Menikah saat ini menjadi semacam tuntutan dari masyarakat. Anda
menikah karena "sudah waktunya menikah", atau karena "sudah pacaran
terlalu lama", atau karena "ibu lelah selalu ditanya tetangga dan
keluarga, kapan anaknya menikah". Jadi, menikah bukan lagi karena adanya
kebutuhan Anda dan pasangan untuk saling membahagiakan, dan untuk
membentuk keluarga kecil yang akan melengkapi kebahagiaan Anda berdua.
Padahal,
tantangan dalam kehidupan pernikahan sangat besar dan tidak bisa
dipandang remeh. Meskipun begitu, tantangan memang sebaiknya dihadapi,
bukan dihindari. Seperti disampaikan Susan Shapiro Barash, pakar
hubungan dan penulis buku The Nine Phases of Marriage, jika Anda memang bertekad untuk menikah, Anda perlu mengetahui tiga tantangan terbesar ini, dan bagaimana mengatasinya.
1. Keuangan
Banyak
pasangan yang sudah membicarakan keuangan sebelum menikah, karena
menyadari pentingnya masalah ini ketika mereka sudah bersatu dalam
hubungan pernikahan. Namun sesering apa pun pasangan membahas keuangan
saat masih pacaran, atau seberapa sering perempuan mendiskusikannya
dengan suami saat sudah menikah, menurut Susan keuangan tetap menjadi
masalah besar dalam pernikahan.
Kebanyakan pasangan mengatur
keuangan dengan cara memisahkan rekening bank untuk menyimpan
penghasilan masing-masing, dan membuat rekening bersama untuk biaya
operasional rumah tangga, pendidikan anak, atau liburan keluarga. Saran
Susan, untuk memulai pembicaraan mengenai keuangan tanpa menyinggung
perasaan, masing-masing pasangan harus bersikap fleksibel. Misalnya
salah satu dari Anda tengah menghadapi masalah di kantor seperti
perampingan karyawan, maka Anda dan suami perlu saling menyesuaikan
perubahan gaya hidup.
2. Keluarga
Masalah
kedua yang sering menjadi bahan pertengkaran dalam rumah tangga adalah
keluarga, khususnya dalam menghadapi mertua atau saudara ipar. Ini
termasuk masalah klasik. Bagaimana ketika ibu mertua terlibat terlalu
jauh dalam rumah tangga Anda, atau bagaimana pembagian waktu untuk
mengunjungi keluarga masing-masing, sering menjadi isu sensitif dalam
pernikahan.
Menurut Susan, baik suami maupun istri harus lebih
sensitif andaikan suami sangat dekat dengan saudari perempuan atau
ibunya, meskipun kedekatan (atau ketergantungan?) itu membuat Anda
kesal. Sejauh mana Anda bisa menembus batasan-batasan, sehingga Anda
bisa mendapatkan apa yang Anda inginkan, dan begitu pula dengan suami
Anda? Kuncinya adalah pada komunikasi yang terbuka.
Seringkali
perempuan masih sulit melakukan hal ini. Misalnya, Anda merasa dianggap
tidak becus mengasuh anak jika setiap kali ibu mertua mengambil alih
anak-anak dari tangan Anda. Namun, sebagai perempuan Anda sulit
mengekspresikan ketidaksetujuan itu, dan memilih diam sambil cemberut
sepanjang hari. Pria tidak akan bisa membaca pikiran Anda. Jadi, lebih
baik Anda menyampaikan keberatan-keberatan Anda, sekaligus mencari
solusi yang tidak menyakiti siapa pun.
3. Anak
Kita
hidup dalam masyarakat yang mengagungkan (kepemilikan) anak. Pasangan
menikah dituntut untuk punya anak; kalau tidak, dianggap belum lengkap.
Kemudian ketika mempunyai anak, orangtua selalu menerapkan pengasuhan "helikopter",
di mana orangtua bersikap terlalu protektif sehingga mengatur keperluan
anak sampai ke hal-hal terkecil. Padahal, cara pengasuhan seperti ini
justru bisa mengacaukan hubungan Anda dan suami.
Masalah ini bisa
berkembang ketika Anda dan suami punya nilai-nilai yang berbeda dalam
mendidik anak. Misalnya, Anda ingin anak bersekolah di sekolah
internasional yang menggunakan bahasa asing, sedangkan suami ingin
menyekolahkan anak di sekolah negeri supaya tetap "membumi". Perbedaan
keinginan ini mencerminkan bagaimana pernikahan Anda akan berlangsung
ketika kehadiran anak-anak justru mengubah hubungan Anda berdua. Untuk
menghindari perdebatan ini, Anda harus saling menyesuaikan diri dengan
pandangan masing-masing.
Sumber: Shine/KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar