Setiap pasangan tentu berharap pernikahan mereka langgeng dan bahagia.
Karena percuma bertahan lama tetapi sudah tidak ada lagi rasa cinta.
Nah, ternyata rahasia mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahan adalah
produksi hormon.
Sebuah penelitian menunjukkan, hormon oksitosin
berperan besar dalam hal menguatkan perasaan suami istri. Hormon
tersebut diproduksi di otak dan memiliki banyak fungsi, antara lain
dibutuhkan saat persalinan dan menyusui bayi. Namun hormon ini juga
dilepaskan tubuh saat seorang wanita mencapai orgasme.
Hormon
oksitosin juga sering disebut sebagai "hormon bermanja-manja". Ketika
tubuh dibanjiri hormon ini, terutama saat kita sedang jatuh cinta, yang
kita inginkan adalah berpelukan dan bermanja dengan pasangan.
Menurut
studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari Bonn University Medical Centre,
Jerman, hormon oksitosin juga berpengaruh dalam hubungan perkawinan yang
langgeng.
Studi tersebut dilakukan terhadap 40 pria
heteroseksual yang memiliki hubungan cukup awet. Setiap orang diberikan
sejumlah dosis oksitosin di hidung kemudian diperlihatkan dua foto,
pertama adalah foto istri mereka dan foto lain yang merupakan wanita
yang belum pernah dikenal.
Sambil melihat foto tersebut, otak
mereka dipindai untuk mengetahui apa yang terjadi di otak. Hasilnya,
area otak yang berkaitan dengan perasaan ganjaran (reward) lebih aktif
saat mereka diberikan semprotan hormon.
Area otak yang berkaitan dengan reward
yang aktif tersebut bisa membuat kita merasa bahagia dan rasanya sangat
melenakan. Tak heran jika pasangan yang area otak ini terus aktif akan
merasa bahagia dalam pernikahannya.
"Saat mereka mendapat
oksitosin, mereka akan melihat pasangan mereka lebih menarik dibanding
wanita lain," kata Dr.Dirk Scheele, peneliti.
Pada percobaan
kedua, para pria diberi semprotan hormon lagi tetapi foto yang
ditunjukkan adalah wanita yang mereka kenal atau teman kerja. Tujuan
dari percobaan ini untuk mengetahui apakah oksitosin juga mengaktifkan
otak.
Ternyata, efek oksitosin hanya ditemui jika para pria
tersebut melihat foto orang yang mereka cintai. "Ternyata hanya mengenal
wanita yang difoto tersebut tidak cukup untuk menghasilkan efek
bonding. Mereka harus merasa mencintai," kata Scheele.
Hal ini
juga bisa menjelaskan mengapa seseorang bisa merasa depresi atau rasa
sedih berkepanjangan jika terpisah dari pasangannya. Kekurangan
oksitosin akan membuat bagian otak yang mengatur ganjaran menjadi kurang
terstimulasi.
Namun, tentu saja oksitosin hanyalah satu faktor
dalam kebahagiaan pernikahan. Yang tak kalah penting adalah terus
belajar memahami pasangan sehingga ikatan perkawinan semakin kuat.
http://female.kompas.com
22 Januari 2014
8 Januari 2014
Sediakan Waktu 10 Menit demi Kecerdasan Anak
Salah satu fase paling membahagiakan bagi orangtua ialah ketika
sang buah hati mulai masuk sekolah. Pada fase ini, orangtua harus
menyikapinya dengan hati-hati.
Meskipun baru pada tahapan pertama sekolah, bukan berarti ia tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Justru sebaliknya, di sinilah tugas Anda untuk mendampingi anak agar tidak berat menjalaninya.
Amy Murray, Kepala Sekolah Early Childhood Education, mengatakan, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pada tahun sekolah dasar, satu-satunya pekerjaan rumah yang membawa manfaat bagi anak-anak adalah membaca secara rutin di rumah.
"Anak-anak bekerja keras sepanjang hari di sekolah. Nah, saat di rumah, mereka harus memiliki waktu untuk bersantai dan berkomunikasi kembali dengan keluarga mereka. Tumpukan pekerjaan rumah atau tugas sekolah pada awal tahun ajaran hanya akan membunuh rasa cinta anak terhadap belajar dan antusiasme terhadap sekolah," lanjutnya.
Bahkan, penelitian yang pernah dipublikasikan dalam New York Times mengungkapkan, waktu yang dianjurkan untuk mengerjakan tugas sekolah bagi anak pada tahun pertama sekolah hanya 10 menit.
"Aturan 10 menit untuk belajar di rumah sangat efektif dan menunjukkan hubungan antara berapa banyak mereka mengerjakan tugas sekolah serta bagaimana mereka akan merasakannya," ujar Dr Harris Cooper dari Duke University pada penelitiannya itu.
Menurut sebuah penelitian di Inggris, rata-rata anak "menguras otak" atau berpikir selama 54 jam setiap minggunya. Rata-rata anak menghabiskan waktunya sebanyak 32 jam setengah di sekolah, tujuh jam setengah untuk mengerjakan tugas sekolah, dua jam setengah untuk kegiatan ekstrakulikuler atau les, dan 12 jam untuk membaca buku atau belajar bersama orangtua mereka.
Agar anak Anda tidak merasa tertekan dalam melakukan tugas sekolahnya, Anda dapat melatihnya dengan cara yang lebih santai dan menarik. Berikut caranya.
Pilih buku bacaan dengan karakter idola mereka
Coba ajak anak untuk membaca buku yang memiliki karakter idola mereka. Dipastikan, keinginan untuk belajar akan terangsang dan ia tidak cepat bosan. Setelah ia tampak menguasai buku tersebut, coba minta dirinya untuk mengulang kembali cerita yang ada di dalam buku tersebut.
Alihkan ke buku komik
Menggunakan buku komik dapat menjadi salah satu senjata untuk anak agar tertarik untuk membaca.
"Doronglah minat baca anak dengan memberikan buku-buku pengetahuan yang menyajikan gambar menarik bagi anak. Kini, telah banyak penerbit menerapkan metode ini, yaitu menawarkan buku pendidikan anak, tetapi dikemas seperti komik. Dengan begitu, proses pembelajaran akan terasa lebih menarik, dibandingkan menggunakan buku sastra lainnya," kata ahli literatur anak-anak, Carol Tilley, profesor di University of Illinois.
Gunakan aplikasi di "smartphone" Anda
Balita zaman sekarang adalah generasi mawas teknologi. Melihat fenomena ini, orangtua harus waspada sebab bisa jadi anak menjadi tidak fokus pada pendidikan karena asyik bermain gadget. Maka dari itu, Anda harus pintar pilih aplikasi yang sesuai usia dan kebutuhan anak Anda. Sekarang sudah banyak smartphone yang menyediakan aplikasi yang mendukung perkembangan kecerdasan anak.
http://female.kompas.com
Meskipun baru pada tahapan pertama sekolah, bukan berarti ia tidak dibebani dengan pekerjaan rumah. Justru sebaliknya, di sinilah tugas Anda untuk mendampingi anak agar tidak berat menjalaninya.
Amy Murray, Kepala Sekolah Early Childhood Education, mengatakan, penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa pada tahun sekolah dasar, satu-satunya pekerjaan rumah yang membawa manfaat bagi anak-anak adalah membaca secara rutin di rumah.
"Anak-anak bekerja keras sepanjang hari di sekolah. Nah, saat di rumah, mereka harus memiliki waktu untuk bersantai dan berkomunikasi kembali dengan keluarga mereka. Tumpukan pekerjaan rumah atau tugas sekolah pada awal tahun ajaran hanya akan membunuh rasa cinta anak terhadap belajar dan antusiasme terhadap sekolah," lanjutnya.
Bahkan, penelitian yang pernah dipublikasikan dalam New York Times mengungkapkan, waktu yang dianjurkan untuk mengerjakan tugas sekolah bagi anak pada tahun pertama sekolah hanya 10 menit.
"Aturan 10 menit untuk belajar di rumah sangat efektif dan menunjukkan hubungan antara berapa banyak mereka mengerjakan tugas sekolah serta bagaimana mereka akan merasakannya," ujar Dr Harris Cooper dari Duke University pada penelitiannya itu.
Menurut sebuah penelitian di Inggris, rata-rata anak "menguras otak" atau berpikir selama 54 jam setiap minggunya. Rata-rata anak menghabiskan waktunya sebanyak 32 jam setengah di sekolah, tujuh jam setengah untuk mengerjakan tugas sekolah, dua jam setengah untuk kegiatan ekstrakulikuler atau les, dan 12 jam untuk membaca buku atau belajar bersama orangtua mereka.
Agar anak Anda tidak merasa tertekan dalam melakukan tugas sekolahnya, Anda dapat melatihnya dengan cara yang lebih santai dan menarik. Berikut caranya.
Pilih buku bacaan dengan karakter idola mereka
Coba ajak anak untuk membaca buku yang memiliki karakter idola mereka. Dipastikan, keinginan untuk belajar akan terangsang dan ia tidak cepat bosan. Setelah ia tampak menguasai buku tersebut, coba minta dirinya untuk mengulang kembali cerita yang ada di dalam buku tersebut.
Alihkan ke buku komik
Menggunakan buku komik dapat menjadi salah satu senjata untuk anak agar tertarik untuk membaca.
"Doronglah minat baca anak dengan memberikan buku-buku pengetahuan yang menyajikan gambar menarik bagi anak. Kini, telah banyak penerbit menerapkan metode ini, yaitu menawarkan buku pendidikan anak, tetapi dikemas seperti komik. Dengan begitu, proses pembelajaran akan terasa lebih menarik, dibandingkan menggunakan buku sastra lainnya," kata ahli literatur anak-anak, Carol Tilley, profesor di University of Illinois.
Gunakan aplikasi di "smartphone" Anda
Balita zaman sekarang adalah generasi mawas teknologi. Melihat fenomena ini, orangtua harus waspada sebab bisa jadi anak menjadi tidak fokus pada pendidikan karena asyik bermain gadget. Maka dari itu, Anda harus pintar pilih aplikasi yang sesuai usia dan kebutuhan anak Anda. Sekarang sudah banyak smartphone yang menyediakan aplikasi yang mendukung perkembangan kecerdasan anak.
http://female.kompas.com
5 Januari 2014
Resolusi Tahun Baru
Setiap
menjelang akhir tahun, banyak orang menunggu-nunggu tahun baru. Banyak
juga yang mencoba membuat janji-janji dalam dirinya. Janji-janji untuk
memperbaiki diri, untuk memperbaharui diri.
Apa Arti Resolusi?
Agar tidak membingungkan, langsung saja kita tuliskan apa arti resolusi. Pada pergantian tahun ke tahun yang baru, sering digunakan istilah untuk perbaikan dan pembaruan diri tadi dengan resolusi. Resolusi berarti ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.
Apa Saja Resolusi yang Paling Umum?
Saya membaca di sebuah tabloid, bahwa bagi kebanyakan orang, ada beberapa hal yang biasanya menjadi ketetapan hati di tahun baru, yang paling biasa adalah:
- Menurunkan berat badan
- Berhenti merokok
- Menaati anggaran
- Menabung lebih disiplin atau menghasilkan uang lebih banyak
- Menemukan pekerjaan yang lebih baik
- Lebih tertib dan teratur
- Lebih rajin berolahraga
- Lebih sabar dengan orang lain
- Makan yang lebih baik
- Menjadi orang yang lebih baik
Lalu, apa makna tahun baru?
Saya jadi teringat akan ungkapan yang lucu tapi jitu:
"Banyak orang menanti tahun baru hanya untuk memulai kebiasaan-kebiasaan lama."
:-)
Ha....ha.... kita mungkin seperti tertusuk duri.
Lalu?
Sepertinya ungkapan dari G. K. Chesterton ini, bisa menjadi permenungan,
"Tujuan tahun baru bukan agar kita punya tahun yang baru.
Tujuan tahun baru adalah:
kita harus memiliki jiwa baru."
Apa Arti Resolusi?
Agar tidak membingungkan, langsung saja kita tuliskan apa arti resolusi. Pada pergantian tahun ke tahun yang baru, sering digunakan istilah untuk perbaikan dan pembaruan diri tadi dengan resolusi. Resolusi berarti ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.
Apa Saja Resolusi yang Paling Umum?
Saya membaca di sebuah tabloid, bahwa bagi kebanyakan orang, ada beberapa hal yang biasanya menjadi ketetapan hati di tahun baru, yang paling biasa adalah:
- Menurunkan berat badan
- Berhenti merokok
- Menaati anggaran
- Menabung lebih disiplin atau menghasilkan uang lebih banyak
- Menemukan pekerjaan yang lebih baik
- Lebih tertib dan teratur
- Lebih rajin berolahraga
- Lebih sabar dengan orang lain
- Makan yang lebih baik
- Menjadi orang yang lebih baik
Lalu, apa makna tahun baru?
Saya jadi teringat akan ungkapan yang lucu tapi jitu:
"Banyak orang menanti tahun baru hanya untuk memulai kebiasaan-kebiasaan lama."
:-)
Ha....ha.... kita mungkin seperti tertusuk duri.
Lalu?
Sepertinya ungkapan dari G. K. Chesterton ini, bisa menjadi permenungan,
"Tujuan tahun baru bukan agar kita punya tahun yang baru.
Tujuan tahun baru adalah:
kita harus memiliki jiwa baru."
http://renungan-harian-kita.blogspot.com
What If Mary Had Said No?
A devotion to help consider the Virgin Mary's willingness to follow God's request and apply that commitment to your life.
By
Tricia Goyer, Little Rock, Arkansas
Last week we put out the nativity set that is the centerpiece of my dining room. I had to pause as I was setting up beautiful Mary. It made me think,“What if she’d said no?”
But she didn’t, maybe that’s why God chose her. Mary considered herself a maidservant, and she was willing to be put to use. Surrender, trust, and a willing heart to God’s desire are wonderful traits for a mother. Out of all the homes to be raised in, God looked down and desired Jesus to be raised by her. And we can see the same traits lived about by her son.
It also makes me think about what I’m modeling for my children. God chose a young girl with the mind of a maidservant to raise His only begotten Son. What big task could He have for me if I’m openhearted and willing?
Faith step: If you have a nativity set consider keeping it out all year and not just at Christmas. While we do want to focus on Jesus in the manger also think about some of the other people at the manger. What lessons can you learn from them?
http://www.guideposts.org/faith/daily-devotions/devotions-for-women/
Kurangi Memakai Gadget Saat Makan Bersama
Orang tua yang membiarkan anak remajanya memakai peralatan elektronik
atau menonton televisi selama waktu makan bersama keluarga cenderung
mengkonsumsi nutrisi makan lebih sedikit. Bahkan, punya komunikasi buruk
dengan keluarga.
Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru. Dulu para ahli menyarankan agar mematikan televisi selama waktu makan keluarga berlangsung. Namun, dengan perkembangan telepon seluler dan peralatan elektronik lain dalam genggaman, anak-anak masa kini membawa semua gadget itu ke meja makan.
Temuan-temuan dari hasil riset terbaru menunjukkan bahwa menggunakan media (elektronik) saat waktu makan sangat umum di antara keluarga-keluarga yang punya remaja. Namun, "Aturan penggunaan media bisa menurunkan penggunaan media di kalangan remaja dan mempunyai efek positif lainnya," ujar penulis hasil riset Jayne A Fulkerson seperti dikutip Reuters edisi 2 Januari 2014.
Fulkerson adalah direktur dari Center for Child and Family Health Promotion Research di University of Minnesota School of Nursing di Minneapolis. "Orang tua bisa menghentikan penggunaan media selama makan bersama sehingga punya waktu yang lebih berkualitas dengan anak-anak mereka," ujar dia.
Fulkerson dan rekan-rekannya mewawancarai lebih dari 1.800 orang tua mengenai seberapa sering mereka mengizinkan anak-anak remaja mereka untuk menonton televisi, berbicara di telepon, mengirimkan SMS, bermain games atau mendengarkan musik dengan headphones selama waktu makan bersama keluarga.
Penelitian menanyakan para orang tua apakah mereka membuat aturan dalam penggunaaan media elektronik. Penelitian juga menyoal apakah mereka merasa waktu makan bersama keluarga adalah hal yang penting. Anak-anak menjawab pertanyaan mengenai seberapa bagus komunikasi keluarga mereka, termasuk berapa sering mereka berbicara mengenai masalah mereka dengan orang tua.
Hasilnya, dua pertiga orang tua melaporkan bahwa anak-anak remaja mereka menonton televisi atau film selama waktu makan bersama keluarga. Sementara seperempatnya mengatakan bahwa menonton televisi merupakan hal yang rutin dilakukan.
Namun, berkirim SMS, berbicara di telepon, mendengarkan musik dengan headphones dan menggunakan games di tangan lebih jarang dilakukan saat makan bersama. Sebanyak 18-28 persen orang tua melaporkan aktivitas tersebut terjadi saat waktu makan, demikian diungkapkan Journal of Academy of Nutrition and Dietetics.
Hampir tiga perempat dari orang tua mengatakan bahwa mereka mengatur waktu penggunaan media saat makan bersama. Hasil riset itu juga mengungkapkan bahwa anak perempuan lebih cenderung menggunakan media elektronik ketimbang anak lelaki. Selain itu, penggunaan gadget meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada keluarga yang kurang berpendidikan, penggunaan media elektronik juga lebih tinggi. Selain itu, waktu makan bersama dengan penggunaan media elektronik lebih sedikit pada keluarga yang orang tuanya memberikan beberapa aturan. Sebaliknya, penggunaan media elektronik lebih banyak pada keluarga yang tidak terlalu banyak berkomunikasi.
Riset ini juga menunjukkan bahwa orang tua yang melaporkan penggunaan media elektronik lebih sering dilakukan saat makan bersama ternyata lebih jarang menyajikan salad hijau, buah-buahan, sayuran, 100 persen jus dan susu selama waktu makan. Mereka lebih sering menyajikan minuman berpemanis. Namun, para ilmuwan tidak bertanya apakah para orang tua juga menggunakan media elektronik saat waktu makan bersama.
http://www.tempo.co
Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru. Dulu para ahli menyarankan agar mematikan televisi selama waktu makan keluarga berlangsung. Namun, dengan perkembangan telepon seluler dan peralatan elektronik lain dalam genggaman, anak-anak masa kini membawa semua gadget itu ke meja makan.
Temuan-temuan dari hasil riset terbaru menunjukkan bahwa menggunakan media (elektronik) saat waktu makan sangat umum di antara keluarga-keluarga yang punya remaja. Namun, "Aturan penggunaan media bisa menurunkan penggunaan media di kalangan remaja dan mempunyai efek positif lainnya," ujar penulis hasil riset Jayne A Fulkerson seperti dikutip Reuters edisi 2 Januari 2014.
Fulkerson adalah direktur dari Center for Child and Family Health Promotion Research di University of Minnesota School of Nursing di Minneapolis. "Orang tua bisa menghentikan penggunaan media selama makan bersama sehingga punya waktu yang lebih berkualitas dengan anak-anak mereka," ujar dia.
Fulkerson dan rekan-rekannya mewawancarai lebih dari 1.800 orang tua mengenai seberapa sering mereka mengizinkan anak-anak remaja mereka untuk menonton televisi, berbicara di telepon, mengirimkan SMS, bermain games atau mendengarkan musik dengan headphones selama waktu makan bersama keluarga.
Penelitian menanyakan para orang tua apakah mereka membuat aturan dalam penggunaaan media elektronik. Penelitian juga menyoal apakah mereka merasa waktu makan bersama keluarga adalah hal yang penting. Anak-anak menjawab pertanyaan mengenai seberapa bagus komunikasi keluarga mereka, termasuk berapa sering mereka berbicara mengenai masalah mereka dengan orang tua.
Hasilnya, dua pertiga orang tua melaporkan bahwa anak-anak remaja mereka menonton televisi atau film selama waktu makan bersama keluarga. Sementara seperempatnya mengatakan bahwa menonton televisi merupakan hal yang rutin dilakukan.
Namun, berkirim SMS, berbicara di telepon, mendengarkan musik dengan headphones dan menggunakan games di tangan lebih jarang dilakukan saat makan bersama. Sebanyak 18-28 persen orang tua melaporkan aktivitas tersebut terjadi saat waktu makan, demikian diungkapkan Journal of Academy of Nutrition and Dietetics.
Hampir tiga perempat dari orang tua mengatakan bahwa mereka mengatur waktu penggunaan media saat makan bersama. Hasil riset itu juga mengungkapkan bahwa anak perempuan lebih cenderung menggunakan media elektronik ketimbang anak lelaki. Selain itu, penggunaan gadget meningkat seiring bertambahnya usia.
Pada keluarga yang kurang berpendidikan, penggunaan media elektronik juga lebih tinggi. Selain itu, waktu makan bersama dengan penggunaan media elektronik lebih sedikit pada keluarga yang orang tuanya memberikan beberapa aturan. Sebaliknya, penggunaan media elektronik lebih banyak pada keluarga yang tidak terlalu banyak berkomunikasi.
Riset ini juga menunjukkan bahwa orang tua yang melaporkan penggunaan media elektronik lebih sering dilakukan saat makan bersama ternyata lebih jarang menyajikan salad hijau, buah-buahan, sayuran, 100 persen jus dan susu selama waktu makan. Mereka lebih sering menyajikan minuman berpemanis. Namun, para ilmuwan tidak bertanya apakah para orang tua juga menggunakan media elektronik saat waktu makan bersama.
http://www.tempo.co
Penyebab Balita Suka Menggigit Saat Marah dan Cara Mengatasinya
Apakah balita Anda mulai menunjukkan emosinya dengan cara menggigit saat
marah? Jika iya, Anda pun bertanya-tanya, kenapa si kecil menggigit
ketika marah padahal Anda tidak pernah mengajari hal tersebut.
Menurut therapist anak Jennifer Kolari, bagi orangtua kebiasaan menggigit itu tentu menakutkan. Namun sebenarnya, kebiasaan itu relatif normal. "Bukan berarti anak akan tumbuh menjadi orang yang punya masalah pada tingkah lakunya," ujar Kolari yang juga pembuat situs Connected Parenting itu.
Anak-anak yang beranjak dua tahun, biasanya memang akan mulai menggigit jika mereka merasa emosi. Balita menggigit saat frustasi dan tidak tahu bagaimana caranya menenangkan diri mereka sendiri. "Mereka akan menggigit siapapun yang ada didekatnya, entah itu temannya atau orangtuanya," jelas Psikolog Anak Carolyn Humphery.
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk menangani anak yang suka menggigit? Cara terbaik adalah dengan menjauhkannya dari orang yang ia gigit.
"Ketika anak menggigit, angkat atau gendong dia. Dengan tenang, katakan padanya, "Jangan lakukan itu". Lalu dudukkan anak dan biarkan dia sendiri selama 1-2 menit," tutur Kolari.
Dengan cara itu, anak akan paham setiap dia menggigit, dia akan dijauhkan dari sesuatu yang sebenarnya dia sukai. Sebaiknya, jangan pernah menggigit balik anak hanya karena ingin memberitahukan padanya bagaimana rasanya digigit.
"Cara itu malah tidak memberinya pelajaran apapun dan dia akan berpikir menggigit itu boleh," tambah Humphrey.
Untuk mencegah agar anak tidak menggigit, jika Anda melihat dia mulai akan melakukannya, cobalah menghentikannya. Ajarkan pada anak, untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat marah.
Langkah lainnya adalah dengan mengobrol padanya topik soal 'menggigit' ini. Misalnya saja dengan mengatakan, "Kita harus mengusir nyamuk nakal ini nih, karena dia suka menggigit". Obrolan tersebut membantu anak mengatasi kebiasaan buruknya itu tanpa merasa dipermalukan.
Ajari juga anak untuk minta maaf pada orang yang telah digigitnya. Jangan lupa juga untuk memberinya penghargaan atau memujinya jika anak sudah menghentikan kebiasaannya menggigit.
http://wolipop.detik.com
Menurut therapist anak Jennifer Kolari, bagi orangtua kebiasaan menggigit itu tentu menakutkan. Namun sebenarnya, kebiasaan itu relatif normal. "Bukan berarti anak akan tumbuh menjadi orang yang punya masalah pada tingkah lakunya," ujar Kolari yang juga pembuat situs Connected Parenting itu.
Anak-anak yang beranjak dua tahun, biasanya memang akan mulai menggigit jika mereka merasa emosi. Balita menggigit saat frustasi dan tidak tahu bagaimana caranya menenangkan diri mereka sendiri. "Mereka akan menggigit siapapun yang ada didekatnya, entah itu temannya atau orangtuanya," jelas Psikolog Anak Carolyn Humphery.
Apa yang bisa dilakukan orangtua untuk menangani anak yang suka menggigit? Cara terbaik adalah dengan menjauhkannya dari orang yang ia gigit.
"Ketika anak menggigit, angkat atau gendong dia. Dengan tenang, katakan padanya, "Jangan lakukan itu". Lalu dudukkan anak dan biarkan dia sendiri selama 1-2 menit," tutur Kolari.
Dengan cara itu, anak akan paham setiap dia menggigit, dia akan dijauhkan dari sesuatu yang sebenarnya dia sukai. Sebaiknya, jangan pernah menggigit balik anak hanya karena ingin memberitahukan padanya bagaimana rasanya digigit.
"Cara itu malah tidak memberinya pelajaran apapun dan dia akan berpikir menggigit itu boleh," tambah Humphrey.
Untuk mencegah agar anak tidak menggigit, jika Anda melihat dia mulai akan melakukannya, cobalah menghentikannya. Ajarkan pada anak, untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan saat marah.
Langkah lainnya adalah dengan mengobrol padanya topik soal 'menggigit' ini. Misalnya saja dengan mengatakan, "Kita harus mengusir nyamuk nakal ini nih, karena dia suka menggigit". Obrolan tersebut membantu anak mengatasi kebiasaan buruknya itu tanpa merasa dipermalukan.
Ajari juga anak untuk minta maaf pada orang yang telah digigitnya. Jangan lupa juga untuk memberinya penghargaan atau memujinya jika anak sudah menghentikan kebiasaannya menggigit.
http://wolipop.detik.com
Hati-hati! Memuji Anak Justru Bisa Berdampak Buruk, Ini Sebabnya
Orangtua kerap memberikan pujian untuk menyenangkan atau meningkatkan
kepercayaan diri anak. Tapi menurut studi terbaru, memuji yang terlalu
berlebihan justru bisa jadi bumerang.
Penelitian yang dilakukan sejumlah universitas di Inggris, Belanda dan Amerika Serikat menemukan bahwa memuji anak yang pemalu atau kepercayaan dirinya rendah justru bisa membuat mereka lebih tertekan. Akibatnya anak jadi merasa harus tampil lebih baik dan akhirnya justru menghindari tantangan yang membuatnya sulit berkembang.
Studi dilakukan pada 240 anak laki-laki dan perempuan berusia delapan hingga 12 tahun. Mereka diberikan 12 pertanyaan untuk menilai tingkat kepercayaan diri. Setelah itu, responden diminta meniru sebuah gambar.
Sebelumnya, kelompok anak yang pemalu dan tidak percaya diri 'dihujani' dengan pujian. Sementara anak yang dianggap punya percaya diri tinggi tetap diberi pujian, namun dalam skala biasa.
Kemudian mereka diminta meniru berbagai gambar dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Mulai dari mudah, sedang hingga sangat sulit. Ternyata, kelompok anak pemalu dan tidak percaya diri yang dipuji secara berlebihan cenderung lebih memilih gambar yang mudah untuk ditiru dibandingkan anak yang percaya diri.
Sedangkan pada anak yang percaya diri, mereka memilih gambar dengan tingkat kesulitan tinggi padahal hanya mendapat sedikit pujian. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pujian tidak selalu efektif diterapkan pada setiap anak untuk mengembangkan kemampuannya.
"Jika Anda mengatakan pada anak yang percaya dirinya rendah bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan sangat bagus, maka mereka akan berpikir untuk selalu mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin dan harus membuat orang lain kagum," jelas Eddie Brummelman, salah satu peneliti, seperti dikutip dari Daily Mail.
Hal itu menyebabkan anak tidak berani mengambil tugas atau belajar sesuatu yang di atas standar dan lebih memilih mengerjakan yang mudah. Akibatnya, mereka enggan menerima tantangan baru. Padahal, tantangan diperlukan agar kemampuan kognitif, emosional maupun teknis semakin berkembang.
http://wolipop.detik.com
Penelitian yang dilakukan sejumlah universitas di Inggris, Belanda dan Amerika Serikat menemukan bahwa memuji anak yang pemalu atau kepercayaan dirinya rendah justru bisa membuat mereka lebih tertekan. Akibatnya anak jadi merasa harus tampil lebih baik dan akhirnya justru menghindari tantangan yang membuatnya sulit berkembang.
Studi dilakukan pada 240 anak laki-laki dan perempuan berusia delapan hingga 12 tahun. Mereka diberikan 12 pertanyaan untuk menilai tingkat kepercayaan diri. Setelah itu, responden diminta meniru sebuah gambar.
Sebelumnya, kelompok anak yang pemalu dan tidak percaya diri 'dihujani' dengan pujian. Sementara anak yang dianggap punya percaya diri tinggi tetap diberi pujian, namun dalam skala biasa.
Kemudian mereka diminta meniru berbagai gambar dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Mulai dari mudah, sedang hingga sangat sulit. Ternyata, kelompok anak pemalu dan tidak percaya diri yang dipuji secara berlebihan cenderung lebih memilih gambar yang mudah untuk ditiru dibandingkan anak yang percaya diri.
Sedangkan pada anak yang percaya diri, mereka memilih gambar dengan tingkat kesulitan tinggi padahal hanya mendapat sedikit pujian. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pujian tidak selalu efektif diterapkan pada setiap anak untuk mengembangkan kemampuannya.
"Jika Anda mengatakan pada anak yang percaya dirinya rendah bahwa mereka telah melakukan sesuatu dengan sangat bagus, maka mereka akan berpikir untuk selalu mengerjakan segala sesuatu sebaik mungkin dan harus membuat orang lain kagum," jelas Eddie Brummelman, salah satu peneliti, seperti dikutip dari Daily Mail.
Hal itu menyebabkan anak tidak berani mengambil tugas atau belajar sesuatu yang di atas standar dan lebih memilih mengerjakan yang mudah. Akibatnya, mereka enggan menerima tantangan baru. Padahal, tantangan diperlukan agar kemampuan kognitif, emosional maupun teknis semakin berkembang.
http://wolipop.detik.com
Langganan:
Postingan (Atom)