca secara rutin di rumah.
"Anak-anak bekerja keras sepanjang hari di sekolah. Nah, saat di rumah, mereka harus memiliki waktu untuk bersantai dan berkomunikasi kembali dengan keluarga mereka. Tumpukan pekerjaan rumah atau tugas sekolah pada awal tahun ajaran hanya akan membunuh rasa cinta anak terhadap belajar dan antusiasme terhadap sekolah," lanjutnya.
Bahkan, penelitian yang pernah dipublikasikan dalam New York Times mengungkapkan, waktu yang dianjurkan untuk mengerjakan tugas sekolah bagi anak pada tahun pertama sekolah hanya 10 menit.
"Aturan 10 menit untuk belajar di rumah sangat efektif dan menunjukkan hubungan antara berapa banyak mereka mengerjakan tugas sekolah serta bagaimana mereka akan merasakannya," ujar Dr Harris Cooper dari Duke University pada penelitiannya itu.
Menurut sebuah penelitian di Inggris, rata-rata anak "menguras otak" atau berpikir selama 54 jam setiap minggunya. Rata-rata anak menghabiskan waktunya sebanyak 32 jam setengah di sekolah, tujuh jam setengah untuk mengerjakan tugas sekolah, dua jam setengah untuk kegiatan ekstrakulikuler atau les, dan 12 jam untuk membaca buku atau belajar bersama orangtua mereka.
Agar anak Anda tidak merasa tertekan dalam melakukan tugas sekolahnya, Anda dapat melatihnya dengan cara yang lebih santai dan menarik. Berikut caranya.
Pilih buku bacaan dengan karakter idola mereka
Coba ajak anak untuk membaca buku yang memiliki karakter idola mereka. Dipastikan, keinginan untuk belajar akan terangsang dan ia tidak cepat bosan. Setelah ia tampak menguasai buku tersebut, coba minta dirinya untuk mengulang kembali cerita yang ada di dalam buku tersebut.
Alihkan ke buku komik
Menggunakan buku komik dapat menjadi salah satu senjata untuk anak agar tertarik untuk membaca.
"Doronglah minat baca anak dengan memberikan buku-buku pengetahuan yang menyajikan gambar menarik bagi anak. Kini, telah banyak penerbit menerapkan metode ini, yaitu menawarkan buku pendidikan anak, tetapi dikemas seperti komik. Dengan begitu, proses pembelajaran akan terasa lebih menarik, dibandingkan menggunakan buku sastra lainnya," kata ahli literatur anak-anak, Carol Tilley, profesor di University of Illinois.
Gunakan aplikasi di "smartphone" Anda
Balita zaman sekarang adalah generasi mawas teknologi. Melihat fenomena ini, orangtua harus waspada sebab bisa jadi anak menjadi tidak fokus pada pendidikan karena asyik bermain gadget. Maka dari itu, Anda harus pintar pilih aplikasi yang sesuai usia dan kebutuhan anak Anda. Sekarang sudah banyak smartphone yang menyediakan aplikasi yang mendukung perkembangan kecerdasan anak.
http://female.kompas.com
5 Januari 2014
Kurangi Memakai Gadget Saat Makan Bersama
Orang tua yang membiarkan anak remajanya memakai peralatan elektronik
atau menonton televisi selama waktu makan bersama keluarga cenderung
mengkonsumsi nutrisi makan lebih sedikit. Bahkan, punya komunikasi buruk
dengan keluarga.
Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru. Dulu para ahli menyarankan agar mematikan televisi selama waktu makan keluarga berlangsung. Namun, dengan perkembangan telepon seluler dan peralatan elektronik lain dalam genggaman, anak-anak masa kini membawa semua gadget itu ke meja makan.
Temuan-temuan dari hasil riset terbaru menunjukkan bahwa menggunakan media (elektronik) saat waktu makan sangat umum di antara keluarga-keluarga yang punya remaja. Namun, "Aturan penggunaan media bisa menurunkan penggunaan media di kalangan remaja dan mempunyai efek positif lainnya," ujar penulis hasil riset Jayne A Fulkerson seperti dikutip Reuters edisi 2 Januari 2014.
Fulkerson adalah direktur dari Center for Child and Family Health Promotion Research di University of Minnesota School of Nursing di Minneapolis. "Orang tua bisa menghentikan penggunaan media selama makan bersama sehingga punya waktu yang lebih berkualitas dengan anak-anak mereka," ujar dia.
Fulkerson dan rekan-rekannya mewawancarai lebih dari 1.800 orang tua mengenai seberapa sering mereka mengizinkan anak-anak remaja mereka untuk menonton televisi, berbicara di telepon, mengirimkan SMS, bermain games atau mendengarkan musik dengan headphones selama waktu makan bersama keluarga.
Penelitian menanyakan para orang tua apakah mereka membuat aturan dalam penggunaaan media elektronik. Penelitian juga menyoal apakah mereka merasa waktu makan bersama keluarga adalah hal yang penting. Anak-anak menjawab pertanyaan mengenai seberapa bagus komunikasi keluarga mereka, termasuk berapa sering mereka berbicara mengenai masalah mereka dengan orang tua.
Hasilnya, dua pertiga orang tua melaporkan bahwa anak-anak remaja mereka menonton televisi atau film selama waktu makan bersama keluarga. Sementara seperempatnya mengatakan bahwa menonton televisi merupakan hal yang rutin dilakukan.
Namun, berkirim SMS, berbicara di telepon, mendengarkan musik dengan headphones dan menggunakan games di tangan lebih jarang dilakukan saat makan bersama. Sebanyak 18-28 persen orang tua melaporkan aktivitas tersebut terjadi saat waktu makan, demikian diungkapkan Journal of Academy of Nutrition and Dietetics.
Hampir tiga perempat dari orang tua mengatakan bahwa mereka mengatur waktu penggunaan media saat makan bersama. Hasil riset itu juga mengungkapkan bahwa anak perempuan lebih cenderung menggunakan media elektronik ketimbang anak lelaki. Selain itu, penggunaan gadget meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada keluarga yang kurang berpendidikan, penggunaan media elektronik juga lebih tinggi. Selain itu, waktu makan bersama dengan penggunaan media elektronik lebih sedikit pada keluarga yang orang tuanya memberikan beberapa aturan. Sebaliknya, penggunaan media elektronik lebih banyak pada keluarga yang tidak terlalu banyak berkomunikasi.
Riset ini juga menunjukkan bahwa orang tua yang melaporkan penggunaan media elektronik lebih sering dilakukan saat makan bersama ternyata lebih jarang menyajikan salad hijau, buah-buahan, sayuran, 100 persen jus dan susu selama waktu makan. Mereka lebih sering menyajikan minuman berpemanis. Namun, para ilmuwan tidak bertanya apakah para orang tua juga menggunakan media elektronik saat waktu makan bersama.
http://www.tempo.co
Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru. Dulu para ahli menyarankan agar mematikan televisi selama waktu makan keluarga berlangsung. Namun, dengan perkembangan telepon seluler dan peralatan elektronik lain dalam genggaman, anak-anak masa kini membawa semua gadget itu ke meja makan.
Temuan-temuan dari hasil riset terbaru menunjukkan bahwa menggunakan media (elektronik) saat waktu makan sangat umum di antara keluarga-keluarga yang punya remaja. Namun, "Aturan penggunaan media bisa menurunkan penggunaan media di kalangan remaja dan mempunyai efek positif lainnya," ujar penulis hasil riset Jayne A Fulkerson seperti dikutip Reuters edisi 2 Januari 2014.
Fulkerson adalah direktur dari Center for Child and Family Health Promotion Research di University of Minnesota School of Nursing di Minneapolis. "Orang tua bisa menghentikan penggunaan media selama makan bersama sehingga punya waktu yang lebih berkualitas dengan anak-anak mereka," ujar dia.
Fulkerson dan rekan-rekannya mewawancarai lebih dari 1.800 orang tua mengenai seberapa sering mereka mengizinkan anak-anak remaja mereka untuk menonton televisi, berbicara di telepon, mengirimkan SMS, bermain games atau mendengarkan musik dengan headphones selama waktu makan bersama keluarga.
Penelitian menanyakan para orang tua apakah mereka membuat aturan dalam penggunaaan media elektronik. Penelitian juga menyoal apakah mereka merasa waktu makan bersama keluarga adalah hal yang penting. Anak-anak menjawab pertanyaan mengenai seberapa bagus komunikasi keluarga mereka, termasuk berapa sering mereka berbicara mengenai masalah mereka dengan orang tua.
Hasilnya, dua pertiga orang tua melaporkan bahwa anak-anak remaja mereka menonton televisi atau film selama waktu makan bersama keluarga. Sementara seperempatnya mengatakan bahwa menonton televisi merupakan hal yang rutin dilakukan.
Namun, berkirim SMS, berbicara di telepon, mendengarkan musik dengan headphones dan menggunakan games di tangan lebih jarang dilakukan saat makan bersama. Sebanyak 18-28 persen orang tua melaporkan aktivitas tersebut terjadi saat waktu makan, demikian diungkapkan Journal of Academy of Nutrition and Dietetics.
Hampir tiga perempat dari orang tua mengatakan bahwa mereka mengatur waktu penggunaan media saat makan bersama. Hasil riset itu juga mengungkapkan bahwa anak perempuan lebih cenderung menggunakan media elektronik ketimbang anak lelaki. Selain itu, penggunaan gadget meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada keluarga yang kurang berpendidikan, penggunaan media elektronik juga lebih tinggi. Selain itu, waktu makan bersama dengan penggunaan media elektronik lebih sedikit pada keluarga yang orang tuanya memberikan beberapa aturan. Sebaliknya, penggunaan media elektronik lebih banyak pada keluarga yang tidak terlalu banyak berkomunikasi.
Riset ini juga menunjukkan bahwa orang tua yang melaporkan penggunaan media elektronik lebih sering dilakukan saat makan bersama ternyata lebih jarang menyajikan salad hijau, buah-buahan, sayuran, 100 persen jus dan susu selama waktu makan. Mereka lebih sering menyajikan minuman berpemanis. Namun, para ilmuwan tidak bertanya apakah para orang tua juga menggunakan media elektronik saat waktu makan bersama.
http://www.tempo.co
Penyebab Balita Suka Menggigit Saat Marah dan Cara Mengatasinya
Apakah balita Anda mulai menunjukkan emosinya dengan cara menggigit saat
marah? Jika iya, Anda pun bertanya-tanya, kenapa si kecil menggigit
ketika marah padahal Anda tidak pernah mengajari hal tersebut.
Menurut therapist anak Jennifer Kolari, bagi orangtua kebiasaan menggigit itu tentu menakutkan. Namun sebenarnya, kebiasaan itu relatif normal. "Bukan berarti anak akan tumbuh menjadi orang yang punya masalah pada tingkah lakunya," ujar Kolari yang juga pembuat situs Connected Parenting itu.
Anak-anak yang beranjak dua tahun, biasanya memang akan mulai menggigit jika mereka merasa emosi. Balita menggigit saat frustasi dan tidak tahu bagaimana caranya menenangkan diri mereka sendiri. "Mereka akan menggigit siapapun yang ada didekatnya, entah itu temannya atau orangtuanya," jelas Psikolog Anak Carolyn Humphery.
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk menangani anak yang suka menggigit? Cara terbaik adalah dengan menjauhkannya dari orang yang ia gigit.
"Ketika anak menggigit, angkat atau gendong dia. Dengan tenang, katakan padanya, "Jangan lakukan itu". Lalu dudukkan anak dan biarkan dia sendiri selama 1-2 menit," tutur Kolari.
Dengan cara itu, anak akan paham setiap dia menggigit, dia akan dijauhkan dari sesuatu yang sebenarnya dia sukai. Sebaiknya, jangan pernah menggigit balik anak hanya karena ingin memberitahukan padanya bagaimana rasanya digigit.
"Cara itu malah tidak memberinya pelajaran apapun dan dia akan berpikir menggigit itu boleh," tambah Humphrey.
Untuk mencegah agar anak tidak menggigit, jika Anda melihat dia mulai akan melakukannya, cobalah menghentikannya. Ajarkan pada anak, untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat marah.
Langkah lainnya adalah dengan mengobrol padanya topik soal 'menggigit' ini. Misalnya saja dengan mengatakan, "Kita harus mengusir nyamuk nakal ini nih, karena dia suka menggigit". Obrolan tersebut membantu anak mengatasi kebiasaan buruknya itu tanpa merasa dipermalukan.
Ajari juga anak untuk minta maaf pada orang yang telah digigitnya. Jangan lupa juga untuk memberinya penghargaan atau memujinya jika anak sudah menghentikan kebiasaannya menggigit.
http://wolipop.detik.com
Menurut therapist anak Jennifer Kolari, bagi orangtua kebiasaan menggigit itu tentu menakutkan. Namun sebenarnya, kebiasaan itu relatif normal. "Bukan berarti anak akan tumbuh menjadi orang yang punya masalah pada tingkah lakunya," ujar Kolari yang juga pembuat situs Connected Parenting itu.
Anak-anak yang beranjak dua tahun, biasanya memang akan mulai menggigit jika mereka merasa emosi. Balita menggigit saat frustasi dan tidak tahu bagaimana caranya menenangkan diri mereka sendiri. "Mereka akan menggigit siapapun yang ada didekatnya, entah itu temannya atau orangtuanya," jelas Psikolog Anak Carolyn Humphery.
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk menangani anak yang suka menggigit? Cara terbaik adalah dengan menjauhkannya dari orang yang ia gigit.
"Ketika anak menggigit, angkat atau gendong dia. Dengan tenang, katakan padanya, "Jangan lakukan itu". Lalu dudukkan anak dan biarkan dia sendiri selama 1-2 menit," tutur Kolari.
Dengan cara itu, anak akan paham setiap dia menggigit, dia akan dijauhkan dari sesuatu yang sebenarnya dia sukai. Sebaiknya, jangan pernah menggigit balik anak hanya karena ingin memberitahukan padanya bagaimana rasanya digigit.
"Cara itu malah tidak memberinya pelajaran apapun dan dia akan berpikir menggigit itu boleh," tambah Humphrey.
Untuk mencegah agar anak tidak menggigit, jika Anda melihat dia mulai akan melakukannya, cobalah menghentikannya. Ajarkan pada anak, untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat marah.
Langkah lainnya adalah dengan mengobrol padanya topik soal 'menggigit' ini. Misalnya saja dengan mengatakan, "Kita harus mengusir nyamuk nakal ini nih, karena dia suka menggigit". Obrolan tersebut membantu anak mengatasi kebiasaan buruknya itu tanpa merasa dipermalukan.
Ajari juga anak untuk minta maaf pada orang yang telah digigitnya. Jangan lupa juga untuk memberinya penghargaan atau memujinya jika anak sudah menghentikan kebiasaannya menggigit.
http://wolipop.detik.com
Langganan:
Postingan (Atom)