The single most frequent habit of happy people is gratitude. They
notice it, feel it, express it, absorb it, and practice it. Gratitude
is a stress reliever, a mood booster, and it gives the immune system a lift. (1) It offers these benefits of exercise plus better sleep without all the sweat.
Still, it's surprisingly easy to lose sight of this simple habit. In
fact, it can be very difficult to be grateful when you are faced with a
heavy "to do" list, a surly teenager, an annoying spouse, or a stack of
bills. You might even think that it's frankly impossible to be grateful
with the mountain of troubles in your life.
But here's the thing: Happy people are grateful regardless of their
circumstances. If they have cancer, they're grateful for their medical
care and family support. If they're single, they're grateful for their
friendships. If they're unemployed, they're grateful to have a roof
over their heads. You get the idea.
Furthermore, happy people experience gratitude in bite-sized bits all day long. In my book Shortcuts to Inner Peace, I explain how gratitude is the foundation for happiness. So let's break gratitude down into the fundamentals.
Happy people are grateful for the little things
They don't take for granted everyday experiences like waking up alive,
running water, electricity, vision, or a plate of food. They notice
everyday miracles and are grateful for them.
Happy people intentionally take time for gratitude
They have an assortment of gratitude practices that they employ. They
may spend time at the end of the day writing down or mentally listing
the things from their day for which they're grateful. They may use
meals as a time for reflection on their blessings. They make gratitude a
daily practice.
Happy people let gratitude sink in
They take a moment to let their experience of gratitude fill them up.
They don't just say the words, "I'm grateful", they actually feel the experience of gratitude. They might sigh, breathe, or exclaim as a way of absorbing their feeling.
Happy people are grateful for the people around them
They have the habit of thanking people in their lives for the little
things. They dole out frequent compliments, thank yous, and positive
feedback.
Happy people talk about their gratitude
They share with others their feelings of bliss and abundance. They are
vocal with their gratitude and infect others with their joy.
Happy people are grateful for other people's successes and joys
Happy people enjoy other people's good fortune. They live in a world
where there is plenty to go around. They do not see someone else's gain
as their personal loss. They see gain as something to be shared and
celebrated by all.
Happy people know that life is an obvious miracle. You too can see
life in this way once you train yourself to notice wonder. So open your
eyes, practice gratitude habits regardless of your circumstances, and
watch the happy moments in your life multiply.
http://www.huffingtonpost.com/ashley-davis-bush/happiness-tips
29 Agustus 2013
6 Juni 2013
Dikembangkan Cara Cegah Penyakit pada Obesitas
Berat badan sangat berlebih alias obesitas memang identik dengan penyakit. Namun menurut studi terbaru yang dimuat dalam jurnal Cell Press orang obesitas punya peluang untuk tetap sehat dan terbebas dari risiko penyakit kronis.
Para peneliti dari University of Tokyo menemukan bahwa, pada tikus, penghambatan suatu protein tertentu yang terkait dengan kondisi obesitas dan inflamasi dapat mencegah terjadinya diabetes. Mereka percaya hasil penemuan ini dapat berkembang menjadi sebuah perlakuan nyata untuk mencegah penyakit pada orang obesitas.
Protein ini, yang dikenal dengan nama apoptosis inhibitor of macrophage (AIM) ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam orang obesitas. AIM bekerja untuk mereduksi jumlah lemak yang disimpan saat seseorang mulai mengalami obesitas. Semakin bertambah berat badan, semakin banyak AIM yang diproduksi tubuh.
Padahal kadar AIM yang berlebihan di darah akan berbahaya. Hal ini dikarenakan AIM memicu antibodi yang menyerang tubuh, sehingga menyebabkan inflamasi. Inflamasi akan memicu banyak masalah kesehatan yang terjadi saat mengalami obesitas.
"Obesitas dapat mengembangkan penyakit metabolik dan kardiovaskular yang awalnya dipicu oleh resistensi insulin dan disebabkan oleh inflamasi kronis," ujar para peneliti yang diketuai oleh Toru Mizayaki.
"Penghambatan AIM berpotensi menjadi terapi untuk mencegah bukan hanya resistensi insulin dan gangguan metabolisme, tetapi juga autoimunitas dalam kondisi obesitas."
Para peneliti juga menemukan bahwa kadar antibodi imunoglobulin M (IgM) mengalami peningkatan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak. IgM juga dapat berikatan dengan AIM, yang dapat menyebabkan produksi antibodi lebih meningkat.
"Ikatan AIM-IgM berperan penting dalam proses autoimun yang terkait obesitas," tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa kadar AIM yang tinggi dalam darah berkorelasi dengan indeks massa tubuh yang tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit autoimun. Mereka berpendapat, dengan menghambat AIM maka dapat membantu mencegah penyakit terkait obesitas pada manusia.
"Namun, tingkat AIM lebih bervariasi pada manusia dibandingkan pada tikus," tulis para peneliti. Sehingga untuk mengaplikasikan hasil temuan ini pada manusia mungkin masih memerlukan waktu yang lama, selain membutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap manusia.
http://health.kompas.com
Para peneliti dari University of Tokyo menemukan bahwa, pada tikus, penghambatan suatu protein tertentu yang terkait dengan kondisi obesitas dan inflamasi dapat mencegah terjadinya diabetes. Mereka percaya hasil penemuan ini dapat berkembang menjadi sebuah perlakuan nyata untuk mencegah penyakit pada orang obesitas.
Protein ini, yang dikenal dengan nama apoptosis inhibitor of macrophage (AIM) ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam orang obesitas. AIM bekerja untuk mereduksi jumlah lemak yang disimpan saat seseorang mulai mengalami obesitas. Semakin bertambah berat badan, semakin banyak AIM yang diproduksi tubuh.
Padahal kadar AIM yang berlebihan di darah akan berbahaya. Hal ini dikarenakan AIM memicu antibodi yang menyerang tubuh, sehingga menyebabkan inflamasi. Inflamasi akan memicu banyak masalah kesehatan yang terjadi saat mengalami obesitas.
"Obesitas dapat mengembangkan penyakit metabolik dan kardiovaskular yang awalnya dipicu oleh resistensi insulin dan disebabkan oleh inflamasi kronis," ujar para peneliti yang diketuai oleh Toru Mizayaki.
"Penghambatan AIM berpotensi menjadi terapi untuk mencegah bukan hanya resistensi insulin dan gangguan metabolisme, tetapi juga autoimunitas dalam kondisi obesitas."
Para peneliti juga menemukan bahwa kadar antibodi imunoglobulin M (IgM) mengalami peningkatan pada tikus yang diberi diet tinggi lemak. IgM juga dapat berikatan dengan AIM, yang dapat menyebabkan produksi antibodi lebih meningkat.
"Ikatan AIM-IgM berperan penting dalam proses autoimun yang terkait obesitas," tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa kadar AIM yang tinggi dalam darah berkorelasi dengan indeks massa tubuh yang tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit autoimun. Mereka berpendapat, dengan menghambat AIM maka dapat membantu mencegah penyakit terkait obesitas pada manusia.
"Namun, tingkat AIM lebih bervariasi pada manusia dibandingkan pada tikus," tulis para peneliti. Sehingga untuk mengaplikasikan hasil temuan ini pada manusia mungkin masih memerlukan waktu yang lama, selain membutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap manusia.
http://health.kompas.com
Ini Caranya agar Anak Anda tak Obesitas
Kasus obesitas pada anak-anak di seluruh dunia cenderung meningkat dari
tahun ke tahun. Di Indonesia saja, kasus obesitas pada anak-anak
meningkat sebesar 15-20 persen per tahun. Kondisi ini sangat
memprihatinkan, mengingat anak-anak Indonesia masih belum terlepas dari
masalah kesehatan lain, yaitu kurang gizi.
Seperti kita ketahui, obesitas pada anak-anak dapat berdampak pada kesehatan sang anak di kemudian hari. Risiko penyakit berbahaya seperti stroke, serangan jantung, dan diabetes juga mengintai anak-anak yang mengalami obesitas.
Bagaimana cara mengukur anak obesitas?
Cara mengukur obesitas pada anak salah satunya adalah dengan menggunakan tabel BMI (body mass index). Cara ini memang belum dijadikan standar umum untuk menentukan obesitas pada anak-anak. Namun, sebagian ahli berpendapat jika berat badan anak-anak di atas 20 persen dari berat badan sehat, maka anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak obesitas.
Cara lainnya adalah dengan mengukur prosentase lemak tubuh pada anak. Seorang anak laki-laki dikatakan obesitas jika memiliki prosentase lemak tubuh di atas 25 persen. Sedangkan untuk anak perempuan di atas 32 persen.
Sebagian besar kegemukan dan obesitas adalah karena makan berlebihan. Hal ini tergolong dalam obesitas primer. Sisanya, disebabkan karena penyakit atau gangguan hormonal atau kelainan genetis yang tergolong dalam obesitas sekunder.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya kasus obesitas pada anak-anak antara lain:
- Kemajuan teknologi yang dirancang untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih menghibur
- Akses ke makanan berkalori tinggi dan berlemak tinggi yang lebih mudah
- Kegiatan rekreasi modern seperti bermain game, komputer dan menonton TV
- Iklan makanan cepat saji dan makanan tak sehat lain yang menarik minat anak-anak
- Hidup dalam lingkungan yang padat dan keterbatasan area bermain
- Gaya hidup tak sehat yang diwariskan orang tua
Akan tetapi satu harapan cerah telah dikemukakan dalam American journal of Preventive Medicine. Meski obesitas merupakan penyebab utama kematian, namun obesitas pada anak-anak dapat dicegah untuk menghindarkan mereka dari risiko penyakit dan kematian dini.
Pola Makan agar Anak Terhindar dari Obesitas
Pola makan yang salah yang diterapkan selama masa kanak-kanak sangat sulit untuk diubah hingga sang anak menginjak usia remaja hingga dewasa. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengajarkan pada anak-anak kita tentang kebiasaan yang baik di awal kehidupan mereka.
Berikut adalah beberapa tip pola makan sehat yang bisa Anda terapkan pada anak-anak :
- Jadilah panutan dan berilah contoh pada anak Anda budaya mengonsumsi makanan sehat di rumah
- Gunakan otoritas Anda untuk mengontrol makanan yang dimasak dan dibeli keluarga Anda
- Dorong Anak Anda bahwa untuk menjalani kehidupan yang sehat tidak hanya berfokus pada penurunan berat badan saja.
- Selalu siapkan makanan dan camilan sehat di rumah
- Beri anak Anda makanan sehat sebelum pergi ke pusat pertokoan
- Jangan biarkan anak Anda menghabiskan makanan sambil menonton televisi
- Jangan mengggunakan makanan sebagai hadiah atau imbalan
Sebagai tambahan, Anda juga bisa memperkenalkan beberapa olahraga ringan seperti jalan sehat atau jogging kepada anak-anak Anda. Semakin tinggi tingkat aktivitas anak-anak, semakin banyak kalori yang terbakar dan semakin besar pula peluang anak Anda agar terbebas dari obesitas.
http://health.kompas.com
Seperti kita ketahui, obesitas pada anak-anak dapat berdampak pada kesehatan sang anak di kemudian hari. Risiko penyakit berbahaya seperti stroke, serangan jantung, dan diabetes juga mengintai anak-anak yang mengalami obesitas.
Bagaimana cara mengukur anak obesitas?
Cara mengukur obesitas pada anak salah satunya adalah dengan menggunakan tabel BMI (body mass index). Cara ini memang belum dijadikan standar umum untuk menentukan obesitas pada anak-anak. Namun, sebagian ahli berpendapat jika berat badan anak-anak di atas 20 persen dari berat badan sehat, maka anak tersebut bisa dikategorikan sebagai anak obesitas.
Cara lainnya adalah dengan mengukur prosentase lemak tubuh pada anak. Seorang anak laki-laki dikatakan obesitas jika memiliki prosentase lemak tubuh di atas 25 persen. Sedangkan untuk anak perempuan di atas 32 persen.
Sebagian besar kegemukan dan obesitas adalah karena makan berlebihan. Hal ini tergolong dalam obesitas primer. Sisanya, disebabkan karena penyakit atau gangguan hormonal atau kelainan genetis yang tergolong dalam obesitas sekunder.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya kasus obesitas pada anak-anak antara lain:
- Kemajuan teknologi yang dirancang untuk membuat hidup lebih mudah dan lebih menghibur
- Akses ke makanan berkalori tinggi dan berlemak tinggi yang lebih mudah
- Kegiatan rekreasi modern seperti bermain game, komputer dan menonton TV
- Iklan makanan cepat saji dan makanan tak sehat lain yang menarik minat anak-anak
- Hidup dalam lingkungan yang padat dan keterbatasan area bermain
- Gaya hidup tak sehat yang diwariskan orang tua
Akan tetapi satu harapan cerah telah dikemukakan dalam American journal of Preventive Medicine. Meski obesitas merupakan penyebab utama kematian, namun obesitas pada anak-anak dapat dicegah untuk menghindarkan mereka dari risiko penyakit dan kematian dini.
Pola Makan agar Anak Terhindar dari Obesitas
Pola makan yang salah yang diterapkan selama masa kanak-kanak sangat sulit untuk diubah hingga sang anak menginjak usia remaja hingga dewasa. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengajarkan pada anak-anak kita tentang kebiasaan yang baik di awal kehidupan mereka.
Berikut adalah beberapa tip pola makan sehat yang bisa Anda terapkan pada anak-anak :
- Jadilah panutan dan berilah contoh pada anak Anda budaya mengonsumsi makanan sehat di rumah
- Gunakan otoritas Anda untuk mengontrol makanan yang dimasak dan dibeli keluarga Anda
- Dorong Anak Anda bahwa untuk menjalani kehidupan yang sehat tidak hanya berfokus pada penurunan berat badan saja.
- Selalu siapkan makanan dan camilan sehat di rumah
- Beri anak Anda makanan sehat sebelum pergi ke pusat pertokoan
- Jangan biarkan anak Anda menghabiskan makanan sambil menonton televisi
- Jangan mengggunakan makanan sebagai hadiah atau imbalan
Sebagai tambahan, Anda juga bisa memperkenalkan beberapa olahraga ringan seperti jalan sehat atau jogging kepada anak-anak Anda. Semakin tinggi tingkat aktivitas anak-anak, semakin banyak kalori yang terbakar dan semakin besar pula peluang anak Anda agar terbebas dari obesitas.
http://health.kompas.com
Banyak Orangtua Tak Sadar Anaknya Kegemukan
Seperti halnya pada orang dewasa, kegemukan pada anak-anak juga bisa
memicu timbulnya berbagai penyakit. Anak-anak yang kegemukan beresiko
tinggi menderita penyakit diabetes atau pun penyakit jantung. Mereka
juga rentan mengalami gangguan hormonal. Sayangnya belum banyak orangtua
yang menyadari buah hati mereka mengalami kegemukan.
Spesialis anak bidang endokrin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Frida Soesanti, SpA mengatakan orangtua lebih banyak mengeluhkan gejala-gejala lain yang sebenarnya diakari oleh kegemukan. Gejala-gejala yang banyak dilaporkan antara lain kelamin kecil atau payudara tumbuh terlalu cepat.
"Mungkin dari sekitar 50 pasien yang datang, hanya dua yang mengeluhkan soal obesitas. Sisanya lebih mengeluhkan ke gejala-gejala lain," paparnya dalam konferensi pers peluncuran buku "Solusi Tanpa Stres untuk Anak Gemuk" di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Padahal sebenarnya gangguan-gangguan tadi berasal dari kegemukan. Selama kegemukannya tidak diatasi, maka gangguan tadi sulit untuk diatasi sendiri.
"Kegemukan memiliki banyak sekali komplikasi, dari mulai kepala hingga kaki, ada semua," tutur dokter yang aktif sebagai pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.
Pakar fisiologi dan konsultan kontrol berat badan dr. Grace Judio-Kahl mengatakan, di Indonesia anak gemuk masih kerap dipandang sebagai anak lucu yang cukup gizi dan menjadi lambang kesuksesan orangtua yang layak dibanggakan. Padahal gemuk tidak selalu berarti sehat.
"Saya gemas melihat orangtua yang selalu memberikan anak makan meski sebenarnya anak sudah cukup makan. Maka kita harus mengubah mindset tentang makan," paparnya.
Grace mengatakan, orang Indonesia masih banyak yang takut anaknya kelaparan dan kurang gizi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka cenderung memaksakan anaknya untuk makan terus, padahal anak tidak lapar.
Setiap tahun, prevalensi kegemukan pada anak terus meningkat. Hingga tahun 2012 jumlah anak yang mengalami obesitas di Indonesia adalah sekitar 12 persen. Angka ini jauh lebih besar di kota-kota besar.
"Lihat saja di mal-mal yang ada di kota besar. Dari 10 anak pasti setidaknya ada lima yang gemuk. Ini membuat kita harus segera sadar untuk menerapkan solusinya," tandas ahli penurunan berat badan Klinik LightHouse ini.
http://health.kompas.com
Spesialis anak bidang endokrin dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Frida Soesanti, SpA mengatakan orangtua lebih banyak mengeluhkan gejala-gejala lain yang sebenarnya diakari oleh kegemukan. Gejala-gejala yang banyak dilaporkan antara lain kelamin kecil atau payudara tumbuh terlalu cepat.
"Mungkin dari sekitar 50 pasien yang datang, hanya dua yang mengeluhkan soal obesitas. Sisanya lebih mengeluhkan ke gejala-gejala lain," paparnya dalam konferensi pers peluncuran buku "Solusi Tanpa Stres untuk Anak Gemuk" di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Padahal sebenarnya gangguan-gangguan tadi berasal dari kegemukan. Selama kegemukannya tidak diatasi, maka gangguan tadi sulit untuk diatasi sendiri.
"Kegemukan memiliki banyak sekali komplikasi, dari mulai kepala hingga kaki, ada semua," tutur dokter yang aktif sebagai pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.
Pakar fisiologi dan konsultan kontrol berat badan dr. Grace Judio-Kahl mengatakan, di Indonesia anak gemuk masih kerap dipandang sebagai anak lucu yang cukup gizi dan menjadi lambang kesuksesan orangtua yang layak dibanggakan. Padahal gemuk tidak selalu berarti sehat.
"Saya gemas melihat orangtua yang selalu memberikan anak makan meski sebenarnya anak sudah cukup makan. Maka kita harus mengubah mindset tentang makan," paparnya.
Grace mengatakan, orang Indonesia masih banyak yang takut anaknya kelaparan dan kurang gizi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka cenderung memaksakan anaknya untuk makan terus, padahal anak tidak lapar.
Setiap tahun, prevalensi kegemukan pada anak terus meningkat. Hingga tahun 2012 jumlah anak yang mengalami obesitas di Indonesia adalah sekitar 12 persen. Angka ini jauh lebih besar di kota-kota besar.
"Lihat saja di mal-mal yang ada di kota besar. Dari 10 anak pasti setidaknya ada lima yang gemuk. Ini membuat kita harus segera sadar untuk menerapkan solusinya," tandas ahli penurunan berat badan Klinik LightHouse ini.
http://health.kompas.com
Jadilah "Polisi" Pencegah Kegemukan!
Prevalensi kegemukan pada anak terus meningkat. Kecenderungan anak
untuk menjadi gemuk sejatinya tidak terlepas dari peran dan pengaruh
orangtua yang mendampinginya.
Pakar fisiologi dan konsultan kontrol berat badan dr. Grace Judio-Kahl menyarankan para orangtua lebih peduli dengan asupan gizi anak. Bahkan orang tua perlu menjadi "polisi" bagi apa yang dimakan oleh anak mereka.
"Anak tidak dapat mengatur makanannya sendiri, yang harus mengaturnya adalah orang tua," katanya dalam konferensi pers peluncuran buku "Solusi Tanpa Stres untuk Anak Gemuk" di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Grace mamaparkan, prinsipnya orangtua perlu menanamkan pendirian hidup sehat dengan memberikan anak makanan yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan kebutuhan anak. Selain itu, orangtua perlu memperhatikan batasan-batasan sejauh mana mereka dapat memberikan toleransi makan kepada anak.
Menurut Grace, ada tiga hal yang perlu orangtua perhatikan dalam memberikan batasan-batasan makan bagi anak. Pertama, anak baru boleh makan makanan yang sedikit tinggi kalori pada satu peristiwa yang spesial untuknya. "Contohnya ketika anak ulang tahun, tidak mungkin orangtua melarangnya makan kue ulang tahun dia sendiri," tuturnya.
Kedua yaitu pada saat darurat, yaitu tidak ada pilihan makanan lain yang lebih sehat. Misalnya, suatu hari pergi ke suatu tempat yang sulit mendapatkan makanan sehat, yang ada hanya restoran makanan cepat saji. Dalam keadaan darurat seperti itu, anak boleh saja memakan makanan yang berasal dari restoran tersebut.
Ketiga yaitu sesuai dengan aktivitas yang anak kerjakan. Apabila anak sudah melakukan aktivitas fisik yang melelahkan dan membakar banyak kalori, anak boleh makan lebih banyak untuk mengganti energi yang sudah ia keluarkan. "Maka inilah pentingnya orangtua tahu perhitungan kalori dari berbagai jenis makanan," tegas Grace.
Kendati demikian, psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, yang paling penting adalah mengubah kebiasaan pola hidup keluarga yang notabene merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Jika anak diharuskan mengubah pola makannya supaya menjadi lebih sehat, maka orang di sekitarnya pun perlu mengubahnya pula.
"Jadikan pola makan tidak sehat sebagai musuh bersama, maka masing-masing anggota keluarga jadi bisa saling menguatkan satu sama lain untuk menjalani pola hidup yang lebih sehat," tandasnya.
http://health.kompas.com/
Pakar fisiologi dan konsultan kontrol berat badan dr. Grace Judio-Kahl menyarankan para orangtua lebih peduli dengan asupan gizi anak. Bahkan orang tua perlu menjadi "polisi" bagi apa yang dimakan oleh anak mereka.
"Anak tidak dapat mengatur makanannya sendiri, yang harus mengaturnya adalah orang tua," katanya dalam konferensi pers peluncuran buku "Solusi Tanpa Stres untuk Anak Gemuk" di Jakarta, Rabu (5/6/2013).
Grace mamaparkan, prinsipnya orangtua perlu menanamkan pendirian hidup sehat dengan memberikan anak makanan yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan kebutuhan anak. Selain itu, orangtua perlu memperhatikan batasan-batasan sejauh mana mereka dapat memberikan toleransi makan kepada anak.
Menurut Grace, ada tiga hal yang perlu orangtua perhatikan dalam memberikan batasan-batasan makan bagi anak. Pertama, anak baru boleh makan makanan yang sedikit tinggi kalori pada satu peristiwa yang spesial untuknya. "Contohnya ketika anak ulang tahun, tidak mungkin orangtua melarangnya makan kue ulang tahun dia sendiri," tuturnya.
Kedua yaitu pada saat darurat, yaitu tidak ada pilihan makanan lain yang lebih sehat. Misalnya, suatu hari pergi ke suatu tempat yang sulit mendapatkan makanan sehat, yang ada hanya restoran makanan cepat saji. Dalam keadaan darurat seperti itu, anak boleh saja memakan makanan yang berasal dari restoran tersebut.
Ketiga yaitu sesuai dengan aktivitas yang anak kerjakan. Apabila anak sudah melakukan aktivitas fisik yang melelahkan dan membakar banyak kalori, anak boleh makan lebih banyak untuk mengganti energi yang sudah ia keluarkan. "Maka inilah pentingnya orangtua tahu perhitungan kalori dari berbagai jenis makanan," tegas Grace.
Kendati demikian, psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani mengatakan, yang paling penting adalah mengubah kebiasaan pola hidup keluarga yang notabene merupakan lingkungan yang paling dekat dengan anak. Jika anak diharuskan mengubah pola makannya supaya menjadi lebih sehat, maka orang di sekitarnya pun perlu mengubahnya pula.
"Jadikan pola makan tidak sehat sebagai musuh bersama, maka masing-masing anggota keluarga jadi bisa saling menguatkan satu sama lain untuk menjalani pola hidup yang lebih sehat," tandasnya.
http://health.kompas.com/
Risiko Bila Bayi Mengonsumsi Gula Terlalu Dini
Obesitas merupakan pangkal penyakit.
Kegemukan dapat memicu risiko berbagai penyakit seperti diabetes tipe 2,
penyakit jantung, dan beberapa jenis kanker. Saat ini masalah
kegemukan bukan hanya monopoli orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Obesitas pada anak bahkan telah menjadi perhatian khusus karena kasusnya
terus naik baik di negara-negara maju maupun negara berkembang.
Di Amerika Serikat misalnya, obesitas anak meningkat tiga kali lipat selama 30 tahun terakhir. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengatakan, lebih dari 12,5 juta anak Amerika terkena obesitas. Penyebab utamanya adalah konsumsi gula berlebihan, yang dimulai pada usia awal pertumbuhan.
Para orangtua sebaiknya mewaspadai asupan gula berlebihan sejak usia bayi karena berdampak pada kualitas kesehatan jangka panjang. Konsumsi gula berlebih di usia dini akan menambah jumlah kalori pada menu keseharian anak. Bila tak terkendali akan memicu kegemukan dan obesitas. Tingginya kandungan gula pun dapat mengurangi asupan nutrisi penting lainnya pada menu keseharian. Hal ini dikarenakan rasa manis sangat disukai anak. Akibatnya, anak hanya memilih makanan yang disukai.
Gula juga akan merusak gigi anak yang baru tumbuh. Risiko ini semakin besar jika anak kerap minum gula dari botol. Hal ini sama seperti anak yang mengemut permen tangkai setiap hari.
The American Academy of Pediatric Dentistry merekomendasikan anak tidak minum jus sampai berusia 1 tahun. Jus juga sebaiknya diminum dari gelas, bukan botol. Jumlah yang diminum tidak lebih dari 4-6 ounce (sekitar 120-230 ml) per hari. Pengaturan pola makan juga akan memengaruhi kesehatan anak di masa depan. Oleh karena itu, penting membatasi konsumsi gula pada anak.
Kenalkan buah
Kepercayaan lama menyebutkan, mengenalkan anak dengan beragam jenis buah-buahan yang manis di usia dini hanya akan menyebabkan anak doyan makanan manis dan cenderung tidak suka menyantap sayuran atau makanan lain. Akan tetapi, menurut American Academi of Pediatrics, anggapan ini tidak berdasar. Selain itu, tak ada alasan medis kuat yang menyarankan agar program makan bayi harus diawali dengan suatu jenis makanan padat tertentu. Menurut para ahli, bayi terlahir secara alami dengan kesiapan beradaptasi dengan makanan manis. Pengenalan pada makanan padat tidak akan mengubah hal ini.
Yang perlu dihindari
Makanan yang mengandung gula tambahan harus dihindari. Lebih baik memberi buah segar atau yogurt, dibanding kue, biskuit, atau es krim. Bila anak harus minum sesuatu yang manis, lebih baik memberinya jus buah dengan air yang lebih sedikit dan tanpa gula. Orangtua sebaiknya waspada terhadap kandungan gula pada makanan bayi. Oleh karena itu, jangan lupa untuk memeriksa label dan kandungan nutrisi semua makanan bayi termasuk produk olahan.
http://health.kompas.com
Di Amerika Serikat misalnya, obesitas anak meningkat tiga kali lipat selama 30 tahun terakhir. Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengatakan, lebih dari 12,5 juta anak Amerika terkena obesitas. Penyebab utamanya adalah konsumsi gula berlebihan, yang dimulai pada usia awal pertumbuhan.
Para orangtua sebaiknya mewaspadai asupan gula berlebihan sejak usia bayi karena berdampak pada kualitas kesehatan jangka panjang. Konsumsi gula berlebih di usia dini akan menambah jumlah kalori pada menu keseharian anak. Bila tak terkendali akan memicu kegemukan dan obesitas. Tingginya kandungan gula pun dapat mengurangi asupan nutrisi penting lainnya pada menu keseharian. Hal ini dikarenakan rasa manis sangat disukai anak. Akibatnya, anak hanya memilih makanan yang disukai.
Gula juga akan merusak gigi anak yang baru tumbuh. Risiko ini semakin besar jika anak kerap minum gula dari botol. Hal ini sama seperti anak yang mengemut permen tangkai setiap hari.
The American Academy of Pediatric Dentistry merekomendasikan anak tidak minum jus sampai berusia 1 tahun. Jus juga sebaiknya diminum dari gelas, bukan botol. Jumlah yang diminum tidak lebih dari 4-6 ounce (sekitar 120-230 ml) per hari. Pengaturan pola makan juga akan memengaruhi kesehatan anak di masa depan. Oleh karena itu, penting membatasi konsumsi gula pada anak.
Kenalkan buah
Kepercayaan lama menyebutkan, mengenalkan anak dengan beragam jenis buah-buahan yang manis di usia dini hanya akan menyebabkan anak doyan makanan manis dan cenderung tidak suka menyantap sayuran atau makanan lain. Akan tetapi, menurut American Academi of Pediatrics, anggapan ini tidak berdasar. Selain itu, tak ada alasan medis kuat yang menyarankan agar program makan bayi harus diawali dengan suatu jenis makanan padat tertentu. Menurut para ahli, bayi terlahir secara alami dengan kesiapan beradaptasi dengan makanan manis. Pengenalan pada makanan padat tidak akan mengubah hal ini.
Yang perlu dihindari
Makanan yang mengandung gula tambahan harus dihindari. Lebih baik memberi buah segar atau yogurt, dibanding kue, biskuit, atau es krim. Bila anak harus minum sesuatu yang manis, lebih baik memberinya jus buah dengan air yang lebih sedikit dan tanpa gula. Orangtua sebaiknya waspada terhadap kandungan gula pada makanan bayi. Oleh karena itu, jangan lupa untuk memeriksa label dan kandungan nutrisi semua makanan bayi termasuk produk olahan.
http://health.kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)